arwah bobo

Tampilkan postingan dengan label arwah bobo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arwah bobo. Tampilkan semua postingan

Arwah bobo




 
  
soebandrio  terpaku melihat istrinya. Dilihatnya 
wanita itu tampak begitu cantik. Rambutnya 
yang sepinggang dibiarkannya tergerai. Gaun cokelat  yang dikenakannya pun tampak begitu serasi. sekarang   Wanita itu duduk di sebelah soebandrio   sambil   meletakkan koper besar yang dibawanya. Koper itu  diletakkan di lantai teras, bersebelahan dengan  tempat duduknya.  
"Kau cantik sekali, Sayang..." puji soebandrio   sambil   mengecup kening istrinya dengan mesra.  
"Terima kasih, Bran!" kata martini  sambil  
tersenyum.  "O ya, pukul berapa bismu akan berangkat?"  tanya soebandrio  .  "Pukul 10.30 WIB," jawab martini .  soebandrio   melirik arlojinya, dilihatnya jam baru  menunjukkan pukul 9.00 WIB. "Ngomong-ngomong,  kapan Nak latif  akan menjemputmu?" tanyanya  kemudian. 
"Sebentar lagi," jawab martini  singkat. 
Pada saat itu, putri mereka yang bernama martini  
Dewina datang membawa tiga cangkir teh dan 
langsung meletakkannya di atas meja. Bersamaan 
dengan itu, sebuah sedan biru metallic tampak 
memasuki pekarangan dan berhenti persis di muka  rumah. Pengemudinya yang bertubuh tegap terlihat  turun sambil  tersenyum kepada keluarga soebandrio  .  Dialah latif , pemuda tampan yang akan  menjemput martini . Sejenak pemuda itu melihat ke  sekelilingnya—memperhatikan pekarangan yang  tampak begitu asri, lalu dengan segera pemuda itu  menghampiri mereka. "Selamat pagi, Pak, Bu!"  katanya sambil  berjabatan tangan dengan keduanya.  "Selamat pagi, Nak latif Mari, Nak! Silakan duduk 
dahulu !" tawar soebandrio   ramah.  "Iya, Nak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar. Masih  ada cukup waktu kok," timpal martini  sambil   memandang pemuda itu sambil tersenyum tipis,  kemudian pandangannya segera beralih ke arah martini . 
"Nak, sana ambilkan minum!" pintanya kepada gadis  itu.  martini  yang sejak tadi berdiri di samping ibunya  langsung bergegas ke dapur. Sementara itu, latif ,  soebandrio  , dan martini  sudah duduk kembali. sekarang  mereka  tengah berbincang-bincang, mengisi suasana ceria 
yang tampak menyelimuti keluarga itu. Beberapa 
menit kemudian, martini  sudah kembali. sesudah  
menyuguhkan minuman yang dibawanya, dia pun ikut  berbincang-bincang.   Tak terasa 30 menit telah berlalu. "Wah, sudah  pukul 9.30. Ayo, Nak latif Sudah saatnya kita  berangkat," ajak martini  tiba-tiba.  latif  melirik arlojinya, "Iya benar. Kalau begitu...  mari, Bu!" kata latif  sambil  beranjak bangun dan  bergegas membawa koper martini  ke mobil. Pada saat  yang sama, martini  langsung berpamitan dengan suami  dan putrinya, kemudian menyusul latif  dan duduk di  belakang. Bersamaan dengan itu, soebandrio   dan  putrinya tampak melambaikan tangan—melepas 
kepergian orang yang begitu mereka cintai. Saat itu,  martini  pun segera membalas lambaian mereka sambil  tersenyum lebar.   sekarang  latif  dan martini  sedang dalam perjalanan,  keduanya berbincang-bincang dengan begitu 
akrabnya. Membicarakan soal kuliah latif  dan 
mengenai hubungannya dengan martini . Lama mereka  berbincang-bincang, hingga akhirnya mereka tiba di  terminal Lebak Bulus.   sekarang  mereka sedang melangkah ke ruang tunggu  terminal. Setibanya di tempat itu, tiba-tiba martini  
menghentikan langkahnya. "Nak latif , kau tunggu di  sini ya! Ibu mau ke toilet sebentar," pamitnya kepada  pemuda itu.  latif  mengangguk, sesudah  itu dia duduk di kursi  yang berada dekat tiang penyangga.   Beberapa menit kemudian, martini  sudah kembali,  saat itu dia melihat latif  sedang berbicara melalui HP-nya. saat  martini  hendak menemuinya, tiba-tiba dia  menangkap pembicaraan yang membuatnya sangat 
penasaran. martini  pun tidak segera menemui pemuda  itu, dia justru berdiri di balik tiang penyangga untuk  mendengarkan pembicaraan itu lebih lanjut.   Lama juga martini  mendengarkan percakapan latif   yang bicara lewat HP, hingga akhirnya...  "Ya… iya… terus...? ...baiklah kalau begitu!  Aku janji, besok pagi aku pasti pulang ke Tokyo.  Sudah ya! Bye…" kata latif  sambil  memutuskan  sambungan dan segera menyimpan  HP-nya.   Sementara itu, martini  masih berdiri di tempatnya,  dalam hati dia terus bertanya-tanya. sesudah  berpikir  sejenak, akhirnya dia bergegas menemui pemuda itu.  "Maaf ya, Nak latif Ibu agak lama," katanya  kemudian. 
"Tidak apa-apa kok, Bu. Mari...!" ajak latif  sambil  
mengangkat koper yang tadi diletakkannya. 
Tak lama kemudian,  keduanya sudah tiba di bis 
yang akan mengantar martini . 
"Terima kasih ya, Nak. Kau sudah mau 
mengantarkan Ibu," kata martini  sambil  tersenyum  ramah.  latif  pun tersenyum, "Sama-sama, Bu. O ya, Bu.  Kalau begitu, saya pulang sekarang," pamit pemuda  itu kemudian. 
"Iya Nak, hati-hati ya!" pesan martini  sambil  
memperhatikan kepergian pemuda itu. 
sekarang  martini  tampak menaiki bis dan duduk 
menunggu. Beberapa menit kemudian, bis yang 
ditumpangi martini  tampak mulai bergerak 
meninggalkan terminal.   Selama di perjalanan, martini  terus bertanya-tanya  mengenai percakapan latif  beberapa menit  sebelumnya. Dia bisa menduga apa yang telah  diperbuat latif  kepada putrinya. Sepanjang perjalanan, 
wanita itu selalu terngiang dengan percakapan latif  di  terminal, hingga akhirnya dia bisa menyimpulkan  kalau latif  bukanlah pemuda baik seperti yang  dikenalnya selama ini.   sekarang  wanita itu sedang mencari cara terbaik untuk 
menyampaikan hal penting itu kepada putrinya. Dan  saat  dia sedang berpikir keras, tiba-tiba di sebuah  tikungan terjadi benturan hebat. Bis yang 
ditumpanginya ditabrak oleh truk gandeng yang 
melaju kencang dari arah berlawanan. Tak ayal, saat  itu juga maut merenggutnya.   Tiga minggu kemudian, di malam yang sunyi sepi.  Sinar bulan purnama memancar hingga menembus 
kain jendela. Di sebuah kamar yang temaram, 
seorang lelaki berusia 42 tahun tampak duduk di kursi  goyangnya. Bersantai melepas lelah sambil menikmati  goyangan kursi yang terus bergoyang dengan  perlahan. Sesekali lelaki itu tampak mengepulkan  asap rokoknya, menikmati berbagai racun yang dapat  merusak kesehatannya. Dialah soebandrio   yang sedang  menunggu putrinya pulang dari Mal.   "Hmm... Kenapa martini  belum pulang juga?" tanya  lelaki itu penuh kekhawatiran.  Kemudian soebandrio   kembali menggoyangkan kursi  goyangnya yang sudah kian pelan bergoyang. Pada  saat itu, tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan  manusia yang melintas di jendela kamarnya. "martini !"  serunya memanggil. "Hmm... kenapa dengan anak  itu? Kenapa dia tidak langsung masuk?" soebandrio    membatin.  "martini , sedang apa kau di luar? Ayo masuklah, 
Nak!" serunya memanggil.  Lama soebandrio   memanggil, namun tidak juga ada  sahutan. Akhirnya lelaki itu terpaksa berdiri sambil  
mematikan bara rokoknya, kemudian melangkah ke  jendela kamar dan memperhatikan sekitarnya. 
"Hmm... tidak ada siapa-siapa," gumamnya heran. 
Belum sempat berpikir jauh, tiba-tiba lelaki itu 
mendengar dering telepon yang berasal dari ruang 
tengah. Lalu dengan segera dia mengangkatnya. 
"Hallo…!" serunya dengan suara yang agak parau. 
Sejenak dia menunggu, namun tak juga ada jawaban. "Hallo...! Siapa ini?" tanyanya agak kesal.  Karena tidak juga ada jawaban, akhirnya soebandrio    menutup telepon itu. Namun belum sempat dia  melangkah, tiba-tiba telepon kembali berdering.  Dengan kesal soebandrio   kembali mengangkatnya, tapi  kali ini dia tidak memberi 
sapaan, dia sengaja menunggu dan menunggu. Karena tak juga terdengar  suara, akhirnya soebandrio   kembali menutup telepon itu 
dan langsung bergegas ke ruang tamu.  
Sambil terus melangkah, soebandrio   tampak 
bertanya-tanya. "Siapa ya yang menelepon malam-malam begini? Apakah tadi itu martini ? Ah, rasanya tidak mungkin. Masa iya dia berbuat begitu. Hmm... mungkin saja tadi cuma orang iseng," duganya dalam hati.   saat  soebandrio   hendak duduk di sofa, tiba-tiba dia mendengar suara ketukan di pintu depan. "Siapa!" serunya lantang. Karena tak ada jawaban, akhirnya 
lelaki itu bergegas menuju pintu dan membukanya 
lebar-lebar. Betapa terkejutnya dia saat  tahu di situ  tidak ada siapa-siapa.   sekarang  soebandrio   tampak celingukan, mencari orang  yang baru saja mengetuk pintu rumahnya. "Hmm...  siapakah yang telah mengetuk pintu rumahku tadi? 
Kalau martini , jelas tidak mungkin. Dia kan punya kunci  sendiri, untuk apa dia pakai ketuk pintu segala."  soebandrio   membatin.  soebandrio   benar-benar heran dengan kejadian itu. 
sekarang  dia sudah menutup pintu dan sedang melangkah  ke sofa. saat  baru duduk sejenak, tiba-tiba suara  ketukan kembali terdengar. soebandrio   tidak segera  bangkit, dia tampak memfokuskan pendengarannya  dan menunggu suara ketukan itu berbunyi lagi. Beberapa saat kemudian, dia mendengar suara anak 
kunci yang diputar pada lubang kuncinya. Kemudian  disusul dengan kemunculan seorang gadis yang sekarang   berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kepadanya.   "Loh, Ayah kok belum tidur?" tanya gadis itu  kepada soebandrio  . 
"Belum, Sayang... Ayah kan sedang  menunggumu." Maaf, Ayah! martini  pulang kemalaman," kata 
gadis itu lagi sambil  menutup pintu dan menguncinya  rapat-rapat.  "Nak... kau kah yang mengetuk pintu barusan?"  tanya soebandrio  . 
martini  tampak mengerutkan keningnya. "Tidak, 
Ayah...  Memangnya..."  "Sudahlah... lupakan saja." soebandrio   memotong.  "O ya, kenapa kau bisa sampai kemalaman?"  tanyanya kemudian. 
"Maaf, Ayah! Soalnya, martini  main ke rumah teman  dahulu ," jawab gadis itu sambil  melangkah ke sofa.   "Ya, sudah... ngomong-ngomong, mana 
sepatunya?" tanya soebandrio  .  martini  segera duduk dan mengeluarkan barang  yang baru dibelinya, kemudian meletakkannya di atas 
meja.  "Itu sepatunya?" tanya soebandrio   sambil  mengambil  sepatu itu dan mengamatinya dengan penuh  seksama.  "Betul,  Ayah. Bagaimana, bagus tidak?"    "Hmm... bagus. Berapa harganya?"  
"Tidak mahal kok, cuma Rp. 290.000," jawab 
martini . "Harga segitu... kau bilang ‘cuma’." soebandrio    tampak geleng-geleng kepala.  
"Ayah, harga segitu kan tidak mahal. Lagi pula, 
uang yang tadi siang martini  ambil dari Bank masih sisa  Rp. 290.000."  Lagi-lagi soebandrio   tampak geleng-geleng kepala,  "Dasar anak gadis, maunya belanja melulu. Mentang-mentang tidak merasakan susahnya cari uang," katanya dalam hati. "Ya, sudah. Besok, sisa uang itu 
kau tabungkan kembali, ya!" pesannya kemudian.  
"Iya, Ayah." martini  berjanji. "O ya, Ayah. martini  minta  maaf! Ayah pasti lelah menunggu martini  terlalu lama."   "Tidak apa-apa, Sayang… yang penting kan kau  sudah tiba dengan selamat," kata soebandrio   sambil   tersenyum.  martini  pun tersenyum, kemudian segera  menyimpan kembali sepatu barunya. Pada saat itu,  tiba-tiba soebandrio   teringat kembali akan kejadian aneh 
yang tadi dialaminya, dahinya tampak agak berkerut.   "Ada apa, Ayah?" tanya martini  tiba-tiba.   soebandrio   terkejut mendengar pertanyaan itu.  "Mmm... ti-tidak ada apa-apa, Sayang..." jawab  soebandrio   gugup. "O ya, sebaiknya sekarang  kaumakan, sesudah  itu istirahat!" sambungnya  kemudian.  "Tadi martini  sudah makan, Ayah. Sekarang martini   mau langsung istirahat," kata martini  sambil   membereskan barang-barangnya. "Selamat malam, 
Ayah!" katanya kemudian sambil  mencium pipi 
soebandrio  .  "Selamat tidur, Sayang...!" kata soebandrio   sambil  memperhatikan kepergian putrinya.   sekarang  lelaki itu sudah mengalihkan pandangannya  ke arah pintu, sedangkan pikirannya kembali  memikirkan kejadian aneh yang baru dialaminya,  kejadian itu benar-benar telah menghantuinya.  Sementara itu, martini  sudah berada di kamarnya.  sekarang  dia sedang mencoba sepatu barunya. Sejenak matanya yang sayu menatap ke arah sepatu yang  baru dikenakannya, sungguh terlihat cantik melekat di 
kakinya yang jenjang. sesudah  puas mencoba, gadis  itu segera melepas sepatunya dan meletakkannya di  sebuah rak kayu—di antara koleksi sepatunya yang  lain.   sekarang  gadis itu sedang duduk di depan cermin  sambil memperhatikan wajahnya yang cantik, 
kemudian menggerai rambutnya yang sebahu dan 
menyisirnya perlahan. Senyumnya yang manis tampak  mengembang, mengagumi keindahan rambutnya  yang ikal mayang. sesudah  itu dia melangkah ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya yang seksi.  sekarang  kedua matanya tampak memandang ke langit-langit, sedangkan giginya yang putih bersih terlihat  menggigit jari telunjuknya yang lentik. Lalu dengan mata berbinar, gadis itu menatap foto latif  yang tadi 
diambilnya dari meja rias. "latif , kau tampan sekali. Terus terang, aku sudah begitu merindukanmu," kata  martini  dalam hati sambil  mengecup foto itu dengan  bibirnya yang tipis. "latif ... kapan kau pulang ke  Jakarta?" tanya gadis itu kemudian.  sekarang  gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, kemudian melangkah—mengembalikan foto itu ke 
tempat semula. sesudah  itu, dia pun segera berkemas  tidur.   Pada saat yang sama, soebandrio   tampak sedang  berbaring di tempat tidurnya. Rupanya dia masih saja  memikirkan peristiwa yang baru dialaminya, sebuah 
peristiwa yang di luar akal sehatnya.  
 keesokan sorenya, soebandrio   baru saja 
pulang dari kantor. sekarang  dia sedang berdiri 
di depan zebra cross pada sebuah perempatan jalan. Di situ banyak kendaraan bermotor tampak berlalu-lalang, selain itu banyak pula pengamen dan pedagang asongan yang sedang berjuang mengais  rezeki.   soebandrio   masih berdiri di depan zebra cross, dia  menunggu lampu lalu lintas berubah merah. saat   matanya memandang ke seberang jalan, tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang sedang menatapnya.  Sesaat  soebandrio   terkejut, sebab wanita itu mirip 
sekali dengan istrinya yang telah tiada. "martini !" 
katanya dalam hati. Namun sosok wanita itu 
menghilang saat  sebuah bis kota melintas di 
depannya. Mengetahui itu, soebandrio   terkejut bukan  kepalang, kedua matanya tampak liar mencari sosok  wanita tadi.  sekarang  lampu lalu lintas telah berubah merah, dan  orang-orang terlihat mulai menyeberang jalan.  soebandrio   pun segera melangkah bersama-sama  mereka. sesudah  tiba di seberang, soebandrio   kembali 
mencari sosok wanita tadi. "Di mana wanita yang mirip  istriku tadi?" tanyanya dalam hati.  
sekarang  soebandrio   tampak memandang ke seberang  jalan, memperhatikan tempatnya berdiri tadi. Betapa  terkejutnya dia saat  melihat sosok wanita yang mirip  istrinya itu sekarang  sedang berdiri di sana. "Wa-wanita  itu…di-dia memang mirip sekali dengan martini ,"  katanya dalam hati. 
Dengan sorot mata yang tajam, soebandrio   terus 
menatap wajah wanita itu. Lama sekali mereka saling  berpandangan dan tanpa tersenyum sama sekali,  namun sosok wanita itu kembali lenyap sesudah   terhalang oleh sebuah truk besar yang melintas.   "Aneh… siapa sebenarnya wanita itu? Setahuku,  martini  tidak memiliki saudara kembar," tanyanya dalam  hati sambil  melangkahkan kaki meninggalkan tempat  itu. Sesekali matanya menatap ke tempat wanita tadi  berdiri, namun sosok wanita itu benar-benar sudah  menghilang. Setibanya di sebuah rumah makan,  soebandrio   langsung mampir untuk membeli nasi  bungkus. sekarang  dia sedang duduk menunggu sambil 
menikmati sebatang rokok yang terus meracuni tubuh.  saat  sedang asyik-asyiknya menikmati candu  nikotin, tiba-tiba HP yang disimpan di saku celananya  terasa bergetar. soebandrio   pun segera menerimanya.  "Ya, hallo?" sapanya kepada orang yang menelepon.   "Hallo, Yah! Ini martini ."   "O, kau… Nak. Sekarang kau lagi di mana?"  "martini  lagi di jalan, Yah. martini  baru saja pulang dari  Bank. Ayah sendiri lagi di mana?"   "Ayah lagi di rumah makan langganan kita. Kalau  begitu, cepat pulang ya!" 
"Iya, Ayah," kata martini  mengiyakan. 
"Sudah ya, Nak! Hati-hati di jalan!" pesan soebandrio    sambil  menutup HP-nya. Bersamaan dengan itu,  seorang pelayan datang sambil membawa dua  bungkus makanan yang telah dipesannya. "Ini  pesanan Bapak," kata si pelayan ramah.  "O… terima kasih!" kata soebandrio    "Silakan bayar di kasir, Pak!" kata pelayan itu lagi.   soebandrio   segera menuju ke kasir dan  mengeluarkan dompetnya. Belum sempat dia  mengeluarkan uang, tiba-tiba dia dikejutkan oleh  sosok istrinya yang kembali datang. Kali ini petugas  kasir yang dilihatnya itu mirip sekali dengan istrinya.  "martini !" kata soebandrio   seakan tak percaya.  Namun lelaki itu menjadi malu saat  wajah  petugas kasir itu tiba-tiba berubah menjadi wajah  aslinya. Gadis berparas cantik yang bekerja sebagai 
petugas kasir itu tampak heran, "Ada apa, Pak?" 
tanyanya ramah.  "O… ti-tidak. Ma-maaf…!" jawab soebandrio   gugup  sambil  buru-buru membayar nasi bungkus yang  dipesannya.   Sejenak soebandrio   kembali menatap wajah petugas 
kasir itu, sungguh dia benar-benar penasaran dengan  apa yang dilihatnya tadi.   
"Kenapa Bapak memandang saya seperti itu?" 
tanya petugas kasir semakin heran.   Sesaat  soebandrio   tersadar, kemudian tanpa  buang wantu lelaki itu langsung bergegas pergi. Pada 
saat yang sama, petugas kasir hanya memperhatikan  kepergiannya dengan seribu tanda tanya.  Setibanya di rumah, pikiran soebandrio   masih terus  diselimuti berbagai macam pertanyaan. Sungguh  kejadian yang baru dialaminya itu sudah membuat  akal sehatnya sedikit terganggu. Sambil mengganti  pakaian, lelaki itu terus bertanya-tanya, "Apa sekarang  aku 
sudah gila? Kenapa belakangan ini aku sering 
berhalusinasi? Hmm… Apa sebaiknya aku 
memeriksakan diri ke dokter? Ah, mungkin saja 
semua ini karena aku terlalu lelah. Kalau begitu, mulai  saat ini aku akan mengurangi pekerjaanku dan  beristirahat dengan cukup."    sesudah  mengganti pakaian, soebandrio   segera 
melangkah ke dapur untuk mengambil dua buah piring  dan sendok. Tak lama kemudian, dia sudah duduk di  depan meja makan sambil menunggu martini  pulang.   saat  soebandrio   sedang duduk menunggu, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang tiba-tiba  duduk di hadapannya. "Ya-martini ...!" soebandrio    tergagap. Tanpa berkedip, dia terus memandang  martini  yang tersenyum dingin dengan wajah pucat pasi.  Sungguh dia tidak menyangka, kalau orang yang  semasa hidup begitu dicintainya sekarang  hadir  dihadapannya.  
Perlahan soebandrio   mengulurkan tanganya. 
"martini … Aku merindukanmu, Sayang…" kata 
soebandrio   sambil  mencoba menggenggam tangan  martini , namun saat itu tangannya menembus tak bisa  menyentuh tangan martini  sama sekali. "martini … A- aku…" Belum sempat lelaki itu melanjutkan  kalimatnya, tiba-tiba terdengar kataan salam di luar  rumah.   Sesaat  soebandrio   terkejut dan langsung  menoleh  ke arah pintu, saat itu dilihatnya martini  sudah berdiri di  ambang pintu sambil tersenyum kepadanya. sesudah   menutup pintu, gadis itu segera menghampiri  soebandrio  . Pada saat yang sama, soebandrio   tampak  menoleh ke tempat mendiang istrinya duduk, dan  ternyata sosok sang istri sudah menghilang. soebandrio   
terpaku, di benaknya masih tersimpan perasaan yang  belum sempat diungkapkan.  "Ada apa, Ayah?" tanya martini  sambil  duduk di  kursi yang berhadapan dengan ayahnya.  "Ti-tidak ada apa-apa, Sayang..." jawab soebandrio    gugup. "martini … sekarang kauganti pakaian ya!  sesudah  itu kita makan sama-sama!"   martini  mengangguk sambil  bangkit dari duduknya,  kemudian segera melangkah ke kamar. Sejenak 
soebandrio   memperhatikan kepergian putrinya, lalu dia  kembali menatap ke tempat mendiang istrinya tadi  berada. "martini …" panggil soebandrio   berbisik. "Di mana  kau? Aku masih merindukanmu, Sayang..."   soebandrio   kembali memanggil-manggil sosok  istrinya, namun sosok itu tak kunjung hadir. "martini ,  tolong perlihatkan dirimu! Terus terang, aku ingin  sekali berbicara denganmu. Soalnya aku..." Tiba-tiba  soebandrio   terdiam, rupanya dia mendengar langkah 
kaki martini  yang mendekat.  sekarang  soebandrio   tampak membuka nasi bungkus  untuk martini  dan meletakkannya di atas piring, sesudah  
itu dia pun langsung membuka nasi bungkus miliknya  dan meletakkannya di atas piring. Sementara itu, martini   yang baru saja tiba segera duduk di hadapan ayahnya  sambil memperhatikan sang ayah yang sekarang  sedang 
menuangkan minum untuk mereka berdua. Tak lama  kemudian, keduanya tampak menikmati makanan itu  bersama-sama.   Beberapa menit kemudian. "Yah… besok martini   ingin berziarah ke makam Ibu," kata martini  tiba-tiba.  Dengan perlahan soebandrio   mengangkat kepalanya, kemudian memandang wajah putrinya 
dengan penuh haru. "Iya, Nak… besok kita akan ke 
sana," katanya pelan.  "Ayah, martini  rindu sekali sama Ibu," kata martini  lirih. Saat itu soebandrio   tak kuasa menahan kesedihannya, kedua matanya tampak berkaca-kaca—terbayang akan wajah mendiang istrinya  tercinta. Sesaat  air mata mata lelaki itu berderai.  Melihat itu, martini  pun ikut sedih. "Ayah, martini  bisa merasakan apa yang Ayah rasakan," kata martini  terisak sambil meletakkan sendok yang dipegangnya. 
"Hanya kau yang bisa menghibur Ayah, Sayang…" 
balas soebandrio   sambil  menghampiri martini  dan membelai rambutnya penuh kasih sayang.  
Saat itu martini  langsung bangkit dan memeluk 
ayahnya, kemudian dia memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Yah, martini  sangat kehilangan Ibu.  Setiap saat martini  selalu merindukannya." "Sabarlah, Sayang…! Kau harus tabah menerima  cobaan ini!" kata soebandrio   lagi sambil  mencium  kening putrinya.   martini  kembali memeluk ayahnya. Derai air mata 
tampak mengalir di pipinya yang mulus. 
p agi harinya, bias mentari hangat menerpa 
bumi, burung-burung tampak menyambutnya 
dengan kicauan yang begitu merdu. Di kebun 
samping, martini  terlihat sedang memetik bunga. Dia  memetiknya untuk dibawa berziarah ke makam martini . sesudah  bunga yang dipetiknya memenuhi keranjang,  gadis itu segera melangkah masuk. sekarang  dia sedang  meletakkan keranjang yang dibawanya di atas meja.  Pada saat itu ayahnya datang menghampiri.  "Ada telepon untukmu, Nak," katanya kepada martini . 
"Dari siapa, Ayah?" tanya martini  sambil  menatap  mata ayahnya.   "Dari nak latif , Sayang..." jawab soebandrio  .  Mendengar itu martini  tampak tersentak, "latif -latif !"  katanya gembira, kemudian dengan serta-merta  gadis itu berlari ke ruang tengah.  
Sejenak soebandrio   memperhatikan kepergian 
putrinya, tak lama kemudian dia sudah melangkah ke  kebun samping untuk melihat-lihat tanaman yang baru  ditanamnya.   Sementara itu di ruang tengah, martini  tampak  sedang berbicara dengan kekasihnya. "latif , aku  senang sekali kau menghubungiku. Tapi, kenapa baru  sekarang?"  "Maaf, Sayang...!  Aku terlalu sibuk. O ya, 
bagaimana dengan sekolahmu?" tanya latif  
mengalihkan pembicaraan.  "Baik, latif . Kau sendiri bagaimana? Apa kuliahmu  lancar?" martini  balik bertanya.  "Tentu saja," jawab latif . 
"Syukurlah kalau begitu. O ya, kapan kau kembali 
ke Jakarta?"  "Hal itulah yang ingin kusampaikan padamu.  Begini, Sayang... saat ini kan aku sedang memasuki  masa liburan. Jadi, besok aku akan datang menemuimu."  "Benarkah?" tanya martini  seakan tidak percaya.  "Benar, Sayang... aku kan sudah begitu  merindukanmu," jawab latif .
"Masaaa..."   "Sungguh, aku memang sudah sangat  merindukanmu."  
"O ya, tadi kaubilang terlalu sibuk. Sebenarnya 
sibuk apa, kok sampai tidak bisa menghubungiku?"  tanya martini  lagi. 
"Wah, kalau soal itu ceritanya panjang. Mungkin 
kau juga tidak akan percaya jika kuceritakan."   
"Memangnya apa sih?" tanya martini  penasaran. 
"Sudahlah... percuma saja. Kau pasti tidak akan 
percaya."  "latif , aku kan belum mendengar ceritamu. Kau  semakin membuatku penasaran saja. Sebaiknya blekas kau ceritakan!"  "Ran, sebenarnya aku merasa berat menceritakan 
hal ini. Namun karena kau memaksa, terpaksa aku 
menceritakannya. Begini, Sayang... sebenarnya... aku  telah diguna-guna orang. Selama ini aku lumpuh dan  tidak bisa bicara. Untunglah ada seseorang yang  menolongku sehingga aku bisa kembali normal seperti  sekarang. Aku bohong kalau kuliahku lancar-lancar saja, sebenarnya kuliahku mandek selama beberapa  minggu. Nah, karena itulah aku tidak bisa  menghubungimu." 
"Apa benar yang kau ceritakan itu, latif ?” tanya martini   ragu. ”Hmm… Rasanya tidak mungkin ada orang yang  tega berbuat jahat padamu. Eng… Memangnya kau  pernah berbuat salah?" tanya gadis itu kemudian. "Benar kan, kau pasti tidak akan percaya!"  "Tidak, latif ! Aku percaya kok. Aku cuma heran  saja, kenapa orang sebaik kamu masih juga  diperlakukan begitu." 
"Entahlah... mungkin tanpa sengaja aku pernah 
menyakiti seseorang sehingga dia tega berbuat 
begitu. O ya, Sayang... saat ini aku sedang ada 
keperluan mendesak. Sudah dahulu  ya, sampai jumpa besok. Bye..."  "Bye..." balas martini  sambil  menutup teleponnya,  kemudian dia teringat dengan masa-masa indahnya  bersama latif . Saat itu wajahnya tampak ceria dan  hatinya kembali berbunga-bunga, "Oh latif , aku  sangat merindukanmu. Benarkah kau akan pulang 
menemuiku?"  sekarang  gadis itu melangkah dan duduk melamun di 
kursi teras. Saat itu, hatinya betul-betul senang 
membayangkan kedatangan latif . Pada saat yang 
sama, soebandrio   yang sedang berada di kebun 
samping tampak memperhatikannya, kemudian 
dengan segera dia menghampiri.  
"Ada apa, Sayang...?" tanya soebandrio   sambil  
duduk di kursi yang bersebelahan dengan martini .  martini  pun segera menceritakan kabar gembira itu,  sedangkan soebandrio   tampak mendengarkannya  dengan sungguh-sungguh.  
"Jadi, Nak latif  akan pulang besok?" tanya 
soebandrio   seakan tidak percaya. "Iya Ayah," jawab martini  singkat.  "Syukurlah kalau begitu, Ayah juga sudah rindu  dengannya," kata soebandrio   sambil tersenyum.   "O ya, Ayah. Sekarang martini  mau berkemas-kemas dahulu ," Pamit martini  sambil  melangkah pergi. 
 Sementara itu, soebandrio   masih di tempat 
duduknya, dia tampak terdiam seperti memikirkan 
sesuatu. saat  dia memandang ke arah jalan, tiba-
tiba dia melihat seorang wanita cantik bergaun merah  tampak menghampiri. soebandrio   pun memperhatikan  wanita itu, namun dia sama sekali tidak mengenalnya,  sebab memang baru kali ini dia melihatnya.   "Selamat pagi, Pak!" sapa wanita itu dengan  senyuman tersungging di bibirnya.   soebandrio   tidak membalas sapaan itu, dia masih  saja bertanya-tanya perihal wanita yang sekarang  berdiri  dihadapannya.  
sekarang  wanita itu kembali tersenyum. "Anda Pak  soebandrio   kan?"  tanya wanita itu dengan nada lembut. "Maaf! Anda siapa ya? Apa ada perlu dengan saya?" tanya soebandrio   bingung. 
"Benar, Pak. Saya ada perlu dengan Bapak. 
Maksud kedatangan saya ingin menginap di sini," kata  wanita itu mengatakan keperluannya. 
"Me-menginap?" tanya soebandrio   heran. 
"Boleh saya duduk, Pak?" tanya wanita itu lagi. 
 "O, silakan!" kata soebandrio   ramah. 
Wanita itu pun segera duduk, sedangkan soebandrio    tampak memperhatikannya dengan mata tak  berkedip. sekarang  dia sedang diselimuti kebingungan  perihal wanita yang berada di sebelahnya. "O ya, anda  mau minum apa?" tanyanya kepada wanita itu.   Wanita itu tampak tersenyum. "Apa saja boleh," 
jawabnya kemudian.  Melihat itu, soebandrio   ikut tersenyum. "Kalau begitu,  tunggu sebentar ya!" kata soebandrio   sambil  beranjak  ke dapur.  
sekarang  soebandrio   sedang sibuk membuat minuman.  Sementara itu, martini  yang baru saja keluar dari kamar  mandi tampak menghampirinya. "Minuman buat siapa,  Ayah?" tanyanya kepada sang Ayah yang masih sibuk  membuat minuman. 
“Buat tamu, Sayang…" jawab soebandrio  .  
"Tamu…? Siapa dia, Ayah?" tanya martini  lagi.  
"Entahlah… Ayah juga tidak kenal," jawab 
soebandrio  .  Karena penasaran, martini  pun segera melangkah  ke teras. Namun setibanya di tempat itu dia tidak  melihat siapa-siapa. "Tamunya mana, Yah!" teriaknya  kepada soebandrio  .  Mendengar itu, soebandrio   pun segera keluar sambil  membawa dua gelas minuman yang baru dibuatnya.  Setibanya di teras, dia langsung melihat ke arah kursi  yang diduduki wanita tadi. soebandrio   langsung bingung 
saat  mengetahui wanita itu memang sudah tidak 
ada. sekarang  soebandrio   tampak meletakkan minuman yang  dibawanya ke atas meja, kemudian kepalanya tampak  menoleh kiri-kanan—mencari-cari wanita itu.  Sementara itu, martini  cuma duduk memperhatikan  ayahnya yang tampak kebingungan—mundar-mandir 
mencari wanita yang dimaksud.  sekarang  soebandrio   kembali menghampiri martini  dan 
segera duduk di sebelahnya. "Ke mana tamunya ya?  Tadi kan dia duduk di sini," kata soebandrio   dengan  kepala yang masih saja tampak celingukan.   "Ah, Ayah ada-ada saja. Minuman ini buat martini   saja ya?" kata martini  sambil  meneguk minuman yang  ada di atas meja. 
"Aneh…" kata soebandrio   dalam hati, kemudian dia  tampak mengambil gelas yang masih penuh dan  meminum isinya.   martini  cuma tersenyum melihat kelakuan ayahnya,  dia merasa lucu dengan kejadian itu. sesudah  kedua 
gelas itu kosong, martini  pun langsung membawanya ke  dapur.  "Ayah-Ayah…" kata martini  sambil  geleng-geleng kepala.    
Sementara itu soebandrio   masih duduk di kursi 
teras, dia masih saja bingung dengan kejadian tadi.  Hingga akhirnya, soebandrio   memutuskan untuk  melupakan kejadian itu.   sekarang  lelaki itu tampak asyik membaca surat kabar  pagi sambil menikmati sebatang rokok. Tiba-tiba 
perhatiannya tertuju pada sebuah artikel yang berjudul  “Bersekutu dengan Setan”.   marijan kartosuwiryo  mulanya adalah seorang yang 
miskin, sesudah  dia bersekutu dengan setan akhirnya  dia menjadi orang yang sangat kaya. Pada suatu  saat  dia bertaubat, dan sejak itulah kekayaan yang  dimilikinya semakin hari semakin berkurang. Semua  harta yang ada dijual dan digadaikan hingga jabatan  direkturnya pun berpindah tangan kepada orang lain.  Pada saat itulah Pak Abdi kebingungan dan tidak tahu 
harus berbuat apa untuk menghadapi segala 
permasalahannya.   Hingga pada suatu saat , istrinya memberi  masukan yang sangat berarti. Waktu itu sang Istri  berkata “Janganlah Bapak menyesal jika harta itu  sirna lantaran keputusan tepat yang sudah Bapak  ambil. Karena suatu saat Bapak pasti akan mendapat  gantinya melalui cara yang lebih baik.” Saat itulah Pak Abdi Dinata menjadi kuat menghadapi segala macam 
rintangan, dan beliau sangat mencintai istrinya yang  telah menyadarkannya dari perbuatan sesat. 
soebandrio   terdiam memikirkan isi artikel itu, ternyata  artikel itu mirip sekali dengan masa lalunya, masa  lalunya yang penuh dengan kesesatan dan telah  membuatnya melupakan Tuhan. Sekarang soebandrio    sudah bertaubat dan menjadi manusia biasa yang  tidak memiliki  kemampuan supranatural lagi.   Tiba-tiba soebandrio   teringat dengan mendiang 
istrinya, dimana semasa hidup istrinya itulah yang 
telah menyadarkan dia dari perbuatan sesat. Sampai  saat ini soebandrio   memang tidak mungkin bisa  melupakan kenangan manis saat  bersama istrinya.  Apalagi sesudah  peristiwa belakangan ini, dimana  sosok sang istri selalu datang menemuinya. Sungguh  kehadiran sosok istrinya itu telah membangkitkan  segala kerinduannya.  sekarang  soebandrio   kembali memikirkan berbagai  peristiwa aneh yang dialaminya. Hingga sekarang  dia masih 
dibuat bingung, dan dia tidak mengerti kenapa dirinya  selalu dihantui oleh sosok sang Istri, bukankah  seharusnya mendiang istrinya itu sudah berada di  alamnya.   
Mendadak soebandrio   dikejutkan oleh kehadiran 
martini  yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya sambil  menenteng sekeranjang bunga. "Yuk Ayah, kita  berangkat sekarang!" ajak martini  sambil  duduk di bsebelah ayahnya. "I-iya Sayang... tapi sebentar, Ayah ganti baju  dahulu ," jawab soebandrio   sambil  beranjak pergi. Tak lama 
kemudian dia sudah kembali sambil menenteng ceret  yang berisikan air mawar. sesudah  mengunci pintu,  mereka pun segera berangkat ke pemakaman dengan  berjalan kaki. Letak pemakaman itu memang tidak  begitu jauh, cuma makan waktu 16 menit  untuk sampai ke sana. 
Setibanya di pemakaman, martini  langsung 
bersimpuh di makam ibunya, sedangkan soebandrio    tampak bersimpuh di sisi yang berlawanan. Hingga  saat ini mereka masih saja bingung melihat makam itu  selalu bersih, padahal selama ini soebandrio   tidak  pernah mengeluarkan uang untuk biaya perawatan. 
Sekilas soebandrio   mengarahkan pandangannya ke  sebuah pohon yang agak jauh di belakang martini . Dan  dia agak terkejut saat  melihat seorang wanita  tampak bersandar di pohon itu. Wajahnya tampak  begitu pucat, sedang kedua matanya tampak  mengawasi mereka dengan penuh misteri. Sejenak  soebandrio   memperhatikan wanita itu, kemudian 
pandangannya segera beralih kepada martini  yang  terlihat masih menaburkan bunga-bunga di makam bibunya. "Hmm... siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa  dia memperhatikan kami begitu rupa?" tanya soebandrio    dalam hati. Kemudian pandangannya kembali beralih 
ke arah pohon tadi. Dan betapa terkejut dia saat  
mengetahui wanita tadi sudah tidak ada, raut 
wajahnya pun berubah seperti orang kebingungan.  martini  yang melihat wajah ayahnya seperti itu 
merasa heran, "Hmm... apa yang sedang dilihat Ayah  di belakangku?" tanyanya dalam hati. Lalu dengan  serta-merta gadis itu menoleh ke belakang, dan  ternyata dia tidak melihat sesuatu pun yang  mencurigakan. sekarang  gadis itu kembali memperhatikan  ayahnya yang sedang merapikan bunga-bunga yang  telah ditaburinya. "Ada apa, Ayah? Kok tadi Ayah  seperti orang bingung?" tanyanya kepada soebandrio  . 
"O, ti-tidak ada apa-apa, Sayang..." jawab 
soebandrio   sengaja merahasiakan apa yang dilihatnya. Kemudian dia segera mengambil ceret yang berisi air  mawar dan langsung menyiramkannya ke makam  martini . sesudah  itu dia mengajak martini  untuk berdoa  bersama. 
sekarang  keduanya tampak berdoa dengan begitu 
khusuk, memohon kepada Tuhan agar arwah orang  yang mereka cintai diterima di sisi-Nya. Baru saja  keduanya selesai berdoa, tiba-tiba soebandrio   dikejutkan  oleh sosok istrinya yang mendadak hadir. Dilihatnya  sosok sang istri sedang berdiri di belakang martini   sambil menatapnya dengan pandangan yang begitu 
dingin.   Jantung soebandrio   langsung berdegup kencang,  bersamaan dengan itu hawa dingin terasa merasuki  tubuhnya. Lalu dengan serta-merta dia mengalihkan  pandangannya ke arah martini  yang saat itu dilihatnya  sedang memeluk makam ibunya sambil menangis  sedih.  "Ibu…! martini  sayang sama Ibu. Sebenarnya  martini  ingin sekali memeluk Ibu. Namun karena dunia 
kita berbeda, martini  cuma bisa memeluk makam Ibu.  martini  mohon, Ibu tidak akan lupa sama martini , dan martini   akan terus berdoa untuk Ibu," kata martini  sambil terus  terisak.   Saat itu soebandrio   ikut hanyut dalam kesedihan, 
kemudian dia kembali melihat sosok istrinya yang 
masih saja berdiri di belakang martini . Dia melihat sosok  sang istri tampak membelai-belai kepala martini  dengan  wajah begitu sedih. soebandrio   pun segera memegang  tangan martini  dan menatapnya dengan penuh prihatin. 
"Sudahlah martini … kau jangan terlalu bersedih, Nak!  Ibumu pasti akan sedih jika melihatmu seperti ini,"  katanya kepada martini  yang masih saja menangis.  Kemudian dia kembali melihat ke belakang martini ,  "Hmm... ke mana dia?" tanyanya dalam hati sambil   mencari-cari sosok istrinya itu, kedua matanya tampak 
menatap hampir ke semua penjuru pemakaman.  
"Ada apa, Ayah?" tanya martini  dengan mata masih berlinang.  
 soebandrio   tidak menjawab, dia justru mengajak 
martini  untuk menuju ke makam orang tua martini —kakek  dan nenek martini . Kebetulan makam itu memang tidak  begitu jauh. sesudah  menaburkan bunga dan berdoa di  makam tersebut, keduanya pun segera beranjak  pulang.  Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan  seorang kakek berpeci hitam, di tangannya  tergenggam tongkat kayu yang berukir. sekarang  kakek itu 
tengah menatap mereka sambil tersenyum ramah. 
Pada saat yang sama, martini  tampak membalas 
tersenyum sang Kakek sambil terus berlalu.  
"Siapa dia, Nak?" tanya soebandrio   sambil  
memandang ke arah kakek yang sudah kian menjauh.  b"Kalau tidak salah, dia itu penjaga makam-makam  tadi, Ayah," jawab martini .  
"Dari mana kau tahu?" tanya soebandrio   lagi.  
"Waktu itu—sewaktu berziarah di makam kakek 
dan nenek, martini  sempat diberi tahu sama Ibu," jelas  martini .  "O... begitu," kata soebandrio   sambil  mengangguk-angguk. Tiba-tiba kedua matanya tampak tertuju ke  langit, "Wah, sepertinya hari ini akan turun hujan,"  kata soebandrio   lagi sesudah  melihat Awan hitam tampak  mulai menyelimuti angkasa.  
Menyadari apa yang akan terjadi, mereka pun 
segera mempercepat langkah—menyusuri jalan 
setapak yang bergelombang. Setibanya di rumah, 
soebandrio   langsung duduk di kursi teras untuk melepas  lelah, sedangkan martini  tampak pergi ke dapur untuk  menyimpan ceret yang tadi dibawanya.   sekarang  gadis itu sedang berbaring di tempat tidur  sambil melamunkan sang Pujaan hati, serta  mengenang kembali akan masa-masa indah  bersamanya. Saat itu, wajahnya yang cantik tampak  begitu berseri-seri. Pada saat yang sama, soebandrio  tampak masih asyik bersantai. saat  hendak  menyalakan sebatang rokok, tiba-tiba "Braaaan...!" dari samping rumah terdengar suara wanita  memanggil.    "Siapa?" tanya soebandrio   sambil  beranjak  memeriksa, dan betapa terkejutnya dia saat   mengetahui di samping rumah tidak ada siapa-siapa. "Hmm... siapakah yang memanggilku barusan?" 
tanya lelaki itu dalam hati.  "Braaaan...!" tiba-tiba panggilan itu kembali terdengar.   Lagi-lagi soebandrio   terkejut, kemudian dengan 
segera dia mencari orang yang memanggilnya. 
"Aneh. tidak ada siapa-siapa. Apakah itu martini?" tanya lelaki itu dalam hati.   sekarang  soebandrio   sudah tidak menghiraukannya, dia   kembali duduk dan menikmati asap rokoknya. saat  
lelaki itu memandang ke arah jalan, tiba-tiba dia 
melihat sosok wanita berbaju merah yang tadi pagi  datang bertamu. Wanita itu tampak berdiri di tepi jalan  sambil memandangnya dengan tersenyum simpul.  Rambutnya yang panjang tampak tergerai menutupi  sebagian gaun merah yang dikenakannya.   soebandrio   tampak mengucek kedua matanya, kemudian dia kembali memperhatikan sosok wanita  tadi. Semula dia tidak percaya dengan penglihatannya, namun sekarang dia yakin betul kalau  wanita itu memang yang tadi pagi datang bertamu. 
"Hmm.. tidak salah lagi, wanita itu memang dia. Kalau  begitu, aku akan segera menghampirinya," kata  soebandrio   dalam hati.Namun belum sempat dia beranjak, tiba-tiba hujan  gerimis mulai turun menyiram bumi. Bersamaan 
dengan itu, wanita tadi segera menghampiri soebandrio  . "Selamat siang, Pak!" katanya sambil  tersenyum  manis. "Siang Nona…! Mari, silakan duduk!" tawar  soebandrio   ramah. 
Wanita itu pun segera duduk di sebelah soebandrio  , bersamaan dengan itu senyumannya yang manis  kembali tersungging.   Belum sempat soebandrio   membalas senyuman itu,  
tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya, disertai dengan  halilintar yang menggelegar keras. Saat itu soebandrio  tersentak kaget lantaran mendengar suara guntur  yang begitu kerasnya, namun dia agak heran saat  melihat wanita yang bersamanya tampak biasa-biasa  saja. Karena itulah, keinginannya untuk lebih  mengenal wanita itu pun timbul. "Eng... kalau boleh  saya tahu, siapa namamu?’ tanya soebandrio   sopan.  
Wanita itu tidak menjawab, dia terlihat hanya 
tersenyum ramah.  "Emm… Tolong perkenalkan dirimu, Nona! Dan  tolong katakan maksud dan tujuanmu kemari!" pinta  soebandrio   dengan nada lembut.  Belum sempat soebandrio   mendapat jawaban, tiba-tiba saja wajah wanita itu berubah menjadi wajah  martini . Tak ayal, soebandrio   pun langsung terkejut bukan 
kepalang, dadanya berdegup kencang, dan hawa 
dingin terasa merasuki tubuhnya. "Ya-martini ! Ke-
kenapa kau selalu menggangguku?" tanyanya dengan  terbata-bata.   martini  tidak menjawab, dia terlihat memandang  soebandrio   dengan tatapan yang begitu dingin. Dan tiba-tiba saja sebuah senyuman dingin tampak tersungging 
di bibirnya yang pucat. Saat itu soebandrio   merasa serba  salah, "Ya-martini ... a-aku…" Belum sempat soebandrio    melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba saja lelaki itu  mendengar suara jeritan keras yang berasal dari 
dalam rumah.   "martini ...?" kata soebandrio   dalam hati saat   menyadari kalau itu suara jeritan martini , lalu dengan serta-merta lelaki itu bergegas menemuinya.   "Ada apa, Sayang...?" tanya soebandrio   panik.   "martini  bermimpi, Yah, " jawab martini  sambil   mengusap-usap lututnya yang sakit karena terjatuh  dari tempat tidur. 
"O, jadi kau jatuh karena bermimpi," kata soebandrio   sambil  memegang lutut putrinya. 
"Aduh, sakiiit... Ayah," rintih martini . 
"O… rupanya kakimu terkilir, Nak. Kalau begitu, 
Ayah akan menggosoknya dengan minyak tawon," 
kata soebandrio   sambil  mengangkat putrinya dan  membaringkannya di atas tempat tidur.  
sekarang  lelaki itu  tampak sibuk mencari minyak tawon  yang biasa digunakannya untuk mengobati cidera  seperti itu. sesudah  menemukan apa yang dicarinya, soebandrio  segera mengoleskan minyak itu ke kaki  martini  yang terkilir, juga ke lutut martini  yang terlihat  memar. "Nah, sekarang istirahatlah! Nanti juga akan  sembuh," kata soebandrio   sambil  mengecup kening 
putrinya.  "Terima kasih, Ayah!" kata martini  sambil  tersenyum.  Tiba-tiba soebandrio   teringat dengan sosok istrinya yang sedang berada di teras muka, kemudian dia  bergegas untuk menemuinya. saat  lelaki baru saja keluar kamar, tiba-tiba "Auu... Ayaaah!" teriak martini  
kesakitan.  soebandrio   pun terkejut dan segera 
menghampirinya. "Ada apa, Nak?" tanyanya khawatir. martini  tidak menjawab, dia segera beranjak dari  tempat tidur dan langsung memeluk ayahnya dengan  isak tangis yang cukup memilukan.    "Ada apa, Sayang...?" tanya soebandrio   lagi. "Ka-kaki martini , Ayah," jawab martini  terisak.  "Kenapa kakimu? Bukankah tadi sudah diobati,"  tanya soebandrio   bingung. 
"Entahlah... sepertinya tadi ada yang memegang 
kaki martini , Ayah," jawab martini  dengan raut wajah yang  tampak ketakutan. "Auh! Aduh, sakiiit!" tiba-tiba martini  menjerit.  
soebandrio   agak panik melihat keadaan putrinya 
seperti itu, "Sabar, Nak! Kakimu pasti sembuh," kata  soebandrio   menenangkan.  
"Tolong Ayah, tolong…! Aduh sakiiit." martini  terus 
merintih, merasakan sakit yang luar biasa. Dia terus  menangis , hingga air matanya tampak 
membasahi pipi.  soebandrio   sangat kasihan melihat keadaan putrinya, namun dia tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu dia  cuma bisa membelai-belai kepala martini  dengan penuh 
kasih sayang. Tak lama kemudian, martini  mulai tenang, rasa sakit di kakinya sedikit demi sedikit mulai  berkurang.  Melihat itu, soebandrio   merasa lega. Kemudian dia  segera menyelimutinya dengan selimut yang hangat.  "Istirahatlah, Sayang...! Ayah akan menemanimu di 
sini," katanya sambil  membelai rambut putrinya. 
martini  tampak tersenyum. Saat itu dia pun 
merasakan kakinya mulai berangsur sembuh. "Ayah, sekarang kaki martini  sudah tidak terasa sakit lagi," jelasnya kepada soebandrio  . 
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Padahal, tadi 
Ayah begitu mengkhawatirkanmu," kata soebandrio   merasa senang mendengar pernyataan putrinya. Sementara itu di sudut ruangan, sosok martini   tampak sedang memandang wajah putrinya. Parasnya 
yang cantik tampak begitu pucat, namun senyum di  bibirnya memperlihatkan kebahagiaan. Pada saat itu  soebandrio   masih terduduk di sisi tempat tidur, dia terus menemani putrinya sampai tertidur pulas.   sesudah  tahu putrinya terlelap, soebandrio   segera  keluar kamar dan duduk di kursi tamu. sekarang  dia sedang  termenung di tempat itu, memikirkan semua peristiwa 
yang telah dia alami. Sementara itu di luar rumah, 
hujan lebat masih saja mengguyur Bumi. Sesekali kilat  membias dengan diiringi bunyi halilintar yang  menggelegar.   saat  hari sudah menjelang sore, soebandrio  segera beranjak dari duduknya dan bergegas  mengontrol semua ruangan. sekarang  dia sedang berada di dapur untuk membasahi kerongkongannya yang  terasa kering. Dan saat  baru saja meneguk segelas air bening, tiba-tiba dia mendengar suara langkah 
seseorang di belakang rumahnya.  soebandrio   segera membuka pintu belakang dan  memeriksa suara itu. "Hmm... tidak ada siapa-siapa. 
Lalu tadi itu langkah siapa?" tanya soebandrio   sambil   menoleh kiri-kanan. soebandrio   benar-benar telah dibuat  bingung, padahal tadi dia memang mendengar suara  langkah kaki yang berjalan di belakang rumahnya. "Hmm... mungkinkah itu martini  yang sengaja ingin 
menggangguku, tapi kenapa dia berbuat begitu?" 
tanya soebandrio   lagi sambil  melangkah masuk. 
Hingga sekarang  soebandrio   masih belum mengerti  dengan kehadiran sosok martini , dan dia mulai merasa terganggu dengan kehadirannya. sesudah  mengunci  pintu rapat-rapat, soebandrio   segera melangkah ke  kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. sekarang  dia  sedang memikirkan martini , memikirkan perihal  kehadirannya yang masih penuh misteri. Sementara  itu, sosok yang sedang dipikirkan soebandrio   sudah 
berada diruangan itu, dia berdiri di sisi soebandrio   dengan tidak menampakkan diri. Saat itu dia hanya memperhatikan soebandrio   yang dilihatnya masih saja termenung.  Tiba-tiba, di samping sosok wanita itu telah berdiri 
sesosok hitam yang sekarang  sedang memandangnya. "Sekarang kau ikut aku! Aku akan mengajarkan bagaimana caranya agar kau memiliki  kekuatan  lebih guna berinteraksi dengan mereka," ajak sosok  hitam itu.  Sosok wanita itu pun menurut, kemudian dia  tampak melesat pergi mengikuti sosok hitam yang  dilihatnya berkelebat ke arah makam.  Besok siangnya, cuaca tampak cerah. Namun  kecerahan itu tidak berarti apa-apa bagi  seorang gadis SMU yang sekarang  sedang duduk  termenung di dalam kelas. Wajahnya yang cantik  terlihat begitu murung, sedangkan tatapannya tampak  kosong memandang ke arah taman. Sepertinya dia  sedang dilanda kekecewaan, dan kekecewaan itu  membuat segalanya menjadi tidak bermakna.  "Hai…martini ! Kok melamun saja!" sapa seorang  gadis tiba-tiba. 
martini  terkejut dan langsung menoleh ke belakang.  "Eh! Kau Lin," katanya sambil  mencoba tersenyum.   "Memangnya ada apa sih?" tanya Linda teman  sekelas martini .  "Ah, tidak. Tidak ada apa-apa kok," jawab martini . "Ikut aku ke kantin yuk!" ajak Linda.  "Kau dahulu an deh! Nanti aku menyusul."   "Oke deh. Kalau begitu, aku dahulu an ya," pamit  Linda.   martini  mengangguk, kemudian dia memperhatikan  kepergian teman sekelasnya itu. Tak lama kemudian  dia sudah termenung kembali, "Kenapa latif  tidak jadi 
datang? Padahal aku sudah sangat merindukannya.  Apa benar yang dikatakannya semalam, kalau jadwal  penerbangannya telah ditunda. O ya, di sana kan  memang sedang musim dingin, dan hal itu mungkin  saja terjadi. Tapi... ah sudahlah. Yang penting kan dia 
sudah berjanji kalau lusa akan datang." sekarang  gadis itu  membayangkan wajah kekasihnya. Lama juga dia  melamunkan sang pujaan hati, hingga akhirnya dia  teringat akan ajakan temannya.   Lantas dengan segera Gadis itu bangkit dan  bergegas ke Kantin. Setibanya di tempat itu dia agak  kecewa, ternyata temannya yang bernama Linda  sudah tidak ada. Kantin pun sudah mulai sepi,  sebagian siswa-siswi sudah pindah ke taman sekolah  untuk bercengkerama sesama teman maupun ngobrol  dengan pacar di tempat-tempat yang strategis. Cuma  ada segelintir siswa yang masih tetap bertahan, 
mereka tampak berbicara dengan pacarnya masing-masing.   sekarang  martini  sedang duduk sendirian, dia tampak  menikmati segelas jus yang baru dipesannya.  Mendadak matanya tertuju ke arah areal parkir yang  tak jauh dari tempat itu, dilihatnya sebuah sedan  mewah tampak sedang memasuki pelataran parkir. 
martini  memperhatikannya sejenak, kemudian 
pandangannya segera beralih ke tempat lain. sekarang   pikirannya menerawang jauh mengingat masa-masa  indah bersama kekasihnya.  Sementara itu di areal parkir, seorang pemuda  baru saja turun dari sedan mewah yang dilihat martini .  sekarang  dia sedang menghampiri martini  yang tanpa sengaja 
telah dilihatnya saat  masih di dalam mobil. "Hallo, 
Sayang...!" sapanya mesra.   martini  tersentak sambil  menoleh ke asal suara, dan  betapa terkejut dia saat  mengetahui pemuda yang 
menyapanya.  "latif -latif ii!" serunya sambil  memeluk  pemuda itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca.  Sungguh dia sangat bahagia sekali berjumpa dengan  kekasihnya, sang kekasih yang selama ini begitu  dirindukan.  Mereka terus berpelukan saling melepas rindu, tak  lama kemudian mereka sudah melepaskan pelukan 
masing-masing. sekarang  mereka saling berpandangan  dengan mata yang berbinar-binar. Di bibir keduanya  tersungging senyum keceriaan, sebuah ekspresi yang  menandakan keduanya sangat berbahagia.  "Bagaimana kabarmu, Sayang...?" tanya latif .   "Aku baik-baik saja, latif ," jawab martini  sambil   kembali duduk di kursinya.    "Mbak, teh botolnya satu!" pesan latif  sambil   duduk berhadapan dengan martini . 
"latif , kenapa kau membohongiku! Kau telah 
membuatku sedih."  "Maaf, Sayang...! Sebenarnya aku cuma  bercanda. Maksudku ingin memberi kejutan, begitu"  "Kau jahat. Tahu tidak, saat  kaubilang tidak jadi  datang aku begitu sedih. Padahal aku sudah begitu  membayangkan kehadiranmu."  "Maaf, Sayang...! Aku tidak bermaksud begitu.  Yang penting sekarang aku sudah berada di  hadapanmu, dan kita sudah saling melepas rindu.  Sudahlah, Sayang...! Kita tidak perlu membahas  masalah ini lebih jauh, sebaiknya sekarang kita  bicarakan yang lain saja!"  martini  tampak tersenyum, kemudian keduanya  kembali berbincang-bincang untuk mencurahkan  segenap perasaan mereka yang selama ini  terpendam.  
“martini ... sudah lama juga ya kita tidak bertemu. 
Apakah selama ini kau selalu merindukanku?" tanya  latif  lagi.   "Tentu saja, latif ! Aku sangat merindukanmu, setiap  saat aku selalu memikirkanmu, dan saat  kaudatang  tadi, aku pun sedang memikirkanmu," jawab martini   dengan wajah bersemu merah.  "A-apakah kau juga 
merindukanku?" martini  balik bertanya. 
latif  bukannya menjawab, tapi malah balik 
bertanya. "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar 
ayahmu?" tanyanya seakan tidak peduli dengan 
pertanyaan martini . martini  terdiam, saat itu dia masih penasaran ingin  mengetahui jawaban latif  atas pertanyaannya tadi.   "Kau belum menjawab pertanyaanku, latif ," katanya pelan. 
"Iya… aku merindukanmu, Sayang… makanya 
aku langsung menemuimu di sini," jawab latif .  "O 
ya, Aku punya kejutan untukmu," sambungnya 
kemudian. "Kejutan…? Apa itu, latif ?" tanya martini  penasaran. "Nanti saja ya, sepulang sekolah," jawab latif . "Nah... sekarang kaujawab pertanyaanku tadi, bagaimana kabar ayahmu?"  
"Beliau baik-baik saja, latif ," jawab martini  singkat.  Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Selang beberapa saat, para siswa-siswi terlihat mulai memasuki kelasnya masing-masing. 
"Wah, sudah waktunya masuk. Kalau begitu kau 
tunggu di sini ya!" pinta martini .   
latif  tidak berkata apa-apa—dia cuma 
mengangguk sambil tersenyum simpul. sekarang  martini  tampak memandang latif  dengan tatapan yang seakan berat untuk meninggalkannya. "latif .. kau jangan ke mana-mana ya!" pinta martini  lagi sambil  beranjak dari tempat duduknya. Kemudian dia segera melangkah untuk membayar apa yang sudah dipesannya tadi, sekaligus dengan minuman yang baru dipesan oleh kekasihnya. "Tunggu aku ya, latif !" serunya sambil  berlari ke kelas.  sekarang  latif  duduk sendirian. Di kantin sudah benar-benar sepi, yang ada hanyalah para wanita yang sedang berjualan di tempat itu. Mereka memandangnya dengan penuh rasa kagum. Menurut pandangan mereka, latif  begitu gagah, wajahnya pun tampan, sungguh membuat mereka tak jemu-jemu untuk memandang. 
"Cowok Indo bukan?" tanya seorang pedagang 
kepada temannya.  "Tidak tahu," jawab temannya itu.  Tiba-tiba saja latif  memandang ke arah mereka, "Mbak! Tolong teh botolnya satu lagi!" serunya memesan.  Dengan agak tergesa-gesa, wanita pedagang itu segera mengambilkan minuman untuk latif . Dan tak lama kemudian, "Ini minumannya, Den. Silakan!" katanya ramah. 
latif  tampak menyambut botol yang diberikan oleh 
wanita itu, "O ya, Mbak. Botolnya saya bawa ke mobil  ya!" pintanya kemudian. 
"O, silakan Den," kata si wanita sambil tersenyum.  
latif  segera melangkah ke mobil dan duduk 
menyalakan tape mobilnya. sekarang  dia sedang bersantai, menikmati minuman sambil mendengarkan tembang manis yang mengalun merdu. sesudah  lama menunggu, akhirnya bel pulang berbunyi. Tak lama kemudian, para siswa-siswi terlihat berhamburan keluar. Pada saat itu, latif  melihat martini  yang sedang berlari ke arah kantin. "martini … aku di sini!"  teriaknya 
memanggil. martini  yang mendengar teriakan itu segera menoleh, kemudian bergegas menghampiri latif . "Aduh, latif ! Maaf ya! Kau pasti lama menunggu,’ katanya sambil  menyandarkan lengannya di pintu mobil. "Ah tidak apa-apa, Sayang… lagi pula, selama menunggumu aku mendengarkan musik kok. Jadi, tidak terasa begitu lama," jelas latif  .  Tiba-tiba martini  melihat sebuah botol kosong yang tergeletak di dashboard mobil.  "O ya, minumannya 
sudah dibayar belum?" tanyanya mengingatkan.  
"Ups…!" kata latif  sambil  tersenyum. 
Begitu latif  hendak mengeluarkan dompetnya, 
tiba-tiba, "Biar...! Biar aku saja yang bayar, latif ..." tahan martini  sambil  mengambil botol kosong itu dan langsung bergegas ke kantin.  
Tak lama kemudian, martini  sudah kembali. sekarang  dia sedang masuk ke dalam mobil dan duduk di sisi kekasihnya. Pada saat itu, latif  tampak memandangnya dengan mata berbinar. "Kau cantik sekali, Sayang..." puji latif  sambil  mengecup kening kekasihnya.  "Terima kasih, latif !" kata martini  dengan wajah bersemu merah.  sekarang  sedan mewah yang mereka tumpangi mulai melaju meninggalkan sekolah. Di tengah perjalanan, martini  selalu memandangi wajah latif  yang tampan, perasaan rindunya seakan belum terlepaskan. "Kenapa kau memandangku terus, Sayang…?" suara latif  tiba-tiba terdengar di telinganya.  martini  tersipu dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Ngomong-ngomong, kau baru ganti mobil ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Benar, Sayang… di kota semacet Jakarta ini, 
menurutku lebih enak mengendarai mobil yang 
bertransmisi otomatis. Karena itulah aku mengganti mobilku," jelas latif  panjang lebar. 
"O… begitu," martini  tampak mengangguk-angguk.
"O ya, Sayang... sebenarnya..." Belum sempat 
latif  menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba dia 
 mendengar nada HP-nya berbunyi. Lalu, dengan 
segera dia menerimanya, "Ya, hallo!" sapanya kepada lawan bicaranya. "Maaf, Sayang...! Aku tidak bisa.Sekarang banyak pekerjaan yang harus 
kuselesaikan," jawab latif  yang tiba-tiba berbicara 
dengan bahasa Jepang.   martini  yang sejak tadi memperhatikannya agak heran saat  melihat raut wajah latif  tampak sedikit gugup. Melihat itu, latif  berusaha tersenyum seperti hendak menutupi kegugupannya. "Sudah ya, nanti akan kutelepon balik," katanya sambil  mematikan 
sambungan HP. "Siapa, latif ?" tanya martini  yang memang tidak mengerti pembicaraan itu. 
"O, dia temanku di Jepang," jawab latif .  
"Laki-laki?" tanya martini  lagi. latif  mengangguk, dan anggukkan itu dilihat martini  seperti sebuah kebohongan. Namun martini  berusaha 
untuk tidak membahas masalah itu lebih lanjut, dia berusaha berprasangka baik kepada kekasihnya. Sementara itu, latif  terus mengemudikan mobilnya menelusuri jalan raya. Sekilas matanya tertuju pada sebuah restoran yang terletak di seberang jalan. "Kita makan dahulu  yuk!" ajaknya sambil  melihat ke arah 
martini .   martini  tersenyum sambil  menganggukkan  kepalanya. Mengetahui itu, latif  langsung memutar  mobilnya menuju ke restoran yang dilihatnya tadi. Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi sudah diparkir tak jauh dari pintu masuk. sekarang  latif  tampak 
sedang membuka sabuk pengaman sambil  menatap martini  yang dilihatnya sedang bengong. 
"Kita sudah sampai, Sayang..." katanya pelan.  
martini  tersadar dan langsung menatap ke arah 
restoran. Di dalamnya terlihat banyak pengunjung 
yang sedang menikmati santap siang. "Kok makan di sini, latif ?" tanyanya sambil  membuka sabuk 
pengaman. "Ini tempat favoritku yang baru. Masakan di sini enak sekali loh. Kau pasti menyukainya,"  jawab latif . martini  menatap latif  sambil tersenyum manis. Melihat itu, latif  langsung menggenggam kedua  tangan kekasihnya dengan lembut. sekarang  mereka 
terhanyut dalam perasaan cinta yang menggelora, 
bola mata keduanya tampak saling memperhatikan  satu sama lain. saat  keduanya hendak berciuman,  tiba-tiba terdengar bunyi klakson yang cukup keras, berasal dari mobil yang parkir di sebelah kanan mereka. Kedua pasangan itu serentak kaget,  bersamaan dengan martini  yang segera menarik tangannya dari genggaman latif .   Saat itu latif  langsung menoleh ke asal suara,  "Huh, usil sekali sih. Tidak boleh ada orang senang  sedikit," keluhnya merasa kesal. 
"Sudahlah, latif ! Mungkin orang di mobil itu tidak 
sengaja." "Tidak mungkin. Aku rasa orang itu iri melihat kita," komentar latif  sambil  keluar dari mobil dan melihat ke dalam mobil di sebelahnya. Karena kaca  mobil itu agak gelap, latif  berusaha melihatnya lebih bdekat lagi. "Aneh... tidak ada siapa-siapa? Lalu kenapa tadi klaksonnya berbunyi?" latif  tampak begitu  heran.  
 
Dengan pikiran yang masih dipenuhi tanda tanya, 
latif  bergegas membukakan pintu untuk martini . "Aneh 
sekali, Sayang… ternyata di mobil itu tidak ada orang," 
katanya memberitahu. 
"Masa..." kata martini  seakan tidak percaya, 
kemudian dia segera keluar dan melangkah 
mendekati mobil itu. "Kau benar, latif . Hmm... apa 
mungkin orang itu sudah pergi tanpa sepengetahuan 
kita. Bukankah tadi kita tidak terlalu 
memperhatikannya," sambungnya kemudian. 
"Hmm… Mungkin saja. Tapi... kenapa cepat 
sekali? Ah, sudahlah! Kalau begitu, yuk kita masuk! 
Terus terang, aku sudah lapar sekali," ajak latif  
sambil  menggandeng martini  memasuki restoran.  
Udara di dalam restoran itu terasa begitu sejuk, 
dekorasi ruangannya pun tampak begitu mewah. martini  
agak asing berada di ruangan itu, dan dia merasa 
canggung karena tampil dengan seragam sekolah.  
sekarang  mereka sudah duduk di sudut ruangan dekat 
jendela, pemandangan dari tempat itu terlihat cukup 
bagus sehingga menciptakan kesan tersendiri buat 
 
keduanya. Selang beberapa saat, seorang pelayan 
wanita berparas cantik datang menghampiri dan 
langsung memberikan dua buah daftar menu.  
"Kau ingin makan apa, Sayang...?" tanya latif   
kepada kekasihnya.  
"Aduh, aku bingung, latif ! Makanan di sini aneh-
aneh," kata martini  sambil terus melihat-lihat daftar 
menu.  
"Kalau begitu, biar aku saja yang pilihkan ya?"   
"Iya, latif . Apa saja deh," kata martini  sambil  menatap 
latif  yang juga tengah melihat-lihat daftar menu.  
latif  segera memesan makanan dan minuman 
yang menurutnya enak. Sementara itu, martini  tampak 
memandang ke luar jendela. Tak lama kemudian, latif  
yang sudah selesai memilih menu tampak menatap 
martini , dia terus memperhatikan wajah cantik yang 
masih menatap ke luar jendela. Wajah itu benar-benar 
cantik dan tak pernah membuatnya jemu.  
"Kau sedang melihat apa, Sayang...? Kok dari tadi 
diam saja?" tanya latif  tiba-tiba.  
 
martini  mengarahkan pandangannya ke arah latif , 
ditatapnya wajah pemuda itu dengan tanpa berkata 
apa-apa.  
"Ada apa, Sayang...?" tanya latif  penasaran.  
"Aku khawatir, latif ," jawab martini .  
"Khawatir...? Apa maksudmu, Sayang...?" tanya 
latif  dengan kening berkerut.  
"Eng... sebenarnya siapa orang yang 
meneleponmu tadi? Kok saat  berbicara kau tampak 
kelihatan gugup," martini  justru balik bertanya. 
latif  tersenyum sambil  memegang tangan martini  
dengan lembut. "Kau curiga?" tanyanya menebak. 
"Eng... aku cuma khawatir, latif . Terus terang, aku 
takut kalau kau…" martini  tidak melanjutkan 
perkataannya, dia merasa berat untuk mengatakan isi 
hatinya. Sebab, dia sendiri memang masih ragu 
dengan semua itu.  
"Maksudmu, kau khawatir kalau aku punya pacar 
di Tokyo kan. Atau... kau khawatir kalau aku sudah 
menikah dengan wanita Jepang, begitu?" lagi-lagi latif  
mencoba menebak. 
martini  tidak bersuara, dia cuma menganggukkan 
kepalanya dengan agak tersipu. Pada saat yang 
sama, dua orang pelayan tampak menghampiri 
mereka dengan membawa makanan yang telah 
dipesan tadi. sesudah  menata makanan itu di atas 
meja, kedua pelayan tadi tampak bergegas pergi. 
Pada saat yang sama, latif  tampak mengambil pisau 
dan garpu sambil  memandang wajah kekasihnya.  
"Jadi benar, kau mengkhawatirkan hal itu?" tanya 
latif   melanjutkan pembicaraannya.  
martini  mengangguk sambil  mengambil pisau dan 
garpu yang tergeletak di hadapannya. Pada saat itu 
latif  tampak tertawa geli. 
"Kenapa, latif ? Kenapa kau malah tertawa?" tanya 
martini  heran. 
"Tentu saja, Sayang... bagaimana aku tidak 
merasa lucu, kecurigaanmu itu sama sekali tidak 
beralasan. Rasanya tidak mungkin kalau aku bisa 
berpaling dari gadis secantik kamu, apalagi dengan 
gadis yang sebaik kamu. Percayalah...! Aku tidak 
mungkin bisa berpaling darimu. Buktinya, sekarang  aku datang menemuimu karena begitu 
merindukanmu. Terus terang... kaulah satu-satunya 
wanita yang paling kucintai," jelas latif  meyakinkan.  
martini  mengerutkan keningnya, "Kau yakin… kalau 
aku akan percaya dengan kataanmu itu?" tanya gadis 
itu santai. "Soalnya, menurut cerita teman-temanku di 
sekolah, pria itu memang suka berpaling jika jauh 
dengan kekasihnya." 
"Terus... apa yang harus kulakukan biar kau 
percaya?" tanya latif  pasrah.  
"Tidak tahu…" jawab martini  polos. 
"O ya, tadi kan aku bilang mau memberi kejutan 
untukmu. Nah... kalau begitu, sekaranglah saatnya," 
kata latif  sambil  mengeluarkan sebuah kotak kecil 
dari dalam sakunya. 
"Apa itu, latif ?" tanya martini  penasaran. 
"Ini adalah bukti bahwa aku memang benar-benar 
mencintaimu," kata latif  sambil  membuka kotak itu 
dan memberikannya kepada martini . 
Saat itu mata martini  langsung terbebelalak. "Hah! 
Bukankah ini cincin berlian, latif ? Eng... A-apakah ini 
berlian asli, latif ?" tanya martini  seakan tak percaya. 
"Tentu saja asli… masa aku memberikanmu yang 
imitasi, ya tidak mungkinlah," jawab latif  meyakinkan. 
"Cincin ini bagus sekali, latif . Tapi... aku tidak bisa 
menerimanya. Terus terang, ini terlalu bagus untukku. 
Rasanya, belum saatnya aku menerima yang seperti 
ini," tolak martini .  
"Sudahlah, terima saja! Ini adalah pelambang 
cinta abadi kita." 
"Tapi..." 
"Sudahlah...! Mari kupakaikan." 
latif  pun segera memakaikan cincin itu di jari 
manis martini , sedangkan martini  tampak menatapnya 
dengan mata berbinar-binar. Sungguh dia bahagia 
sekali karena latif  benar-benar mencintainya. 
Buktinya, tanda cinta abadi itu sekarang  telah melingkar di 
jarinya. "Terima kasih ya, latif ! Maaf, kalau tadi aku 
sempat mencurigaimu!" katanya lembut.  
 
Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian 
keduanya kembali menyantap makanan masing-
masing.  
Masih di hari yang sama. Di sebuah 
ruangan perkantoran terdapat delapan 
buah meja kerja yang tertata rapi. Di atas meja-meja 
itu terdapat sebuah komputer, pesawat telepon, dan 
beberapa keperluan tulis-menulis. Di salah satu sudut 
ruangan itu terlihat dua buah cabinet yang berdiri 
kokoh, sedangkan di sudut yang lain terdapat sebuah 
mesin foto copy yang berdampingan dengan sebuah 
mesin Fax.  
sekarang  di ruangan itu hanya terlihat tiga orang 
pegawai yang sedang menyelesaikan tugas-tugasnya. 
Salah satunya adalah soebandrio   yang sedang sibuk 
menyiapkan laporan. Tak lama kemudian, sekretaris 
Pak untung  yang bernama Bu Siska terlihat memasuki 
ruangan. Dia langsung menghampiri soebandrio   yang 
terlihat masih saja sibuk. "Maaf, Pak! Tolong disusun 
berkas-berkas ini!" pintanya sambil  menyodorkan 
beberapa buah map kepada soebandrio  .  
soebandrio   yang agak terkejut dengan kedatangan 
Bu Siska tampak mengatur posisi duduknya, 
kemudian dengan segera dia mengambil map-map 
yang disodorkan itu.  
"Saya harap besok sudah selesai, Pak!" sambung 
Bu Siska berharap. 
soebandrio   tidak berkata apa-apa, dia tampak 
membaca tulisan yang tertera di muka map itu. 
"Maaf, Bu! Bukankah berkas-berkas ini 
seharusnya diserahkan ke Pak untung ," kata soebandrio   
sopan.  
"Iya, saya tahu. Tapi Pak untung  sendiri yang 
menyuruh saya menyerahkannya ke Bapak. Kalau 
Bapak tidak mau, ya tidak usah dikerjakan! Tapi ingat, 
Bapak akan menanggung segala akibatnya," kata Bu 
Siska mengancam. 
"Oh, kalau begitu! Baiklah Bu, saya akan 
mengerjakannya secepat mungkin," janji soebandrio    sambil  mengatur kembali map-map itu dan 
meletakkannya di atas meja.  
"Jangan lupa! Besok kau sendiri yang 
menyerahkannya kepada saya!" 
"Tapi, Bu..." Belum sempat soebandrio   
menyelesaikan kalimatnya, Bu Siska langsung 
memotong. "Maaf! Sekarang saya tidak punya banyak 
waktu, permisi!" pamit wanita itu sambil  beranjak pergi 
dengan sikap berjalan yang begitu angkuh. 
soebandrio   tampak geleng-geleng kepala sambil  
bersandar di kursinya, sedangkan kedua matanya 
terus memperhatikan kepergian Bu Siska. saat  
soebandrio   akan memulai bekerja kembali, tiba-tiba HP-
nya yang tergeletak diatas meja berdering.  
“Hmm… ini nomor siapa?” tanya soebandrio   heran.  
Lantas dengan segera dia mengangkat telepon itu, 
"Ya, hallo!" sapanya. 
"Ayah!" suara martini  tiba-tiba terdengar di seberang 
sana. 
"O, kau, Nak. Ayah kira siapa. Ngomong-
ngomong, kau pakai HP siapa?” tanya soebandrio  .
“HP teman, Yah. Soalnya HP martini  lagi lowbat.”  
“O begitu… O ya, ngomong-nomong… kau lagi di 
mana, Sayang...?" tanya soebandrio   lagi. 
"martini  lagi di Restoran. Sama teman, Yah," jawab 
martini . 
"O ya, sebenarnya siapa temanmu itu?" tanya 
soebandrio   menyelidik. 
"Pokoknya teman," jawab martini  singkat. 
"Ya sudah… ngomong-ngomong, kapan kau 
pulang?"  
"Yaaa... mungkin sebentar lagi. Tapi, martini  tidak 
langsung pulang ke rumah. martini  mau menjemput 
Ayah." 
"Tidak usah, Sayang...! Ayah bisa pulang sendiri. 
Lagi pula, bukankah kau lelah. Sebaiknya kau 
langsung pulang saja!"  
"Tidak, Ayah! Pokoknya martini  mau jemput Ayah," 
kata martini  berkeras. 
"Baiklah kalau begitu... Ayah akan menunggumu," 
kata soebandrio   mengalah. 
"Terima kasih, Ayah! Kalau begitu, sudah dahulu  ya! 
Sampai nanti," kata martini  sambil  memutuskan 
sambungan. 
sekarang  martini  tampak memandang latif  sambil 
tersenyum manis, "Ini, latif . Terima kasih ya!" katanya 
sambil  menyerahkan HP milik pemuda itu. 
"Bagaimana, jadi menjemput ayahmu?" tanya latif  
sambil  menanggapi HP-nya dan langsung 
menyimpannya di saku. 
martini  mengangguk sambil  tersenyum tipis. 
"Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak latif  
sambil  bangkit dari duduknya dan langsung 
menggandeng martini .  
Tak lama kemudian, kedua muda-mudi itu sudah 
keluar Restoran. sekarang  mereka sedang menuju ke mobil 
yang diparkir tak jauh dari pintu masuk. Setibanya di 
mobil, latif  langsung membukakan pintu untuk 
kekasihnya. sesudah  itu, dia pun bergegas masuk dan 
langsung memacu mobilnya menuju ke kantor 
soebandrio  .  
Di perjalanan, martini  tampak senyam-senyum 
sendirian. Dia sangat gembira karena akan 
menjemput ayahnya bersama sang Pujaan hati, 
sedangkan latif  terus memperhatikan jalan dan 
sekali-kali menatap wajah martini  yang masih saja 
terlihat ceria. "Kau tampak senang sekali, Sayang..." 
komentarnya atas keceriaan itu. 
"Tentu saja, aku sudah membayangkan 
bagaimana bahagianya Ayah saat  melihatmu nanti." 
"O… begitu," kata latif  mengangguk-angguk.  
Sedan mewah yang dikemudikan latif  terus 
melaju menyusuri jalan raya. saat  sampai di 
pertengahan jalan, tiba-tiba latif  membelokkan 
mobilnya ke sebuah jalan alternatif.  
"Kok lewat sini, latif …" tanya martini  bingung.  
"Tenang… Aku cuma mau menghindari 
kemacetan. Aku hafal benar dengan seluk-beluk jalan 
di sini, nanti kita juga akan kembali lagi ke jalan 
utama," jelas latif .  
"O… begitu, Syukurlah! Itu artinya kita bisa 
menjemput Ayah lebih cepat," kata martini  senang.  
Tiba-tiba, mobil mewah itu berhenti di depan 
sebuah penginapan. Mengetahui itu, martini  langsung 
bereaksi, "Kenapa berhenti di sini, latif ?" tanyanya 
heran. 
"Sebentar ya! Aku mau menemui seseorang yang 
menginap di sini," jawab latif .  
martini  tampak berpikir, kemudian menatap 
kekasihnya sambil  tersenyum. "Jangan lama-lama ya, 
latif !" pesannya kemudian. 
"Aku Janji," kata latif  sambil  mengacungkan 
kedua jarinya. sesudah  itu dia segera melangkah 
memasuki penginapan. 
Benar saja. Beberapa menit kemudian latif  sudah 
kembali, kemudian dia langsung duduk di sisi 
kekasihnya. "Tidak lama, kan?" tanyanya sambil  
tersenyum. 
martini  tampak mengangguk, "Memangnya siapa 
sih, latif ?" tanyanya kemudian. 
"Rekan bisnis ayahku. Tadi pagi, Ayah memintaku 
untuk menyampaikan sebuah amanat. Tapi, karena 
 
tadi pagi orang itu ada kesibukan, akhirnya dia 
memintaku untuk menemuinya di sini, pada waktu ini." 
martini  tidak bertanya-tanya lagi, dia percaya dengan 
semua kataan kekasihnya. Tak lama kemudian, 
sedan mewah yang mereka tumpangi sudah kembali 
ke jalan utama.  
latif  terus mengemudikan mobilnya, sejenak dia 
melirik ke arah martini . Dilihatnya wajah gadis itu 
tampak begitu mempesona. Dalam hati dia berkata, 
"Kau benar-benar cantik, Sayang... Malam ini kau 
pasti tidak mungkin bisa menolak keinginanku. 
Soalnya, obat perangsang yang kudapat dari temanku 
tadi sangat manjur." 
Pemuda itu terus memikirkan niat jahatnya. 
Sementara itu, sedan mewah yang mereka tumpangi 
terus melaju, merayap dalam kemacetan yang 
memang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota. sesudah  
menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, 
akhirnya sedan mewah itu tiba di kantor soebandrio  .  
saat  latif  baru memarkir mobilnya, tiba-tiba 
terdengar nada lagu ‘Pretty Woman’ dari HP yang ada  di saku bajunya. Pada saat itu martini  tampak 
memandang wajah latif  dengan penuh tanda tanya, 
sebab nada kali ini berbeda dengan nada yang 
sebelumnya pernah didengar. "Hmm... siapa sih yang 
menelepon latif  dengan nada spesial ini," tanyanya 
dalam hati.  
latif  tampak memandang martini  dengan sedikit 
gugup, kemudian dia segera menerima telepon yang 
masuk itu.  
"Hallo, latif !" terdengar suara seorang gadis yang 
ternyata teman sekelasnya saat  masih di SMA dahulu . 
"Kau sedang apa? Apakah aku mengganggumu?" 
tanya gadis itu kemudian. 
"Oh, tidak. …kau sama sekali tidak 
menggangguku. Saat ini aku sedang bersama martini , 
menunggu ayahnya pulang," jawab latif .  
"Bagaimana kabarmu?" latif  balik bertanya. 
"Aku baik-baik saja," jawab gadis itu. 
Saat itu martini  memandang latif  dengan penuh 
curiga, sedangkan latif  tampak meliriknya sambil  
tersenyum. 
"Iya-iya.…" Suara latif  kembali terdengar. "Baik-
baik," katanya kemudian. 
"O ya, bagaimana kabar sepupumu itu?" tanya 
gadis itu lagi. 
"Baik juga," jawab latif  singkat. 
"O ya, sampaikan salamku untuknya, ya!"  
"Iya, akan kusampaikan."  
"Oke deh… thanks ya! Bye..." kata gadis itu 
mengakhiri pembicaraan. 
"Bye..." balas latif  sambil  memutuskan 
sambungan dan menyimpan HP-nya kembali.  
"Siapa sih?" tanya martini  tiba-tiba. 
"Teman lama," jawab latif  singkat.  
"Wanita?" 
latif  mengangguk. "O ya, tadi dia titip salam 
untukmu," katanya kemudian. 
"Lho, apa dia mengenalku?" 
"Tentu saja, selama ini  aku kan selalu jujur pada 
siapa saja, termasuk pada temanku itu. Waktu itu dia 
pernah melihat kita jalan berdua, lalu aku 
memberitahunya kalau kau adalah pacarku yang 
paling kusayang," jelas latif . 
martini  tersipu mendengar perkataan latif  barusan, 
kemudian dia memandang ke arah pintu kantor 
memperhatikan pegawai yang keluar-masuk.  
"Biasanya ayahmu keluar pukul berapa?" tanya 
latif . 
"Biasanya pukul segini beliau sudah keluar kok," 
jawab martini . 
Keduanya terus menunggu sambil berbincang-
bincang. Sementara itu di ruang kantor, soebandrio   
terlihat sedang menyimpan berkas kerjanya di laci 
meja bagian bawah. saat  baru menutup laci itu, tiba-
tiba dia dikejutkan oleh sepasang kaki wanita yang 
dilihatnya tengah berdiri di depan meja kerjanya. 
Sepasang kaki itu mengenakan selop hitam yang 
terbuat dari kulit buaya.  
Perlahan soebandrio   mengangkat kepala untuk 
melihat wanita yang berdiri di hadapannya. Ternyata 
wanita itu sudah berusia separuh baya, 
penampilannya terlihat begitu rapi dan tampak 
berwibawa. Dengan segera soebandrio   berdiri tegak di 
hadapan wanita itu, "Selamat sore, Bu!" katanya 
sopan. Rupanya soebandrio   sedang berhadapan dengan 
atasannya yang selama ini paling dihormati.  
"Bapak belum pulang?" tanya sang Atasan.  
"Sebentar lagi, Bu. Saat ini saya masih sibuk 
beres-beres," jawab soebandrio  . 
sekarang  sang Atasan tampak mengambil sebuah Map 
berwarna hijau yang masih tergeletak di atas meja 
kerja soebandrio  , kemudian memperhatikan tulisan di 
muka map dan melihat isinya. "Loh... kenapa ini ada di 
sini?" tanya atasannya heran. 
"Saya akan menyelesaikannya di rumah, Bu, " 
jawab soebandrio  . 
"Bukan, bukan itu maksudku. Lihat ini! Ini kan 
berkas yang saya tugaskan kepada Pak untung . Kenapa 
berkas ini bisa ada padamu?" 
"Aduh, Bu. Saya mohon maaf! Bu Siska yang 
menyuruh saya untuk mengerjakannya," jawab 
soebandrio   terus terang.  
"Sekarang di mana Bu Siska?" tanya atasannya 
yang terlihat agak marah. 
"Sudah pulang, Bu!" jawab soebandrio  . 
Sang Atasan tampak mengerutkan kening, 
kemudian kembali berkata. "Kau tahu, sebenarnya 
berkas ini tidak boleh diketahui oleh pegawai 
sepertimu. Tapi tidak apalah, sudah terlanjur. Kau 
kerjakan saja berkas ini dengan baik, besok langsung 
kau serahkan padaku. O ya, sekalian tolong bilang 
sama Bu Siska agar menemui saya besok, pukul 
sepuluh!"  
"Ba-Baik Bu," jawab soebandrio   gugup.  
"Kalau begitu, sekarang saya pergi. Selamat 
sore!" pamit wanita itu. 
"Selamat sore, Bu!" kata soebandrio   sambil  
memperhatikan atasannya melangkah pergi. 
sekarang  soebandrio   tampak gelisah. Di benaknya 
terlintas berbagai hal yang akan dihadapinya besok. 
“Aduh, hampir saja aku lupa,”  kata soebandrio   tiba-tiba  
teringat dengan putrinya yang akan datang 
menjemput, "Hmm... mungkin saat ini martini  sedang 
menungguku. Kalau begitu, aku harus cepat-cepat 
menemuinya,” gumam soebandrio   sambil  membereskan 
map-map di atas meja dan memasukkannya ke dalam 
tas kantor, kemudian dengan terburu-buru dia 
melangkah ke luar.  
Sementara itu di dalam mobil, martini  tampak 
gelisah, dia terus memikirkan ayahnya. "Apa yang 
sedang beliau lakukan di ruang kerjanya, ya?" tanya 
gadis itu dalam hati.  
Namun saat  melihat sang Ayah keluar gedung, 
martini  pun langsung gembira. "Itu ayahku, latif ," katanya 
riang.  
Kemudian dengan segera gadis itu keluar mobil 
dan berlari menghampiri ayahnya. sekarang  keduanya 
sudah saling bertatap muka. "Ayah, kok lama sekali 
sih?" tanya martini  sambil  menggandeng lengan 
ayahnya.  
 "O, tadi masih ada pekerjaan yang mesti Ayah 
selesaikan," jawab soebandrio  . "O ya, kau ke sini dengan 
siapa?" tanyanya kemudian. 
martini  tidak menjawab, dia terus menggandeng 
lengan ayahnya menuju ke mobil. sesudah  mereka 
mendekat, latif  tampak keluar dari mobil dan 
melangkah menghampiri mereka. "Selamat Sore, 
Pak!" kata latif  sambil  mengulurkan tangannya untuk 
berjabatan. 
"latif -latif …! Kau latif  kan? Ha ha ha…! Apa kabar, 
Nak?" tanya soebandrio   sambil  berjabatan tangan 
dengan pemuda itu.  
"Baik, Pak," jawab latif  sambil  melepaskan 
jabatan tangannya.  
soebandrio   benar-benar mendapat kejutan dengan 
hadirnya pemuda itu, dan dia tidak menyangka kalau 
latif -lah yang akan datang bersama putrinya. sekarang  
soebandrio   menatap latif  dengan segala kerinduannya, 
kemudian keduanya tampak saling berpandangan 
dengan senyum di bibir masing-masing.  
Tak lama kemudian, latif  tampak membukakan 
pintu belakang untuk soebandrio  . "Silakan, Pak!" 
katanya ramah. sesudah  itu, dia tampak membukakan 
pintu depan untuk martini . sesudah  gadis itu masuk, latif   pun bergegas masuk. sekarang  dia sudah duduk di depan 
kemudi sambil  tersenyum kepada gadis yang duduk di 
sampingnya. Pada saat itu, martini  tampak tersipu 
dibuatnya. Akhirnya, sedan mewah yang mereka 
tumpangi segera melaju ke rumah soebandrio  .  
Setibanya di tempat tujuan, latif  tampak memarkir 
mobilnya di pekarangan dan bergegas membukakan 
pintu mobil untuk soebandrio  . Tanpa menunggu 
dibukakan, martini  segera keluar mobil dan bergegas 
membuka pintu rumahnya. Tak lama kemudian, 
ketiganya tampak sudah memasuki rumah.  
sekarang  soebandrio   dan latif  sudah duduk di ruang tamu, 
mereka tampak berbincang-bincang dengan 
akrabnya. Pada saat itu, martini  sedang berada di dapur 
untuk membuatkan minum.  
"O ya, Nak latif . Bagaimana kuliahmu di Tokyo?" 
tanya soebandrio  . 
"Kuliah saya lancar, Pak," jawab latif . 
"Kapan selesainya?"  
"Kira-kira satu tahun lagi, Pak."  
"O…" soebandrio   menatap latif  dengan bangga.  
Pada saat yang sama, martini  sudah kembali 
dengan membawa baki yang berisi dua gelas 
minuman dan beberapa makanan kecil, kemudian 
menyuguhkannya kepada mereka. "Ini tehnya, Ayah!" 
katanya kepada soebandrio  . "Silakan, latif !" katanya 
kepada latif . Lalu, dari bibir gadis itu tampak tersebar 
senyum kehangatan.  
latif  menatap martini  sejenak, kemudian tersenyum 
kepadanya. "Terima kasih, Sayang…!" katanya 
kemudian.  
"Sebentar ya, latif ! Aku ganti baju dahulu ," kata martini  
sambil  melangkah pergi. 
Sejenak latif  memperhatikan kepergiannya, 
kemudian dia kembali memandang ke arah soebandrio  . 
"O ya, Pak. Apa kebun Bapak masih menghasilkan?" 
tanya latif  perihal kebun yang ada di belakang rumah.  
"Waaah! Sekarang hasilnya sedikit, soalnya saya 
sudah jarang mengurus. Sekarang yang ada cuma 
tinggal pohon pepaya dan singkong, hasilnya pun 
cuma untuk makan sendiri," jelas soebandrio  . "O ya, 
Nak. Silakan tehnya diminum! Makanannya juga coba 
dicicipi!"  sambungnya kemudian.   
latif  segera meneguk minumannya, kemudian 
disusul dengan mencicipi makanan ringan yang 
sebenarnya tidak dia sukai. Pada saat yang sama, 
martini  tampak sudah kembali dengan membawa 
segelas minuman untuk dirinya sendiri. sekarang  dia sudah 
duduk di sebelah latif  dan mengajaknya berbincang-
bincang. Sementara itu, soebandrio   tampak memandang 
keduanya dengan perasaan bahagia. Menurut dia, 
keduanya tampak begitu serasi.  
saat  soebandrio   sedang memperhatikan keduanya, 
mendadak dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang 
tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang kedua muda-
mudi itu. Dia tampak mengenakan gaun putih polos 
dengan rambut panjang yang tergerai, sedangkan 
wajahnya yang pucat tampak begitu marah. Saat itu 
soebandrio   terlihat kebingungan, dia benar-benar tidak 
mengerti kenapa sosok istrinya tiba-tiba muncul 
dengan wajah semarah itu.  
"Ada apa, Ayah?" tanya martini  yang melihat wajah 
ayahnya tampak begitu tegang. 
soebandrio   tidak menjawab, dia terus menatap 
sosok istrinya yang masih berdiri dengan tangan 
terkepal. Saat itu martini  langsung menoleh ke 
belakang, melihat apa yang sedang ditatap ayahnya. 
Namun, dia tidak melihat sesuatu pun yang 
mencurigakan.  
Tiba-tiba soebandrio   beranjak dari tempat duduknya, 
kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. latif  
yang melihat soebandrio   seperti itu tampak mengerutkan 
kening.  "Kenapa dengan ayahmu, Sayang?" tanya 
pemuda itu heran. 
Saat itu martini  tidak menjawab, dia tampak 
memperhatikan ayahnya yang sedang melangkah ke 
ruang tengah. "Sebentar ya..!" katanya sambil  
bergegas menyusul sang Ayah.  
Setibanya di ruang tengah. "Hmm... Ayah ke mana 
ya?" tanya gadis itu dalam hati sambil terus 
celingukan, mencari-cari sang Ayah.  
sekarang  gadis itu sedang melangkah ke kamar 
ayahnya. "Yah! Ayah!" panggilnya sambil  mengetuk 
pintu kamar yang tampak tertutup rapat.  
Karena tak juga mendengar jawaban, akhirnya 
martini  membuka pintu kamar, dan ternyata sang Ayah 
juga tidak ada di ruangan itu. "Hmm... Ayah ke mana 
sih?" gumamnya sambil  melangkah pergi. 
"Yah! Ayah…! Ayah di mana...?" martini  kembali 
memanggil-manggil ayahnya, suaranya semakin keras 
terdengar.  
martini  merasakan ada sesuatu yang tidak beres 
dengan ayahnya, kemudian dia segera mencarinya 
hampir ke semua ruangan. saat  tiba di dapur, dia 
melihat pintu belakang tampak terbuka lebar. Melihat 
itu, martini  pun segera keluar dan berteriak-teriak 
memanggil ayahnya. Teriakannya terdengar keras 
bagai anak ayam yang kehilangan induknya. 
Sementara itu, latif  tampak sedang termenung di 
ruang tamu. "Hmm... apakah setan telah memberikan 
kesempatan untuk memulai segala rencanaku? 
Baiklah kalau begitu, sekarang juga aku akan 
 
memanfaatkan kesempatan ini," katanya dalam hati 
sambil  menuangkan obat perangsang ke dalam 
minuman martini . sesudah  itu dia kembali menunggu.  
sesudah  lama menunggu, kesabarannya pun mulai 
habis. "Hmm… Kenapa martini  belum juga kembali? 
Kalau begitu, sebaiknya kususul saja," gumamnya 
sambil  beranjak pergi.    
Bersamaan dengan itu, martini  baru saja kembali 
dari mencari ayahnya. sekarang  dia sedang berada di dapur 
sambil menangis sedih, saat itu dia benar-benar 
sudah kehilangan dan mengkhawatirkan ayahnya. 
martini  terus menangis dan menangis, air matanya tak 
kunjung berhenti membasahi pipi. 
"martini !" seru latif  tiba-tiba sambil  menghampiri 
kekasihnya. sekarang  dia tampak memegang kedua bahu 
martini  dan menatapnya dengan hangat. "Apa yang telah 
terjadi, Sayang...?" tanya pemuda itu kemudian.  
martini  tidak menjawab, dia membalas tatapan latif  
sambil terus menangis, lalu dengan serta-merta dia 
memeluknya erat.  
"Sebenarnya ada apa, Sayang...?" tanya latif  lagi. 
martini  masih tidak menjawab, dia terus saja 
menangis di pelukan kekasihnya. Sementara itu di 
pemakaman, soebandrio   tampak sedang memohon-
mohon di pusara makam istrinya. "Jangan kauganggu 
dia martini … jangan! Aku mohon… janganlah kau 
mengganggu dia! Dia itu anak kita. Apakah kau tidak 
sayang padanya? Padahal, masih jelas terbayang di 
benakku akan masa-masa indah bersamamu, masa-
masa indah dimana kau begitu menyayanginya, dan 
pada saat itu kulihat martini  begitu bahagia mendapat 
belaian lembut dari seorang ibu yang begitu 
mencintainya. Tapi kenapa? Kenapa sekarang kau 
mau mengganggu ketentramannya, kenapa kauhadir 
di dunia yang seharusnya bukan tempatmu, 
kenapa...? Aku mohon, janganlah kau mengganggu 
dia martini . Jangan...!" pinta soebandrio   berkali-kali sambil 
terus menangis di pusara makam istrinya. 
soebandrio   terus bersimpuh sambil memeluk makam 
istrinya. Sementara itu di ruang dapur, martini  masih 
saja menangis di pelukan latif , sedangkan latif  
tampak membelainya dengan penuh kasih sayang.
"Sudahlah Sayang… tabahkan hatimu!" kata pemuda 
itu sambil  mengecup kening martini . 
Tiba-tiba  ’Braaaakk…!!!’  Mereka serentak 
kaget saat  mendengar daun pintu yang ditutup 
dengan kerasnya.  
Saat itu martini  tampak ketakutan, bulu kuduknya 
sesaat  berdiri, dan jantungnya langsung berdebar 
kencang. sekarang  dia semakin merapatkan pelukannya ke 
tubuh sang kekasih tercinta. latif  yang juga merasa 
takut berusaha untuk tetap tenang, dia tidak mau rasa 
takutnya itu diketahui oleh martini . "Tenanglah, 
Sayang...! Tadi itu paling cuma angin yang bertiup 
kencang," katanya sambil  kembali mengecup kening 
kekasihnya. 
Pada saat yang sama, tiba-tiba pintu yang tertutup 
tadi kembali terbuka lebar, disusul dengan angin 
kencang yang berhembus memasuki ruangan. 
Suaranya terdengar menderu-deru dan membuat 
keduanya semakin ketakutan. 
Sambil tetap mendekap martini , pemuda yang 
bernama latif  itu segera menutup pintu dan 
 
menguncinya rapat-rapat. "Nah... benar kan, tadi itu 
cuma angin. Kalau sudah terkunci seperti sekarang, 
pintu itu tidak mungkin bisa terbuka lagi," katanya 
sambil  menatap martini  dengan hangat. 
martini  tampak lega, lalu dia tersenyum sambil  
menyadarkan kepalanya di dada sang Kekasih. 
Mendadak benda-benda yang ada di ruangan itu 
tampak bergerak-gerak, kemudian disusul dengan 
pecahnya gelas dan piring yang berhamburan ke 
lantai. Pintu yang tadi telah terkunci mendadak 
terbuka lagi, bersamaan dengan hembusan angin 
yang kembali masuk dengan suaranya yang kian 
menderu-deru.  
Saat itu martini  langsung menjerit histeris sambil  
menutup kedua telinganya, kemudian segera berlari 
meninggalkan ruangan itu. latif  yang juga sangat 
ketakutan segera berlari mengikuti kekasihnya ke 
ruang tamu. Tak lama kemudian, keduanya sudah 
berada di ruang itu.  
martini  yang masih sangat ketakutan segera 
memeluk latif  dengan erat, dia memeluknya seakan 
 
tak mau melepaskannya lagi. latif  sendiri masih terus 
diselimuti ketakutan, sungguh dia tidak menduga akan 
mengalami kejadian itu, namun lagi-lagi dia berusaha 
untuk tetap tenang.  
sekarang  pemuda itu mencoba untuk menenangkan 
kekasinya, "Tenanglah, Sayang...! Mungkin tadi itu 
cuma gempa ringan. Selama di Jepang, aku juga 
sering mengalami gempa yang seperti barusan," 
jelasnya sambil  mengusap-usap punggung martini .  
"Tapi, latif ... kenapa hal itu cuma terjadi di dapur. 
Kau lihat sendiri kan, di ruangan ini sama sekali tidak 
apa-apa." 
latif  tidak bisa menjelaskan hal itu, namun dia 
tetap berusaha untuk membuat martini  menjadi tenang. 
"Sudahlah Sayang...! Sekarang kau duduk dahulu !" kata 
latif  sambil  membantu kekasihnya untuk duduk di 
sofa. "Nah, sekarang sebaiknya kauminum dahulu !" 
katanya lagi sambil  mengambil minuman milik martini  
yang telah diberi obat perangsang.  
Pada saat yang sama, tiba-tiba gelas yang berada 
di genggaman latif  seperti ada yang menepis. Tak 
 
ayal, gelas itu langsung jatuh ke lantai dan hancur 
berkeping-keping.  
Saat itu martini  langsung kaget dibuatnya, "Ada apa, 
latif ...?" tanyanya dengan suara yang terdengar parau. 
"Entahlah… aku tidak mengerti," jawab latif  
sambil  menatap ke lantai, melihat pecahan gelas yang 
tampak berserakan.  
Mengetahui itu, latif  segera mengambil sapu yang 
tersandar di balik pintu dan mencoba untuk 
membersihkannya. 
"Sebenarnya apa yang telah terjadi, latif ?" tanya 
martini  lagi sambil  bangkit dari tempat duduknya.   
latif  tidak segera menjawab, dia tampak 
menghampiri martini  dan menatapnya dengan penuh 
rasa cemas. "Sayang… sepertinya ada sesuatu yang 
tidak beres di rumah ini," kata pemuda itu datar.  
"Apa maksudmu, latif ?" tanya martini  penasaran. 
"Aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepertinya 
semua ini ulah tukang sihir yang tidak menyukai 
keberadaan kita," jawab latif  sambil  melihat ke 
sekelilingnya. 
 
"Ka-kau jangan membuatku semakin takut, latif ...!" 
martini  berharap. 
Belum sempat latif  berkata-kata, tiba-tiba 
“BRAKKK!!!” pintu depan tampak terbuka lebar 
dengan disertai angin yang terus berhembus kencang. 
Sesaat  latif  dan martini  menatap ke arah pintu, 
saat itu mata mereka tampak memicing menahan 
hembusan angin yang begitu kencang, rambut 
mereka pun tampak terumbai-umbai diterpa angin 
yang semakin membesar.  
sekarang  keduanya semakin merapatkan pelukan. 
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba semua lampu di 
rumah itu mendadak padam. Saat itu martini  langsung 
menjerit histeris, dia tampak ketakutan di dalam gelap 
yang mencekam. Sementara itu, latif  berusaha 
mengendalikan rasa takutnya, "Ayo kita segera keluar, 
Sayang...!" ajaknya sambil  menggandeng lengan 
martini . 
sekarang  keduanya melangkah menuju teras sambil 
terus bergandengan tangan, mereka terus melangkah 
melawan arus angin yang semakin kencang. Dan 
 
setibanya di teras depan, "Kau tunggu di sini, 
Sayang...!" pinta latif  sambil  menyuruh martini  untuk 
berpegangan pada pilar penyangga. 
martini  menurut, dia segera berpegangan pada pilar 
penyangga dan berusaha keras agar tidak terbawa 
arus angin. Pada saat yang sama, latif  mulai 
melangkah melawan arus angin yang terus 
menerpanya, dia berniat masuk ke mobil untuk 
mengambil alat penerangan yang tersimpan di laci. 
latif  terus berusaha mendekati mobilnya dengan 
berjuang keras melawan arus angin yang semakin 
keras menerpa. Saat itu, tangan kanannya tampak 
menyiku—melindungi kedua matanya. sekarang  pemuda itu 
sudah berhasil menempuh separo jalan, dan dia 
masih terus melangkah melawan arus angin yang 
seakan mendorongnya agar tidak mendekati mobil. 
Sementara itu, martini  hanya bisa mengawasinya 
sambil terus berpegangan pada pilar penyangga. 
Tiba-tiba saja gadis itu terpekik, dilihatnya sang 
kekasih mendadak jatuh dan terseret di atas tanah. 
Melihat itu, sesaat  martini  menggigit bibirnya, kedua  alisnya tampak merapat cemas. sekarang  gadis itu melihat 
kekasihnya sedang berusaha bangkit, sayup-sayup 
terdengar rintihan kesakitan, akibat cidera yang 
diderita pemuda itu.  
Suasana semakin menakutkan dan kian 
mencekam. Dengan perasaan takut dan kecemasan 
yang semakin menjadi-jadi, martini  terus memperhatikan 
kekasihnya. Sementara itu, latif  sudah melangkah 
kembali dengan mengerahkan segala 
kemampuannya. latif  terus berusaha dan berusaha 
mendekati mobilnya yang sekarang  sudah tidak begitu jauh 
lagi. Saat itu, dilihatnya mobil itu tampak bergoyang-
goyang tertiup angin.   
sesudah  berusaha keras, akhirnya latif  berhasil 
menggapai pintu mobil dan segera masuk. Keadaan di 
dalam agak gelap, dan entah kenapa lampu kabinnya 
tidak bisa dinyalakan. sekarang  latif  sedang berusaha 
mencari alat penerangan yang tersimpan di laci, 
dengan tangan kirinya pemuda itu tampak meraba isi 
laci satu per satu. sesudah  menemukan apa yang 
dicarinya, pemuda itu segera kembali ke tempat martini  
 
berada. Saat itu, latif  tampak kelelahan dan berjalan 
dengan terhuyung-huyung. Namun belum sampai dia 
mendekati martini , tiba-tiba saja sebuah bayangan putih 
melesat cepat dan menabraknya dengan keras sekali. 
Tak ayal, tubuh pemuda itu langsung terhempas ke 
tanah dan menimpa sebuah benda keras. Suara 
teriakannya terdengar keras bersamaan dengan 
jeritan martini  yang ketakutan menyaksikan kejadian itu. 
martini  terus memperhatikan latif  dan merasa 
khawatir dengan keadaannya. sekarang  dilihatnya pemuda 
itu tampak berusaha bangkit kembali, dan sesekali 
terdengar rintihan kesakitan dari bibirnya yang tipis. 
Rupanya pemuda itu mengalami cidera di punggung 
lantaran tulang belakangnya sempat terbentur sebuah 
batu saat  terjatuh tadi. Tak lama kemudian, dia 
sudah melangkah kembali. Bersamaan dengan itu, 
tiba-tiba angin kencang berhenti dengan sendirinya, 
kemudian disusul dengan menyalanya lampu-lampu di 
semua ruangan. sekarang  latif  sudah berdiri di hadapan 
martini  sambil tertunduk lemas.  
"Kau tidak apa-apa, latif …?" tanya martini  khawatir. 
 
latif  tidak menjawab, dia cuma memandang martini  
dengan wajah yang begitu tegang. Saat itu martini  
melihat bibir pemuda itu tampak mengeluarkan darah. 
Lalu, dengan serta-merta gadis itu mencoba 
membersihkannya. saat  martini  hendak menyentuh 
luka itu, tiba-tiba latif  menepisnya dengan keras 
sekali sambil  mundur selangkah.  
Sesaat  martini  tersentak, dia benar-benar terkejut 
akan perlakuan itu. "Ada apa denganmu, latif ? Kenapa 
kau seperti itu?"  tanya gadis itu lirih.   
latif  tidak menjawab, dia tampak mengangkat 
kepalanya dengan sangat perlahan, kemudian 
menatap martini  dengan penuh curiga. "Di mana 
ayahmu???" tanya pemuda itu dengan nada 
membentak. 
Lagi-lagi martini  tersentak, sungguh dia tidak 
menyangka kalau latif  telah bicara kasar padanya. 
"Kenapa, latif ? Kenapa kau marah kepadaku?" tanya 
gadis itu sambil  menatap mata latif  dengan penuh 
tanda tanya.  
 
latif  tidak menjawab, dia malah menatap martini  
dengan sorot mata yang penuh kebencian. Melihat itu, 
martini  pun langsung menangis sedih, kemudian dengan 
segera gadis itu berbalik dan langsung berlari ke 
kamarnya. sekarang  gadis itu sedang bersandar di daun 
pintu dengan tubuh gemetar dan hati yang tersayat-
sayat. martini  terus menangis dan menangis. Sungguh 
dia tidak menduga kalau kekasihnya akan bersikap 
sekasar itu.  
Di teras depan, latif  masih berdiri sambil menatap 
ke dalam rumah, kemudian dia melangkah memasuki 
ruang tamu. sekarang  dia tampak berdiri di tengah-tengah 
ruangan itu dengan penuh amarah, kedua bola 
matanya tampak liar memandang ke segala arah. 
Pada saat yang sama, soebandrio   baru saja pulang, dia 
tampak memperhatikan latif  yang berdiri terpaku 
sambil menatap ke luar rumah. "latif !" panggil 
soebandrio   sambil  menghampiri pemuda itu. 
latif  segera memalingkan pandangannya ke arah 
soebandrio  , kemudian menatapnya dengan sorot mata 
yang berapi-api. soebandrio   yang melihat latif  seperti itu 
 
tampak keheranan. "Aneh… Kenapa dengan anak ini? 
Kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti itu? Jangan-
jangan..." soebandrio   tampak berpikir keras. 
latif  masih menatap soebandrio  , kedua matanya tak 
bergeming dari pandangan soebandrio   yang sekarang  juga 
mulai berapi-api. Sementara itu, martini  yang 
mendengar suara ayahnya segera keluar kamar. sekarang  
dia tampak melangkah ke ruang tamu dengan 
perlahan. Betapa terkejutnya dia saat  melihat ayah 
dan kekasihnya tampak saling bertatapan, kemudian 
dengan cemas gadis itu segera bersembunyi di balik 
dinding.  
Sambil bersandar, gadis itu tampak 
menengadah—menarik nafas panjang, kemudian  
menghembuskannya dengan cepat sekali. "Huff! Apa 
sebenarnya yang sedang terjadi? Kenapa dengan 
mereka?" martini  membatin. Kemudian martini  kembali 
memperhatikan mereka, dilihatnya keadaan masih 
seperti semula—mereka masih terpaku dan saling 
berpandangan.  
 
Tiba-tiba soebandrio   berteriak dengan kerasnya, 
"Keluaaar!" usir soebandrio   kepada mendiang istrinya 
yang diduga bersemayam di tubuh latif . Kerasnya 
suara teriakan itu membuat martini  terkejut bukan 
kepalang, ketakutannya pun semakin menjadi-jadi.  
"Keluaaarrr…keluaaarrr…!" teriak soebandrio   
berulang-ulang. 
latif  yang menerima perlakuan itu merasa 
semakin marah, dadanya pun terasa panas membara. 
Ingin rasanya dia menghajar lelaki yang masih saja 
melotot kepadanya itu, kemudian membuatnya 
bertekuk lutut untuk memohon ampun atas 
penghinaan yang dilakukannya. Tapi latif  memang 
seorang pengecut, dia tidak bemartini  menghadapi lelaki 
yang dikenalnya pernah berurusan dengan dunia gaib. 
Saat itu dia justru merasa lelaki itu akan membuatnya 
binasa, atau menyihirnya menjadi seekor anak ayam 
yang kemudian diberikan kepada musang yang 
sedang kelaparan. Karena itulah, akhirnya latif  berlari 
ke mobil dan bergegas meninggalkan tempat itu.  
 
"Ayah!" panggil martini  sambil  menghampiri 
ayahnya.  
"martini !" kata soebandrio   sambil  memandang 
putrinya. 
"latif -latif  kenapa, Ayah? Kenapa Ayah 
mengusirnya?" tanya martini  kepada ayahnya.  
"Tidak… Ayah tidak bermaksud mengusir. Ayah 
cuma…" soebandrio   tidak melanjutkan kata-katanya, dia 
tampak berpikir dengan keras. "Apakah aku harus 
mengatakan hal yang sebenarnya? Tidak, martini  tidak 
boleh mengetahui kalau ibunyalah yang telah 
menyebabkan semua ini," katanya dalam hati. Karena 
takut sesuatu yang buruk akan menimpa putrinya, 
akhirnya soebandrio    tetap merahasiakan.  
"Kenapa, Ayah? Kenapa?" martini  kembali bertanya. 
soebandrio   tampak menatap martini  sambil  memegang 
kedua bahunya. "Maaf, Sayang...! Ayah tidak bisa 
menjelaskannya padamu," jawab soebandrio   menutup 
keingintahuan putrinya.  
Sejenak soebandrio   melihat keluar, kemudian 
meminta putrinya agar masuk ke kamar dan 
 hal 2





beristirahat. soebandrio   sendiri segera melangkah ke 
teras muka dan duduk merenung di tempat itu. Pada 
saat yang sama, martini  sudah berada di kamarnya, sekarang  
dia sedang menangis di atas tempat tidur. Sungguh 
dia benar-benar tidak mengerti kenapa ayahnya tega 
mengusir latif , dan dia pun mulai berprasangka yang 
tidak-tidak mengenai hal itu.  
"Hmm... apakah semua kejadian tadi perbuatan 
Ayah yang ingin memisahkan aku dengan latif ? Tapi 
kenapa? Padahal, semula beliau sangat gembira 
bertemu dengannya. Aku benar-benar tidak mengerti, 
apa sebenarnya yang beliau inginkan?"  
martini  terus bertanya-tanya, sedangkan air matanya 
tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya yang 
pucat. Sementara itu di sebuah jalan yang gelap dan 
sepi, sebuah sedan mewah tampak melaju dengan 
kecepatan tinggi. Di kiri-kanannya tampak berjajar 
pepohonan rindang yang membuat jalan itu kian 
bertambah seram. latif , si pengemudi mobil mewah 
itu tampak kalut, pikirannya masih terbayang peristiwa 
di rumah martini .  
 
"Hmm... mungkinkah soebandrio   tahu kalau aku 
akan berbuat jahat? Kalau begitu, benar juga kata si 
Burhan kalau soebandrio   itu memang memiliki  ilmu 
sihir. Tidak mustahil kalau dia bisa membaca 
pikiranku. Padahal, pada mulanya aku tidak percaya 
sama sekali kalau soebandrio   itu orang yang demikian. 
Selama ini dia tampak begitu baik, dan tidak ada 
sedikitpun yang membuatnya tampak sebagai 
penyihir. Namun, sekarang aku yakin sekali, kalau dia 
memang memiliki  ilmu sihir. Sebab, aku sendiri 
sudah merasakannya. Kurang ajar soebandrio  ! 
Bemartini nya dia menjauhkanku dari martini !!!" makinya 
setengah berteriak. 
"Bukan dia, latif …." tiba-tiba terdengar suara parau 
dari latif k belakang.  
Sesaat  latif  melirik ke kaca spion tengah. 
Betapa terkejutnya dia saat  melihat seorang wanita 
cantik dengan wajah yang begitu pucat tampak 
sedang duduk menyeringai. latif  pun merinding 
sambil  menginjak pedal rem dalam-dalam, akibatnya 
mobil yang dikemudikannya hampir saja tergelincir 
 
hingga keluar jalan raya. sekarang  pemuda itu sudah 
bersiap-siap untuk melarikan diri. Namun saat  dia 
menoleh ke belakang, ternyata wanita tadi sudah 
menghilang.  
latif  tampak menarik nafas panjang, "Huff! 
syukurlah... mungkin tadi itu cuma hayalanku saja," 
gumamnya merasa lega. Begitu pandangannya 
kembali ke depan, pemuda itu tampak terkejut bukan 
kepalang. Dilihatnya sosok wanita tadi tampak berdiri 
di depan mobilnya dengan gaun putih yang berkibar-
kibar. Sosok wanita itu menatap latif . Wajahnya yang 
pucat tampak begitu menyeramkan. Sebagian 
wajahnya yang pucat itu tertutup oleh darah yang 
mengering, dan sebelah bola matanya tampak 
mencuat ke luar. 
Melihat itu latif  tampak ketakutan, kemudian 
dengan segera pemuda itu mencoba menghidupkan 
mesin mobilnya. Namun sungguh disayangkan, mesin 
mobilnya tak kunjung hidup. Berkali-kali dia mencoba, 
namun tetap gagal. Sementara itu, sosok wanita 
menyeramkan tadi tampak mulai menghampiri. 
 
Melihat itu, latif  semakin panik, lalu dengan segera 
dia keluar mobil dan berlari tunggang-langgang.  
latif  terus berlari dan berlari, hingga akhirnya dia 
melihat sebuah rumah yang cukup megah. Sungguh 
betapa senangnya dia saat itu. Lantas, dengan nafas 
yang masih terengah-engah, pemuda itu segera 
berlari menghampiri.  
sekarang  pemuda itu sedang membuka pintu gerbang 
yang ternyata tidak dikunci, kemudian dengan segera 
dia berlari memasuki pekarangan. Saat itu hatinya 
betul-betul lega, karena tak lama lagi dia sudah bisa 
meminta bantuan. Namun sungguh disayangkan, 
saat  sudah hampir tiba di teras, tiba-tiba kaki 
pemuda itu tersandung sesuatu. Tak ayal, pemuda itu 
langsung tersungkur mencium tanah. “Aggh…!” latif  
tampak meringis kesakitan, sebagian tubuhnya 
dirasakan nyeri dan ngilu.  
sekarang  pemuda itu mencoba menengadah ke arah 
rumah yang dilihatnya tadi. "A-apa!!!" serunya dengan 
matanya terbelalak dan mulut yang menganga lebar. 
Ternyata rumah yang dilihatnya tadi, sekarang  sudah 
 
menghilang, dan yang ada di hadapannya sekarang 
adalah sebuah makam dengan nisan yang persis di 
depan matanya. "Di-di-di mana rumah tadi? Bu-bu-
bukankah tadi berada di depanku," kata pemuda itu  
terbata sambil  membaca tulisan yang ada di nisan 
tersebut. "Ya-martini …!" serunya terkejut. 
latif  mengucek-ngucek kedua matanya, kemudian 
kembali memperhatikan nisan itu sekali lagi. "Tidak 
salah lagi. Ini memang nisan martini ," katanya seakan 
tidak percaya. 
 Sesaat  latif  merinding, sungguh dia tidak 
menduga kalau dirinya ternyata sedang tertelungkup 
di depan makam martini . sekarang  pemuda itu tampak 
memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dan betapa 
terkejutnya dia saat  menyadari sedang berada di 
tengah-tengah pemakaman umum yang begitu sepi 
dan menyeramkan. Tak ayal, saat itu wajahnya 
langsung pucat dengan tubuh yang gemetar hebat.  
Lantas dengan terus diselimuti rasa takut, pemuda 
itu berusaha bangkit. Dan tak lama kemudian dia 
sudah berdiri tegak dan siap melangkah pergi. Namun 
 
baru saja dia membalikkan badan, tiba-tiba 
dihadapannya sudah berdiri sesosok tubuh wanita 
yang sedang menyeringai seram. Saat itu, wajah 
wanita itu tampak begitu pucat dan menyeramkan, 
bahkan dari tubuhnya tercium bau busuk yang begitu 
menyengat. sekarang  sosok wanita itu tampak  menatap 
latif  dengan penuh kebencian. Melihat itu, latif  
langsung terpekik dengan tubuh yang terasa lemas. 
Hingga akhirnya, dia pun jatuh duduk tak berdaya 
sama sekali.  
"Jangan kau permainkan dia latif oo...!!!" seru sosok 
wanita itu dengan suara serak. 
"A-a-apa, ma-ma-maksudmu? Bu-bu-bukankah 
selama ini a-aku begitu menyayangi putrimu," kata 
latif  dengan terbata-bata. 
"Jangan bohong, latif !!! Aku tahu kau telah 
memiliki  istri di Tokyo," kata sosok wanita itu 
dengan nada marah. 
"Ja-ja-jadi kau tahu... ba-ba-bahwa aku su-su-
sudah memiliki  istri?"  
 
"Kau benar, latif ! Masih ingatkah saat  kaubicara 
lewat HP di ruang tunggu terminal? Waktu itu aku 
sempat mendengarkan pembicaraanmu," cerita martini  
mengingatkan kembali akan peristiwa yang telah 
lewat. "Waktu itu saat  hendak menemuimu, aku 
sempat mendengar kau yang menyebut kata ‘istri’. 
Dan karena penasaran, aku pun mendengarkan 
percakapan itu lebih lanjut. Hingga akhirnya aku bisa 
mengetahui siapa dirimu sebenarnya. Ternyata kau 
telah memiliki  istri di Tokyo," lanjut martini  
menjelaskan.  
Sesaat  latif  teringat dengan kata-katanya waktu 
itu, yaitu saat  dia sedang berbicara dengan istrinya. 
"Kau ini bagaimana, sih? Aku kan sudah bilang akan 
pulang secepatnya. Kaupikir di Jakarta ini aku sedang 
main-main, di sini aku sedang mengurusi perusahaan 
ayahku, dan aku baru bisa kembali ke Tokyo besok 
pagi. Dengar, Sayang...! Jika kau ingin tetap menjadi 
istriku, kau harus bisa memahami hal itu." Dan kalimat 
itulah yang terus terngiang di telinga martini  hingga 
akhir hayatnya.  
 
"Bagaimana, latif ?" tanya martini  lagi. 
"Ba-ba-baiklah! A-a-aku akan me-me-menjauhi 
putrimu," janji latif  dengan suara yang masih saja 
terbata-bata.  
"Pegang kataanmu itu, latif !" kata martini  sambil  
melesat pergi.  
latif  tidak berkata apa-apa, dia cuma 
mengangguk penuh ketakutan, bahkan dari celananya 
tampak mengalir air seni yang cukup banyak. sekarang  
pemuda itu berusaha bangkit, kemudian dengan kaki 
yang terpincang-pincang pemuda itu bergegas ke 
mobilnya.  
Saat itu latif  benar-benar tidak habis pikir, kenapa 
dia bisa mengarahkan mobilnya ke daerah dekat 
pemakaman? Padahal pada mulanya, dia yakin sekali 
kalau telah mengemudikan mobil pada jalan yang 
benar. Sungguh saat itu latif  telah dibuat bingung oleh 
kejadian yang baru dialaminya.  
sesudah  mesin dihidupkan, latif  segera memacu 
mobilnya meninggalkan tempat tersebut. Sementara 
itu di tempat lain, soebandrio   masih saja termenung di 
 
teras depan rumahnya. Wajahnya yang kusut terlihat 
begitu murung, sedangkan kedua matanya tampak 
berkaca-kaca. "Sebenarnya apa yang telah terjadi? 
Kenapa martini  tega merusak kebahagiaan martini ? Apa 
yang sebenarnya dia inginkan?" tanya soebandrio   dalam 
hati.  
Namun belum sempat lelaki itu berpikir lebih jauh, 
tiba-tiba angin yang sangat kencang berhembus di 
tempat itu. Suaranya terdengar menderu-deru. 
Bersamaan dengan itu, daun-daun dan debu tampak 
berterbangan. Lalu dari samping rumah terdengar 
gemeretak dahan pohon yang patah, kemudian 
disusul dengan derak suara pohon yang tumbang. 
Saat itu soebandrio   tampak heran dibuatnya. Belum 
hilang rasa herannya, tiba-tiba dia melihat seorang 
wanita yang sedang berdiri di muka rumah. sekarang  wanita 
itu sedang berjalan menghapirinya. Pada saat yang 
sama, soebandrio   tampak berdiri dan maju selangkah, 
kedua matanya tampak memperhatikan wanita itu 
dengan seksama. Betapa terkejutnya dia saat  
 
mengetahui bahwa wanita itu adalah sosok istrinya 
yang sudah meninggal hampir sebulan yang lalu.  
Wanita itu terus melangkah mendekati soebandrio  , 
sedangkan soebandrio   tampak sedikit gugup melihat 
sosok istrinya sudah kian mendekat. Namun begitu, 
dia mencoba untuk tetap tenang. sekarang  sosok wanita itu 
sudah berdiri di hadapan soebandrio  , sedangkan 
soebandrio   sudah siap untuk meluapkan amarahnya 
yang sudah sejak tadi terpendam. Lantas, dengan 
tajam dia menatap mata wanita itu sambil  berkata 
lantang, "martini !!!" serunya kepada sosok mendiang 
istrinya itu. "Kenapa kau mengganggu latif , Yan? 
Kenapa??? Apakah kau tidak senang melihat putri kita 
bahagia bersamanya? Jawablah, martini ...! Jawab!!!"   
"Kau tidak mengerti Braannn…" kata sosok 
istrinya dengan suara yang terdengar parau.  
Belum tuntas sosok wanita itu menjawab, tiba-tiba 
"Ayah… Ayah….!" terdengar teriakan martini  
memanggil. 
Sesaat  soebandrio   menoleh ke arah pintu, 
dilihatnya martini  tengah berlari menghampirinya. "Ayah! 
 
Apakah Ayah mendengar suara-suara tadi?" tanyanya 
penuh ketakutan.  
soebandrio   tidak menjawab, dia malah menoleh ke 
tempat sosok martini  berdiri. Saat itu sosok martini  itu 
sudah menghilang. sekarang  soebandrio   menghampiri martini  
yang terlihat sangat ketakutan, kemudian memeluknya 
erat. "Iya Sayang... Ayah juga mendengarnya. Tapi 
kau tidak perlu takut, tadi itu cuma suara pohon 
tumbang yang tertiup angin besar barusan," jelas 
soebandrio   sambil  membelai rambut putrinya. 
"Angin besar?" tanya martini  sambil  melepaskan diri 
dari pelukan ayahnya. 
"Iya, Sayang... barusan memang ada angin yang 
begitu besar," jelas soebandrio   lagi. 
"Itu juga yang terjadi saat  martini  dan latif  sedang 
berada di ruang tamu, Yah. Jadi, bukan Ayah yang 
melakukannya?" tanya martini  sambil  menatap mata 
ayahnya. 
soebandrio   memegang bahu putrinya, kemudian 
menatapnya dengan prihatin, "Bukan, Sayang... bukan 
Ayah yang melakukannya. Itu semua ulah…" soebandrio    
tidak melanjutkan kata-katanya.  
"Ulah siapa, Ayah?" tanya martini  penasaran. 
"Sebaiknya kita masuk saja, Sayang...! Udara di 
sini cukup dingin." Ajak soebandrio   yang tidak mau 
menjawab pertanyaan putrinya.  
Akhirnya keduanya segera melangkah masuk dan 
beristirahat di kamar masing-masing. sekarang  martini  
tampak sedang berbaring di tempat tidurnya, dia 
masih saja memikirkan kejadian barusan. "Jangan-
jangan, Ayah sengaja menciptakan peristiwa barusan 
cuma untuk menutupi perbuatannya.  Seakan-akan, 
peristiwa yang waktu itu aku dan latif  alami bukanlah 
perbuatannya?" martini  menduga-duga.  
sekarang  martini  teringat saat  ayahnya pernah 
mempelajari ilmu sihir guna mencari kekayaan. Waktu 
itu usia martini  masih 12 tahun. sesudah  ayahnya 
bertobat dan meninggalkan semua kekayaan yang 
didapat dari cara yang tidak halal, mereka pun pindah 
ke sebuah rumah yang sederhana. Sejak saat itulah 
soebandrio   bercocok tanam sampai akhirnya dia 
mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan. 
Hingga akhirnya dia bisa kembali hidup mapan seperti 
sekarang. 
"Hmm... apakah Ayah memang masih memiliki 
ilmu itu? Jika benar demikian, kenapa beliau 
menggunakannya untuk memisahkan hubungan 
kami?"  martini  terus bertanya-tanya, hingga akhirnya 
dia terlelap karena kantuk yang tak tertahankan.   
 Sehari sesudah  kejadian itu. Teman latif  yang 
bernama Yuli terlihat baru saja keluar dari 
pintu Mal sambil menenteng banyak belanjaan. Dialah 
gadis yang waktu itu menelepon latif  saat  berada di 
halaman parkir kantor soebandrio  . sekarang  gadis itu sedang 
melangkah ke mobil yang diparkir tak jauh dari pintu 
masuk. Dalam waktu singkat dia sudah tiba di mobil 
dan langsung membuka bagasinya. saat  hendak 
memasukkan barang belanjaannya, tiba-tiba sebuah 
bungkusan yang dibawanya terjatuh. Menyadari itu, 
Yuli pun segera berlatif ngkok. "Apa itu?" tanya Yuli 
dalam hati saat  melihat sebuah benda mengkilat 
tampak tergeletak persis di sebelah bungkusan 
miliknya. 
Yuli segera memungut benda itu, kemudian 
memperhatikannya dengan seksama. Sebuah koin 
emas yang sudah tidak mulus lagi tampak berkilau di  telapak tangannya, pada permukaannya melingkar 
tulisan kuno dengan Huruf Palawa. "Hmm... 
sepertinya ini koin kuno. Tapi kenapa koin ini bisa ada 
di sini? Apa mungkin seseorang telah 
menjatuhkannya?" tanya Yuli dalam hati sambil  
memasukkan koin itu ke dalam saku celananya, 
kemudian bergegas mengambil bungkusan yang 
terjatuh tadi dan meletakkannya ke dalam bagasi.  
saat  hendak menutup pintu bagasi, tiba-tiba dia 
melihat latif  sedang memasuki pintu utama. Pemuda 
itu tampak mengenakan T-Shirt hitam dengan jeans 
warna putih. "latif ii!!!" teriak Yuli sambil  menutup 
bagasi dan bergegas mengejar pemuda itu. 
sekarang  Yuli sudah berada di dalam Mal dan sedang 
mencari-cari latif , kedua matanya tampak menatap 
hampir ke segala arah. "Aduuuh! Ke mana sih dia?" 
tanya Yuli dalam hati. 
"Anda mencari siapa?" tiba-tiba terdengar seorang 
bertanya dengan suara yang berat.  
Yuli segera berpaling. Betapa terkejutnya dia 
saat  menyadari kalau orang yang bertanya itu 
adalah seorang satpam yang terlihat angker. Pada pipi 
kirinya terlihat bekas luka yang cukup parah, 
kumisnya pun tampak tebal dan hampir menutupi 
sebagian bibir atasnya, sedangkan kedua matanya 
tampak besar dan menatap dengan tajam. 
"Ma-maaf, Pak! Sa-saya mencari teman saya," 
jawab Yuli tergagap. 
Satpam itu tersenyum, "Begini Nona, sebaiknya 
Nona langsung ke bagian informasi. Di sana petugas 
kami akan memanggilnya lewat pengeras suara," 
saran Pak Satpam itu ramah.  
Yuli tidak menduga akan perkataan itu, sebuah 
perkataan yang dianggapnya sangat kontras dengan 
tampangnya yang angker.  
"Terima kasih, Pak!" kata gadis itu sambil  berlari 
ke bagian informasi yang tidak  begitu jauh. 
Usai menyampaikan pesan, Yuli segera  
melangkah ke pintu utama dan menunggu latif  di 
tempat itu. Lama dia menunggu, namun pemuda itu 
tak kunjung tiba. sekarang  gadis itu mulai sedikit resah, 
dalam hati dia ingin sekali pergi, namun keinginannya 
untuk berjumpa latif  membuatnya tetap bersabar. 
Kemudian sambil mendengar tembang cinta yang 
mengalun merdu, gadis itu  tetap setia menunggu dan 
berharap latif  akan segera muncul. Benar saja, dalam 
waktu singkat latif  sudah menampakkan batang 
hidungnya. Melihat itu, Yuli pun tampak senang sekali. 
Kemudian dengan segera dia berlari menghampiri 
latif  dan memeluknya erat. 
"latif , aku kangen sekali, sudah lama ya kita tidak 
bertemu," kata Yuli dengan wajah berseri-seri sambil  
melepaskan pelukannya. 
"Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... kau 
mau belanja atau sudah belanja?" tanya latif .  
"Sebenarnya aku sudah mau pulang. Tapi saat  
melihatmu memasuki pintu utama, aku pun berniat 
menemuimu," jawab Yuli.  
"Benarkah! Kalau begitu, lebih baik kita ngobrol di 
cafetaria saja! Terus terang aku masih kangen 
denganmu," ajak latif . 
Tak lama kemudian, keduanya tampak menuju ke 
sebuah kafetaria untuk berbincang-bincang di tempat 
itu sambil menikmati es teler yang menyegarkan. 
 Di sebuah ruang perkantoran, seorang pria 
tampak sibuk di depan meja kerjanya. Dialah soebandrio   
yang sekarang  sedang serius menyelesaikan tugas-
tugasnya. Tak lama kemudian, seorang rekan 
wanitanya datang menghampiri. "Permisi, Pak! Ini ada 
surat buat Bapak," katanya sambil  menyerahkan 
sepucuk surat kepada soebandrio  .  
"O, terima kasih, Bu!" kata soebandrio   sambil  
mengambil surat itu dan mengamatinya. 
"Kalau begitu saya permisi dahulu , Pak!" pamit 
rekannya. 
"O, silakan!" kata soebandrio  . 
sesudah  rekannya pergi, soebandrio   pun segera 
membaca isi surat itu.  
Rahasia perusahaan, keputusan direktur utama 
No:xxx/22.B3/kep/Dir.utama/dokumen.  
Kabar Gembira: Sesuai dengan kerja keras dan 
kejujuran Bapak Banden selama ini, kami dari pihak 
perusahaan telah memutuskan untuk memberikan 
kenaikan gaji kepada saudara dan akan diperbarui 
mulai bulan ini, terhitung sejak dikeluarkannya surat 
keputusan ini. Keputusan ini adalah sah dan sangat  
rahasia, tentunya demi kepuasan saudara sebagai 
pegawai kami, terima kasih.  
soebandrio   sangat gembira mengetahui hal itu. 
Ternyata kerja keras dan kejujurannya selama ini 
telah membuahkan hasil sehingga perusahaan 
memberikan penghargaan atas semua jerih-
payahnya. Sejenak dia menoleh ke arah rekan-
rekannya yang masih tampak serius dengan 
pekerjaannya masing-masing.  
sesudah  menyimpan surat tadi, soebandrio   kembali 
bekerja dengan penuh semangat. Tak lama 
kemudian, Bu Siska datang menghampiri. sekarang  dia 
sudah berdiri di depan meja kerja soebandrio   sambil 
bertolak pinggang. soebandrio   yang saat itu sedang 
serius membaca sebuah berkas sama-sekali tidak 
menyadari kedatangannya. 
"Ahem…!" kata wanita itu tiba-tiba. 
soebandrio   tersentak sambil  mengangkat kepalanya, 
betapa terkejutnya dia saat  melihat Bu Siska tampak 
memandangnya dengan sorot mata yang berapi-api. 
"A-ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya soebandrio   
tergagap. 
Bu Siska tidak menjawab, dia justru balik 
bertanya. "Kenapa Bapak bemartini  berbuat lancang?" 
tanya wanita itu dengan nada marah.  
"Ma-maaf, Bu! Saya tidak mengerti maksud Ibu," 
jawab soebandrio   sopan. 
"Alaaah… Bapak kan yang melaporkan perihal 
berkas itu kepada Ibu Direktur," tuduh Bu Siska 
kecewa.  
"Apa!" seru soebandrio   kaget. Kemudian dia berdiri 
sambil  menatap mata wanita itu, "Sumpah, Bu. Saya 
sama sekali tidak melapor. Beliau sendiri yang 
mengetahuinya," kata soebandrio   sungguh-sungguh. 
"Lho, bukankah Bapak yang tadi memberitahukan 
saya untuk menghadap Ibu direktur."  
"Itu memang benar, Bu. Tapi... itu kan atas 
permintaan beliau."  
"Sudahlah, anda tidak usah berkelit! Tidak 
mungkin beliau tahu jika anda tidak melapor," tuduh 
Bu Siska lagi. "Asal Bapak tahu saja, di ruangan 
beliau saya dimarahi habis-habisan, dan beliau telah 
memberikan peringatan keras kepada saya," jelas Bu 
Siska geram.  
"Sungguh, Bu… Saya sama sekali tidak 
melaporkan hal itu."  
"Lalu siapa… kan cuma anda yang saya tugasi," 
kata Bu Siska ketus. 
"Baiklah, sekarang akan saya jelaskan duduk 
perkaranya. Kalau begitu silakan duduk dahulu !" tawar 
soebandrio   ramah. 
"Tidak perlu! Sekarang juga saya akan 
melaporkan masalah ini kepada Pak untung . Permisi!" 
pamit Bu Siska sambil  melangkah pergi dengan 
amarah yang meluap-luap.  
Saat itu soebandrio   cuma terpaku memperhatikan 
kepergiannya, kemudian dia segera duduk kembali. 
Karena konsentrasinya terganggu, soebandrio   merasa 
kesulitan untuk melanjutkan pekerjaan. sekarang  dia cuma 
bisa termenung sambil terus memikirkan kejadian 
yang baru dialaminya. Sementara itu, Rekan-rekannya 
yang berada di ruangan itu tampak saling 
berpandangan, mereka tampak prihatin melihat 
soebandrio   diperlakukan seperti itu. sekarang  mereka kembali 
melanjutkan pekerjaannya masing-masing, 
tampaknya mereka tidak mau turut campur dengan 
persoalan yang dihadapi pria itu.  
Sejenak soebandrio   memperhatikan rekan-rekannya, 
dia benar-benar merasa malu atas peristiwa tadi. 
saat  soebandrio   memandang ke sudut ruangan, tiba-
tiba dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang berdiri di 
tempat itu. Dia melihat sosok wanita itu sedang 
memandangnya sambil tersenyum tipis.  
"martini aa!" seru soebandrio   dengan suara yang agak 
keras. 
Mendengar itu, rekan-rekannya spontan 
memperhatikan soebandrio  , saat itu mereka benar-benar 
heran dengan kataan soebandrio   yang memanggil nama 
istrinya. Pada saat yang sama, sosok martini  sudah 
berdiri di hadapan soebandrio   dan sedang bercakap-
cakap dengannya. "Kau harus tetap bersabar, 
soebandrio  !" kata sosok istrinya itu. 
"martini … apakah kau…" belum sempat  soebandrio   
menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sosok istrinya itu 
menghilang dari pandangan.  
soebandrio   terkejut sambil  menatap ke penjuru 
ruangan, kepalanya tampak menoleh kiri-kanan 
mencari-cari sosok sang Istri. Sementara itu, rekan-
rekannya yang melihat tingkah-laku soebandrio   saat itu 
semakin heran, lalu salah seorang dari mereka segera 
datang menghampiri. "Ada apa, Pak? Kalau boleh 
saya tahu, sebenarnya Bapak sedang mencari apa?" 
tanya rekan soebandrio   prihatin.  
"Eh, sa-saya sedang… eh, tidak. Tidak ada apa-
apa kok," jawab soebandrio   tergagap.  
Rekan kerja soebandrio   tampak mengerutkan 
kening, "Bapak yakin tidak ada apa-apa?" tanyanya 
kemudian. 
"Benar kok, tidak ada apa-apa. Saya cuma sedikit 
lelah," jawab soebandrio   meyakinkan. 
Sejenak rekan kerjanya itu memperhatikan 
soebandrio  , kemudian dengan segera dia kembali ke 
meja kerjanya. Sementara itu di ruangan lain, sosok 
wanita berpakaian putih tampak sedang 
memperhatikan Bu Siska yang saat ini sedang 
menerima telepon. sekarang  sosok wanita itu tampak 
menghampirinya, wajah yang pucat tampak begitu 
marah. Pada saat yang sama, atasan Bu Siska yang 
bernama Pak untung  sedang sibuk di meja kerjanya.  
"Aduh!" teriak Bu Siska sambil  menoleh ke arah 
Pak untung . "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Bu 
Siska sambil  menatap Pak untung  yang masih bingung  karena teriakan sekretarisnya. 
"Apa! Aku tidak melakukan apa-apa. Aku justru 
mau bertanya, kenapa tiba-tiba saja kau berteriak?"  
"Sudahlah, Pak. Mengaku saja! Lagi pula, saya 
tidak mungkin marah sama Bapak. Saya tahu Bapak 
lagi pusing, dan semua ini memang gara-gara 
kesalahan saya," kata Bu Siska sambil  menghampiri 
Pak untung  dan duduk di depan meja kerjanya. 
"Kau ini bicara apa, Sis? Aku benar-benar jadi 
tambah bingung." 
"Ya sudah, kalau begitu kita lupakan saja! Eh, 
Pak. Ngomong-ngomong, kenapa Pak soebandrio   bemartini  
memberitahukan hal ini ke pada Ibu Direktur ya?" kata 
Bu Siska dengan nada kecewa. 
"Entahlah, Sis.... Mungkin soebandrio   memang telah 
berkata jujur kalau Ibu Direktur tanpa sengaja telah 
mengetahuinya," ujar Pak untung .   
"Ah, tidak mungkin, Pak! Setahu saya, Beliau 
hampir tidak pernah ke tempat kerjanya. Aku rasa, 
soebandrio   memang sengaja mengadukan hal itu karena 
ingin cari muka. O ya, Pak. Saya dengar dia baru 
menerima kenaikan gaji, bukankah itu suatu bukti," 
tuduh Bu Siska dengan raut wajah yang begitu kesal.  
"Kamu tahu dari siapa?" tanya Pak untung . 
"Ratna yang memberitahuku," jelas Bu Siska. 
"O, Ratna sahabatmu yang di bagian keuangan 
itu?" 
Bu Siska mengangguk, kemudian dia kembali 
bicara. "Pak, saya benar-benar kecewa dengan 
soebandrio  . Karena ulahnya, saya sempat ditegur oleh 
Ibu Direktur," keluhnya sambil  bangkit dari tempat 
duduk. "Pak, di sini kan kedudukan Bapak lebih tinggi, 
sebaiknya Bapak segera bertindak!" sarannya dengan 
semangat yang berapi-api.  
"Lalu... apa yang harus saya lakukan?" tanya Pak 
untung  sambil  merapatkan kedua alisnya. 
"Hmm… apa ya?" Bu Siska tampak berpikir keras, 
kemudian dia mulai berjalan berputar-putar. "Nah... 
saya punya ide yang bisa membuat soebandrio   
menyesali perbuatannya," katanya lagi sambil  duduk 
di atas meja kerja atasannya dengan mata yang 
berbinar-binar.  
"Maksudmu?" tanya Pak untung  sambil  menatap 
sekretarisnya yang sekarang  tampak tersenyum. 
"Begini, Pak… Saya akan berusaha 
menggagalkan laporan periklanan satu semester yang 
dipersiapkan soebandrio  . Saya akan melakukannya 
berturut-turut selama tiga semester. Dengan demikian 
reputasinya akan menjadi buruk, dan 
kemungkinannya dia pasti akan dipecat. Untuk 
mewujudkan rencana ini, Bapak harus bemartini  
menggunakan wewenang Bapak diluar ketentuan 
yang berlaku. Demi reputasi kita, Pak," jelas Bu Siska 
sambil  kembali duduk di kursi yang ada di depan meja 
kerja atasannya. 
"Kau jangan gila, kalau ada yang tahu justru kita 
yang bisa dipecat," kata Pak untung  khawatir. 
"Jangan khawatir, Pak! Saya akan 
mengerjakannya dengan sebersih mungkin, dan saya 
yakin, tidak seorang pun yang akan mengetahuinya," 
kata Bu Siska penuh keyakinan. 
"Kalau begitu… baiklah. Kita akan atur rencana 
itu. Tapi ingat, jangan sampai Pak Santoso 
mengetahui hal ini! Jika beliau sampai 
mengetahuinya, tentu beliau tidak akan terima. Dan 
yang pasti, beliau akan marah besar karena kita 
sudah mengaduk-aduk pekerjaan anak buahnya," 
jelas Pak untung . 
"Baik, Pak. Saya akan berhati-hati. Pak Santoso 
pasti tidak akan menyadarinya," kata Bu Siska sambil  
tersenyum puas. 
"Kapan kau akan menjalankan rencana itu?" tanya 
Pak untung . 
"Tentu saja sesudah  Bapak memberitahu saya 
tentang hasil rapat para manajer nanti. Kalau tidak 
salah, minggu depan kan?" tanya Bu Siska sambil  
berdiri dari tempat duduknya. 
"Ya, itu Betul. Kalau begitu, minggu depan saya 
akan memberitahukan hasilnya. O ya, sekarang tolong 
kau atur jadwal saya untuk besok!" pinta Pak untung  
sambil  membuka sebuah map yang berada 
dihadapannya. 
"Baik, Pak," kata Bu Siska sambil  berjalan ke 
meja kerjanya. 
sekarang  keduanya sudah kembali sibuk dengan tugas 
masing-masing. Sementara itu, sosok martini  tampak 
begitu marah, sorot matanya terlihat tajam 
memperhatikan kedua orang itu. Akhirnya sosok 
waniti tu pergi dari ruangan sesudah  menjatuhkan 
sebuah vas bunga yang ada di atas kabinet. 
 Di tempat terpisah, Yuli baru saja tiba di rumah. 
sekarang  dia sedang memarkir mobilnya di depan garasi. 
Tak lama kemudian, dia tampak keluar mobil dan 
bergegas membuka pintu bagasi. "Mang!" teriaknya 
memanggil si Pembantu yang baru saja menutup pintu 
gerbang. 
Mendengar itu, si Pembantu pun buru-buru 
menghampiri, "Iya Non… ada apa?" tanyanya sopan. 
"Eh, malah pakai tanya-tanya! Cepat kaubawa 
masuk semua barang-barang ini!" perintah Yuli 
dengan mata melotot. 
Melihat wajah tuannya yang tampak begitu galak, 
si Pembantu segera melaksanakan perintah itu. Dia 
tampak mengangkat semua barang-barang itu 
sekaligus. Namun baru saja dia hendak melangkah, 
tiba-tiba, "Sebentar, Mang! Ada lagi nih," tahan Yuli 
sambil  menambah tumpukan itu dengan sebuah 
bungkusan berpita merah yang baru diambilnya dari 
latif k belakang.  
"Apa masih ada lagi, Non?" tanya si pembantu 
menunggu. 
"Sudah, sudah semuanya. Sekarang cepat kau 
bawa masuk!"  
"Baik, Non..." kata si pembantu sambil  
melangkah pergi. 
sekarang  Yuli tampak mengambil majalah yang masih 
tergeletak di latif k depan mobilnya. sesudah  itu, dia 
segera melangkah masuk. Sementara itu di ruang 
tengah, si pembantu terlihat baru saja meletakkan 
barang-barang yang dibawanya di atas meja panjang. 
"Aduuuh, pasti habis deh barang-barang di Mal," 
celoteh si pembantu sambil geleng-geleng kepala, 
melihat belanjaan yang baginya tampak begitu 
banyak.  
"Bawel! Ini cuma sedikit tahu," celetuk Yuli yang 
tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya. 
Si Pembantu tampak terkejut, "I-ini banyak Non…" 
katanya tergagap. Kemudian dia tampak garuk-garuk 
kepala, "Me-memangnya habis ngeborong di mana, 
Non?" tanyanya kemudian. 
"Aaah... sudahlah! Tidak usah tanya-tanya! Sana 
ambilkan aku minum!" perintah Yuli sambil  duduk di 
sofa dan mulai membuka-buka majalahnya. 
Sementara itu, si Pembantu langsung bergegas ke 
dapur. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan 
membawa segelas sirup berwarna merah. "Ini Non 
minumannya," katanya ramah. 
"Terima kasih, Mang!" kata Yuli sambil  meneguk 
minuman itu. Sesaat  dia merasakan sirup manis 
yang begitu segar mulai membasahi 
kerongkongannya. "Hmm... nikmat sekali," katanya 
dalam hati sambil  meletakkan gelas yang 
dipegangnya ke atas meja. "Mang, tolong bantu aku 
membuka bungkusan-bungkusan ini!" pintanya 
kemudian.  
sekarang  mereka mulai membuka bungkusan-
bungkusan itu satu per satu. Pada saat yang sama, 
Yuli tampak mengamatinya dengan seksama. "Mang, 
yang ini tolong dibawa ke kamar!" pintanya sambil  
menyerahkan dua stel pakaian yang sedang 
dipegangnya.  
Si Pembantu menurut, dia segera membawanya 
ke kamar. Tak lama kemudian dia sudah kembali dan 
siap menjalankan perintah selanjutnya.  
"Nah... Mang. Sekarang bawa semua barang-
barang ini ke kamar!" pinta Yuli. 
Kali ini si Pembantu tidak segera melaksanakan 
perintah itu, dia tampak masih berdiri dengan wajah 
mesam-mesem. Melihat itu, Yuli tampak begitu kesal. 
"Eh, kok masih berdiri di situ?" tanyanya dengan alis 
yang tampak merapat.  
"Maaf Non...! Kok dibawa ke kamar semua, 
bagian saya mana, Non?" tanya si pembantu dengan 
wajah yang masih saja mesam-mesem.  
Yuli tidak menjawab, dia malah berdiri dengan 
santainya, kemudian menatap si Pembantu dengan 
mata melotot. "Eh… kalau tidak bisa diam, nanti akan 
kujahit mulutmu. Sekarang cepat bawa barang-barang 
itu ke kamar!" seru Yuli marah. "O ya, sesudah  itu 
tolong siapkan air hangat di bak mandi! Jangan lupa 
dengan aroma terapinya! " lanjutnya kemudian.  
Tanpa menunggu lagi, si pembantu segera 
membawa barang-barang itu, sedangkan Yuli tampak 
sudah duduk kembali dan mulai membaca 
majalahnya. "Maaf, Mang! Selama ini aku selalu 
berkata kasar padamu, habis kau selalu membuatku 
kesal sih," kata Yuli dalam hati. 
Sesaat  gadis itu teringat dengan koin emas yang 
ditemukannya, lalu dengan serta-merta gadis itu 
mengamatinya dengan penuh seksama. "Hmm... apa 
ya arti tulisan ini? Kalau dilihat dari hurufnya, 
sepertinya menggunakan huruf palawa? Dan 
sepertinya berasal dari jaman Kerajaan. Tapi, 
Kerajaan apa ya?" 
Yuli terus memperhatikan koin itu, "Hmm... apa 
sebaiknya hal ini kutanyakan pada kakekku? 
Bukankah dia paham betul dengan hal-hal yang 
seperti ini. Baiklah, Besok pagi aku akan berangkat 
menemuinya." sesudah  berkata begitu, Yuli segera 
menyimpan koinnya, kemudian bergegas ke kamar 
mandi dan berendam menikmati aroma terapi. 
 Malam harinya, sekitar pukul sembilan, di dalam 
sebuah kamar yang bersih dan tertata rapi. Seorang 
wanita baru saja mengenakan pakaian tidurnya. 
Dialah sekretaris Pak  untung  yang bernama Bu Siska. 
sekarang  dia tampak memandang ke arah lukisan yang 
tergantung di dinding, sepertinya dia benar-benar 
mengagumi keindahannya yang begitu menyejukkan 
mata. Lukisan dengan objek wanita cantik itu memang 
belum lama dia beli, dan dia sangat bangga 
memilikinya. Wanita di lukisan itu mengenakan gaun 
hijau dan memakai perhiasan yang begitu cantik, dia 
sedang tersenyum sambil memegang setangkai 
mawar merah. 
sesudah  puas menikmati lukisan itu, Bu Siska 
langsung duduk di depan meja rias yang dipenuhi 
dengan peralatan make up dan produk perawatan 
kulit. sekarang  dia mulai berkaca sambil mengenakan 
cream malam yang berguna untuk menjaga 
kelembapan kulit, sesudah  itu merebahkan diri di 
tempat tidur untuk melepaskan segala rasa letihnya. 
Tempat tidurnya sangat indah, modelnya berbentuk 
klasik dengan sentuhan warna emas yang menawan.   
Baru saja Bu Siska memejamkan mata, tiba-tiba 
terdengar alunan nada indah yang dimainkan begitu 
apik, iramanya pun terdengar sangat menyayat hati. 
Rupanya suara merdu denting piano itu terdengar dari 
ruang tengah rumahnya. "Hmm... siapa yang bermain 
piano seindah ini, apakah Bapak yang 
memainkannya?" tanya Bu Siska dalam hati. 
Kemudian wanita itu duduk di tepi tempat tidurnya. 
"Hmm... bukankah Bapak akan kembali besok. 
Tapi, kenapa sekarang sudah kembali?" Bu Siska 
kembali bertanya. Kemudian wanita itu segera berdiri 
dan melangkah ke pintu kamar.  
saat  baru membuka pintu, mendadak alunan 
nada yang terdengar merdu itu berhenti. Betapa 
terkejutnya Bu Siska saat  melihat di depan piano 
tidak ada siapa-siapa. "Pak! …Pak!" Panggilnya 
dengan suara yang agak keras. Bu Siska tampak 
mencari suaminya sampai ke semua ruangan, namun 
dia tidak menjumpainya.  
sekarang  wanita itu duduk di sofa ruang tengah dengan 
wajah yang sedikit bingung. "Aku heran, siapa 
sebenarnya yang memainkan piano tadi?" tanya Bu 
Siska dalam hati. 
Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba lampu di 
ruangan itu tampak bergoyang-goyang. Bu Siska pun 
segera memalingkan pandangannya ke arah bola 
lampu yang sekarang  semakin keras bergoyang. Bu Siska 
tampak terpaku—wajahnya yang cantik tampak begitu 
tegang. "A-ada apa ini. Kenapa dengan lampu itu?" 
tanyanya penuh keheranan.  
Tiba-tiba suara piano kembali berbunyi, kemudian 
diikuti dengan bergeraknya benda-benda yang ada di 
ruangan itu. Tak ayal, Bu Siska ketakutan bukan 
kepalang, kemudian berteriak histeris sambil menutup 
kedua telinganya. Tak lama kemudian, suasana 
menjadi tenang kembali. Pada saat yang sama, Bu 
Siska segera berlari memasuki kamar dan mengunci 
pintunya rapat-rapat.  
sekarang  Bu Siska tampak bersandar di daun pintu 
sambil menarik nafas panjang, kemudian 
menghembuskan dengan sangat cepat. Baru saja 
ketegangannya mereda, tiba-tiba lukisan wanita cantik 
yang tergantung di kamarnya tampak bergerak-gerak. 
Sesaat  Bu Siska terkejut sambil  memandang ke 
arah lukisan itu, kemudian lukisan itu mendadak 
kembali terdiam. Lantas dengan penuh rasa 
penasaran, Bu Siska melangkah mendekati lukisan 
itu.  
Dengan perasaan was-was, Bu Siska terus 
melangkah. Dan saat  dia sudah bengitu mendekat, 
tiba-tiba lukisan itu berbicara kepadanya. "Siskaaa, 
kenapa kau tegaaa?" tanya wanita di lukisan itu 
dengan suara yang terdengar begitu parau. 
Lagi-lagi Bu Siska terkejut bukan kepalang, 
sesaat  itu juga bulu kuduknya langsung berdiri. 
Kantas dengan serta-merta dia berlari ke pintu dan 
langsung memutar anak kuncinya. Namun saat  
hendel pintu ditarik, ternyata pintu itu tak bisa dibuka. 
Mengetahui itu, Bu Siska langsung panik, dia pun 
berusaha menariknya dengan sekuat tenaga. Tapi 
sayangnya perbuatan itu sia-sia belaka, pintu tersebut 
tetap tidak bisa dibuka.  
sekarang  Bu Siska kembali bersandar di daun pintu, 
matanya kembali memandang ke arah lukisan. Pada 
saat itu, tiba-tiba saja wanita yang ada di lukisan tadi 
kembali bicara, "Siskaaa... kenapa kau begitu jahat?" 
tanyanya dengan suara yang lebih keras, dan tiba-tiba 
semua benda yang ada di ruangan itu tampak mulai 
bergerak-gerak. 
Tak ayal, saat itu wajah Bu Siska tampak semakin 
pucat, bibirnya bergetar dan jantung kian berdegup 
kencang. "Si-si-siapa kau?" tanya Bu Siska dengan 
terbata-bata. 
"Aku martini aa Sisss, aku martini —istri Brandeeen."  
"Ja-ja-jadi ka-ka-kau, martini ?" Bu Siska tampak 
semakin ketakutan, dia benar-benar tidak menyangka 
kalau yang sedang berbicara kepadanya adalah 
martini —mendiang istri pria yang ingin ia celakai. Saat 
itu juga tubuh Bu Siska langsung lemas, dia terduduk 
di lantai dengan tubuh masih bersandar di daun pintu.  
"Siska, ketahuilah! Aku datang cuma untuk 
memperingatkanmu. Jika kau masih meneruskan niat 
jahatmu itu, aku tidak segan-segan untuk 
membunuhmu," ancam martini  tidak main-main.  
Bu Siska tidak berkata-kata, dia tampak diam 
seribu bahasa. Tak lama kemudian, lukisan itu 
kembali seperti wujudnya semula. Suasana di kamar 
itu pun akhirnya mulai tenang kembali. Pada saat itu, 
Bu Siska tampak belum juga bangkit dari duduknya, 
dia masih tak kuasa untuk berdiri, semua 
persendiannya terasa lemas dan tak bertenaga. 
Sementara itu di tempat lain, Pak untung  tampak 
sedang sendirian di rumahnya. Dia sedang beristirahat 
di ruang tengah sambil menyaksikan pertandingan 
sepak bola. Sejenak lelaku itu melirik ke arah jam 
dinding, dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 
11.00 WIB. Tak lama kemudian, dia sudah kembali 
menyaksikan pertandingan yang tampaknya begitu 
seru.  
saat  sedang seru-serunya menyaksikan 
pertandingan antara Intermilan melawan Manchester 
United, tiba-tiba lampu di ruangan itu tampak 
berkedip-kedip, seperti mau putus. Pak untung  agak 
merasa terganggu dengan kejadian itu, matanya 
tampak memperhatikan bola lampu yang sekarang  masih 
saja berkedip-kedip. Tak lama kemudian, lampu itu 
menyala seperti sediakala. sekarang  mata Pak untung  
kembali tertuju ke layar televisi. 
"Goaaal, goaaal…" teriaknya, menyoraki sang 
bintang favorit yang mempecundangi pertahanan 
lawan dengan tendangan yang begitu indah. 
Di layar kaca, sang Bintang favorit tampak berlari 
ke tepi lapangan dan bergaya atas keberhasilannya 
itu. Sorak-sorai penonton tampak riuh menyambutnya 
dengan suka-cita. Saat itu Pak untung  begitu gembira 
akan keberhasilan tim favoritnya yang sudah 
menduduki score 2-1. Tayangan gerak lambat pun 
segera diputar—disaat sang bintang beraksi saat  
menjebol pertahanan lawan. Namun saat  sedang 
menyaksikan detik-detik indahnya sang Bintang 
beraksi, tiba-tiba televisinya padam dengan 
sendirinya. Pak untung  merasa kesal sekali, dia 
menduga yang baru saja terjadi dikarenakan sleep 
mode yang dalam keadaan aktif. Lalu dengan segera 
dia mengambil remote untuk menyalakannya kembali. 
Namun saat  tombol power ditekan, ternyata 
televisinya masih tidak mau menyala. Pak untung  
semakin kesal, dia tampak menekan tombol itu 
berkali-kali. Namun sayangnya usaha itu sia-sia 
belaka, televisinya tak kunjung bisa menyala.  
sekarang  Pak untung  melangkah mendekati televisi dan 
menekan tombol power-nya, namun televisi itu masih 
juga tak mau menyala. "Sial... kenapa dengan 
televisiku?" gerutunya kesal sambil  kembali ke tempat 
duduk. 
Begitu dia hendak duduk, tiba-tiba lampu di 
ruangan itu kembali berkedip-kedip. Sesaat  Pak 
untung  berpaling, memperhatikan bola lampu yang 
masih berkedip-kedip. "Hmm… Ada apa ya? Apakah 
bola lampu itu memang sudah mau putus?" tanya 
lelaki itu dalam hati sambil  melangkah untuk 
melihatnya dari dekat.  
saat  sedang mengamatinya, mendadak bola 
lampu itu menyala terang dan semakin terang. 
Sampai akhirnya bola lampu itu meledak dengan 
diiringi suara yang cukup keras, sebagian pecahannya 
tampak mengenai wajah Pak untung .  
Saat itu Pak untung  sangat terkejut, dan tiba-tiba 
saja dia merasakan perih di wajahnya. Lantas dengan 
segera dirabanya bagian wajah yang terasa perih itu, 
"Oh tidak, wajahku..." kata Pak untung  yang melihat 
darah tampak menempel di telapak tangannya.  
Mengetahui itu, Pak untung  buru-buru ke kamar 
mandi. sekarang  dia sedang bercermin, mengamati luka-
lukanya yang tampak tidak begitu parah. Beberapa 
goresan kecil tampak menghiasi wajahnya yang putih 
bersih. saat  sedang serius mengamati luka-lukanya, 
tiba-tiba saja sesosok wajah mengerikan tampak 
muncul di cermin tersebut. Wajah itu tampak begitu 
pucat, kedua matanya tampak melotot disertai gigi 
runcing yang menyeringai kepadanya. Tak ayal, 
sesaat  itu juga Pak untung  langsung mundur ke 
belakang, jantungnya  berdebar kencang, bersamaan 
dengan bulu kuduknya yang berdiri sesaat .  Tiba-tiba 
wajah menyeramkan itu kembali menghilang. sekarang  Pak 
untung  hanya melihat dirinya sendiri yang tampak begitu 
tegang. 
"A-apakah yang kulihat tadi itu hantu? Atau itu 
cuma hayalanku saja?" tanya Pak untung  sambil terus 
memandang ke cermin dan sesekali mengucek-
ngucek kedua matanya.  
"Hmm... mungkin itu memang cuma hayalanku 
saja. Semua ini akibat aku terlalu banyak nonton film 
horror," duga Pak untung  sambil  kembali maju ke depan 
cermin dan mulai membasuh wajahnya di wastafel. 
Bersamaan dengan itu, air yang sejuk terasa 
meredakan ketegangannya.  
Pak untung  terus membasuh wajahnya, hingga 
akhirnya, "Da-da-darah…" katanya penuh ketakutan. 
Saat itu air yang digunakannya tiba-tiba telah berubah 
menjadi darah yang begitu kental.  
Tak ayal, jantung Pak untung  kembali berdegup 
kencang, nafasnya pun tampak tersengal-sengal. 
"Tidak, ini bukan hayalan, ini benar-benar nyata," kata 
lelaki itu sambil  berlari ke arah pintu dan 
membukanya lebar-lebar. 
saat  daun pintu itu terbuka lebar, dilihatnya 
sesosok wanita yang tadi ada di cermin sekarang  tengah 
menghadang jalannya. Saat itu Pak untung  tampak 
terpaku, matanya terbelalak dengan mulut yang 
menganga lebar. Sungguh dia tidak mengerti dengan 
apa yang ada dihadapannya.  
sekarang  sosok wanita itu tampak memandangnya 
dengan penuh amarah, giginya yang runcing tampak 
menyeringai seram. Tak ayal, saat itu tubuh Pak untung  
langsung gemetar menyaksikan sosok menyeramkan 
yang sekarang  mulai menghampirinya.  
"Pak untung uu!" seru sosok menyeramkan itu 
dengan suara yang begitu parau.  
"Ti-ti-tidaaak!!! Pergi kau!" teriak Pak untung  sambil  
melangkah mundur. 
Sosok menyeramkan itu terus melangkah 
mendekati Pak untung , sedangkan kedua tangannya 
tampak dijulurkan ke depan. Saat itu Pak untung  terus 
mundur hingga ke dalam kamar mandi, namun sosok 
wanita menyeramkan itu terus mengikutinya. Hingga 
akhirnya, Pak untung  sudah tidak bisa kemana-mana, 
langkahnya sudah terhalang oleh tembok kamar 
mandi.  
"Ke-ke-kenapa kauganggu aku? Si-si-siapa kau 
sebenarnya?" tanya Pak untung  dengan suara yang 
terbata-bata. 
"Aku martini ... istri soebandrio   yang sudah meninggal 
dunia. Aku kemari untuk memperingatimu agar 
 
menghentikan niat jahatmu itu," jelas martini  dengan 
suara serak yang datar. 
Sesaat  Pak untung  merasakan hawa dingin di 
sekujur tubuhnya, lalu dari celananya tampak mengalir 
air seni yang membasahi lantai. "Ba-ba-baik, a-a-aku 
tidak akan melaksanakan niat ja-ja-jahatku ke-ke-
kepada soebandrio  ," janjinya dengan kataan yang kian 
terbata-bata dan dengan wajah yang tampak begitu 
pucat. 
sesudah  Pak untung  berjanji, sosok wanita itu 
mendadak lenyap dari pandangan. Pada saat itu, Pak 
untung  tampak masih terduduk di lantai, tubuhnya 
terasa lemas dengan nafas yang tak beraturan. 
"Kenapa jadi begini!!!" teriaknya penuh penyesalan. Besok harinya, martini  yang baru pulang sekolah 
tampak memasuki pekarangan rumahnya 
dengan agak tergesa-gesa. Maklumlah, cuaca 
memang terasa cukup panas, sinar matahari yang 
tidak bersahabat terasa begitu menyengat kulit. Hal 
itulah yang membuat gadis itu ingin cepat tiba di 
rumah, berada di bawah naungan atapnya yang teduh. 
sekarang  gadis itu sudah berada di ruang tamu, kakinya 
yang semampai tampak diselonlatif rkan di atas meja, 
santai sekali. martini  terus melepas lelah sambil 
menikmati es kelapa muda yang dibelinya di warung 
Bu Ijah. sesudah  rasa lelahnya hilang, martini  pun segera 
ke ruang makan untuk menikmati makan siang yang 
dibelinya dari rumah makan langganannya.   
Selesai makan, martini  tampak kembali ke ruang 
tamu. sekarang  dia sedang duduk di tempat itu sambil 
membaca sebuah majalah. Beberapa menit 
 kemudian, dia tampak melangkah ke kamar ayahnya. 
saat  sedang membersihkan dan merapikan ruangan 
itu, tiba-tiba saja matanya tertuju pada sepucuk surat 
berwarna biru yang tergeletak di atas meja kecil. Lalu 
dengan serta-merta diambilnya surat itu dan diamati 
dengan penuh seksama. Surat itu sama sekali tidak 
mencantumkan identitas pengirim. Selain itu, surat 
tersebut juga tidak menggunakan prangko.  
"Aneh!" kata martini  dalam hati sambil  
mengeluarkan isi surat itu. Tak lama kemudian, dia 
sudah duduk di tepi tempat tidur sambil mulai 
membacanya. "Jangan takut… aku bukan mau 
mengganggumu. Aku cuma mau memberitahumu 
perihal latif . Begini Sayang... sebenarnya pemuda 
yang kau bangga-bangga itu tak lebih hanya pemuda 
busuk yang seharusnya mati di tanganku. Tapi aku 
tidak melakukan itu, aku cuma memberinya pelajaran 
dan memperingatinya agar tidak mendekati martini  lagi. 
Seandainya dia bemartini  coba-coba untuk melanggar, 
aku tidak segan-segan untuk membunuhnya. Mulai 
 
sekarang, awasi putrimu itu dan jangan biarkan dia 
menemui latif ." 
Begitulah isi surat yang dibaca martini . Dan hal itu 
membuatnya merinding ketakutan. Dengan perasaan 
yang masih diselimuti rasa takut, martini  segera 
memasukkan surat itu ke amplopnya lagi, kemudian 
meletakkannya kembali di atas meja.  
Sejenak martini  menatap surat itu, lalu dengan 
segera beranjak ke teras depan. sekarang  dia merasa takut 
jika harus berada di dalam rumah. Hal itu dikarenakan 
surat yang baru dibacanya, ditambah lagi dengan 
bayang-bayang kejadian dua hari yang lalu—
serentetan peristiwa yang selalu membuat martini  
merinding bila mengingatnya.  
sekarang  gadis itu sudah duduk di kursi teras sambil 
memikirkan isi surat yang baru dibacanya, kemudian 
mencoba menghubungkannya dengan peristiwa 
malam itu. "Hmm... apakah kejadian malam itu ulah 
orang yang mengirim surat pada Ayah? Sebenarnya 
siapa dia, kenapa dia menyuruh ayahku untuk 
menjauhkanku dari latif ? Apakah dia wanita yang 
waktu itu menemui Ayah? Hmm... mungkinkah Ayah 
memiliki  hubungan khusus dengannya? Kalau 
begitu, benar juga yang dikatakan latif  waktu itu. Tapi 
kenapa...?" martini  terus bertanya-tanya dalam hati.  
sekarang  martini  teringat saat  latif  mengatakan perihal 
sesuatu yang tidak beres di rumahnya, dan semua itu 
karena ulah tukang sihir yang tidak mau menghendaki 
hubungan mereka. martini  tampak semakin bingung, dia 
terus berpikir di dalam rasa takut yang kian 
menyelimuti. Sesekali dia menatap ke sekelilingnya, 
bahkan dia sudah siap lari jika terjadi sesuatu di 
rumah itu.  
martini  masih memikirkan semua peristiwa yang 
membingungkan itu, hingga akhirnya dia mendengar 
langkah kaki di dalam rumahnya. Lantas dengan 
serta-merta dia memusatkan pendengarannya, namun 
suara itu tak terdengar lagi. Karena penasaran, martini  
segera mengitip ke dalam rumah melalui kaca depan 
yang gordennya sedikit terbuka, kedua matanya 
tampak dibuka lebar-lebar—mencari siapa yang ada  di dalam. 

"Hmm... sepertinya, tadi memang ada orang," 
gumam martini  sambil  terus memperhatikan ke dalam 
rumah.  
Mendadak dia melihat sekelebat bayangan putih 
yang melayang cepat memasuki kamar ayahnya. 
Mengetahui itu, sesaat  bulu kuduk martini  berdiri, 
kemudian dengan serta-merta dia berlari ke jalan raya 
tanpa bemartini  menengok ke belakang sedikitpun.  
sekarang  gadis itu sudah berada di tepi jalan dengan 
wajah yang sangat ketakutan, saat itu dia sudah tidak 
bemartini  kembali ke rumah. Pada saat yang sama, 
sebuah angkot tampak melintas di jalan tersebut. 
Melihat itu, wajah martini  tampak berseri-seri, dia 
menduga ayahnya pasti berada di angkot tersebut. 
Namun dugaannya itu ternyata meleset, angkot itu 
terus berlalu dan akhirnya menghilang di kejauhan.  
"Kenapa Ayah belum pulang?" tanya martini   sambil 
membemartini kan diri memandang ke arah rumahnya 
yang tampak begitu sepi. Saat itulah, tiba-tiba dia 
merasakan sebuah sentuhan pada pundaknya. Tak 
ayal, martini  langsung terpekik sambil membalikkan 
badannya. "Aduh, Ayah…! Ayah membuatku kaget 
saja," kata martini  sambil menepuk-nepuk dadanya 
perlahan. 
"Sedang apa kau di sini, Nak?" tanya sang Ayah. 
martini  tidak menjawab, dia tampak tersenyum lebar 
karena ayahnya sudah pulang. "Ayah pulang jalan 
kaki ya?" tanyanya kemudian. 
"Tidak. Ayah pulang naik angkot." 
"Angkot yang barusan lewat itu?" 
"Iya... memangnya kenapa?" 
"Kok martini  tidak melihat Ayah." 
"O... itu karena Ayah memang tidak turun di sini. 
Tadi Ayah sengaja turun di depan warung Bu Ijah 
untuk membeli rokok."  
"O, begitu..." kata martini  mengangguk-angguk. 
Pada saat itu soebandrio   tampak menggandeng 
lengan martini , "Ayo, Nak. Kita masuk!" ajaknya 
kemudian.  
Saat itu martini  tampak enggan, dia menatap 
ayahnya dengan penuh rasa cemas, kemudian 
pandangannya beralih ke arah rumah yang tampak 
begitu sepi.  
Mengetahui tingkah putrinya yang demikian, 
soebandrio   tampak heran, kemudian dia menduga pasti 
yang tidak beres di rumah itu—sesuatu yang 
membuat martini  takut. Sejenak soebandrio   menatap ke 
arah rumahnya, melihat apa yang sedang diperhatikan 
putrinya. "Hmm... tidak ada yang mencurigakan. 
Sebenarnya apa yang membuatnya takut?" tanya 
soebandrio   dalam hati.  
sekarang  soebandrio   tampak memperhatikan putrinya 
yang sedang menatap ke ujung jalan. "Ayo martini . 
Kenapa kau masih berdiri di situ? Bukankah 
sebaiknya kita masuk ke dalam!" ajaknya sekali lagi.  
martini  menggeleng. "Biar martini  di sini saja Ayah," 
katanya pelan. 
"Kau ini bagaimana sih? Lihatlah! Hari sudah 
semakin gelap. Apa kau mau terus berdiri di tempat 
ini?" tanya soebandrio  . 
Lagi-lagi martini  menggeleng.  
"Nah, kalau begitu ayo kita masuk!" ajak soebandrio   
lagi. 
martini  tampak menatap ayahnya. "Baiklah, Ayah. 
Tapi, biarkan martini  berjalan di belakang Ayah!" 
pintanya berharap. 
soebandrio   setuju. Dia segera melangkah ke teras 
dengan hati-hati, sementara itu martini  tampak 
mengekor di belakangnya.  
sekarang  lelaki itu sedang membuka pintu rumah 
dengan sangat perlahan, kemudian melongok ke 
dalam dengan was-was. "Hmm... tidak ada apa-apa," 
kata soebandrio   dalam hati sambil  mulai melangkah 
masuk.  
Sementara itu, martini  yang masih mengekor di 
belakangnya tampak mengamati ruangan itu dengan 
penuh rasa cemas. "Ayah…!" serunya tiba-tiba. 
soebandrio   agak terkejut mendengar suara martini . 
"Ada apa, Sayang...?" tanya lelaki itu sambil  menoleh 
ke belakang—memandang wajah putrinya yang 
terlihat begitu cemas. "Sebenarnya ada apa 
denganmu, Nak? Tidak biasanya kau seperti ini. "  
"martini  takut, Ayah. martini  takut."  
"Takut...?" soebandrio   tampak mengerutkan 
keningnya, kemudian duduk bersantai di sofa. "Ya 
sudah, kalau begitu kenapa kau masih berdiri di situ? 
Mari sini, duduk dekat Ayah!" sambungnya kemudian. 
martini  menurut, dia segera melangkah dan duduk di 
sisi ayahnya. "Ayah, surat itu dari siapa?" tanya martini  
tiba-tiba. 
"Su-surat... surat yang mana?" tanya soebandrio   
tidak mengerti. 
"Itu, Yah… Surat  yang tergeletak di meja kecil di 
kamar Ayah," jelas martini . 
"Ja-jadi kau sudah membacanya?’  
martini  mengangguk. "Ayo, Yah. Lekas katakan!" 
desaknya kemudian. 
soebandrio   memandang putrinya, raut wajahnya 
seperti sedang berpikir. "Tidak! Aku tidak boleh 
mengatakannya, dia belum siap untuk mengetahui 
semua hal yang telah terjadi di rumah ini," kata 
soebandrio   dalam hati.  
"Siapa yang mengirim surat itu, Ayah…?" tanya 
martini  sekali lagi.  
"Begini Sayang... sebaiknya kau lupakan saja 
perihal surat itu. Ayah sendiri juga tidak tahu siapa 
pengirimnya. Semula Ayah juga bingung saat  
membacanya, apa lagi sampai membawa-bawa nama 
latif  segala. Tapi sekarang, Ayah sudah tidak 
memikirkannya lagi. Ayah menganggap semua itu 
merupakan pekerjaan orang iseng yang mau merusak 
ketenteraman keluarga kita," jawab soebandrio  . "O ya, 
apa kau sudah makan?" tanya lelaki itu kemudian, 
mencoba mengalihkan pembicaraan. 
martini  tidak menjawab, dia tampak menunduk 
sambil meremas jemari di pangkuannya.  
 "O ya, bagaimana tentang latif . Apa kau sudah 
bertemu dengannya?" tanya soebandrio   lagi.  
martini  tetap membisu, dia tidak mau menjawab 
pertanyaan ayahnya selama sang Ayah belum 
menjawab pertanyaannya dengan jujur. Saat itu dia 
menduga ayahnya telah berbohong, sehingga dia 
tidak mau menerima penjelasan yang baginya 
terkesan menutup-nutupi.  
sekarang  martini  kembali melemparkan kalimat-kalimat 
yang disangkanya bisa membuat sang Ayah 
menyerah dan akhirnya mau menjelaskan semua 
kejadian aneh yang selama ini dialaminya. Tapi martini  
salah duga, ternyata sang Ayah selalu memberikan 
jawaban yang sama. Karena tak juga mendapatkan 
jawaban yang memuskan, akhirnya martini  menyerah, 
dia tampak melangkah ke teras depan dengan 
perasaan kecewa. Pada saat yang sama, soebandrio   
tampak beranjak bangun dan mengikutinya.  
sekarang  keduanya sudah duduk di kursi teras dan 
saling membisu. sesudah  cukup lama membisu, 
akhirnya martini  mulai bersuara, dia segera 
menceritakan kejadian yang membuatnya bersikeras 
ingin mengetahui penjelasan dari ayahnya.  
"Ayah… Tadi, saat  martini  sedang membersihkan 
kamar Ayah, martini  melihat surat itu dan membaca 
isinya. Isi surat itu telah membuat martini  begitu 
merinding. Orang yang menulis surat itu mengancam 
akan membunuh latif  jika dia berhubungan dengan 
martini , dan saat  martini  sedang duduk memikirkan 
masalah itu di sini, tiba-tiba martini  mendengar langkah 
kaki di dalam rumah. saat  martini  mengintip ke dalam, 
martini  sempat melihat ada sekelebat bayangan yang 
melesat memasuki kamar Ayah. Kontan saja martini  
ketakutan dan melarikan diri ke jalan raya," cerita martini  
dengan sedikit takut karena mengingat kejadian yang 
dialaminya. 
sesudah  mendengar cerita itu, soebandrio   langsung 
merenung. Di hatinya ada perasaan kecewa yang 
sangat mendalam, kekecewaan terhadap sosok 
istrinya yang selalu datang menghantui mereka. 
Hingga saat ini soebandrio   masih belum mengerti, 
kenapa mendiang istrinya itu selalu datang 
mengganggu martini , kenapa belakangan ini dia selalu 
membebani pikiran putrinya dengan membuat 
keganjilan-keganjilan di rumah itu. Walaupun 
sebenarnya soebandrio   masih kurang yakin kalau itu 
adalah arwah istrinya, sebab baru-baru ini dia 
mengetahui tentang adanya jin pendamping yang 
biasanya suka menyerupai orang yang sudah 
meninggal. Karenanyalah soebandrio   masih saja 
bingung dengan semua perkara itu sehingga dia tidak 
bemartini  memastikan apakah itu memang arwah martini  
atau cuma Jin pendampingnya.  
sekarang  soebandrio   menatap putrinya dengan penuh 
perhatian, kemudian menggenggam tangannya 
lembut. "O ya, Sayang. Tadi Ayah dapat surat dari 
latif ," katanya sambil  mengambil surat yang di 
maksud dan memberikannya kepada martini . 
"Terima kasih, Ayah!" kata martini  senang karena 
menerima surat dari kekasihnya. "O ya, Ayah. Apakah 
Ayah berjumpa dengan dia?" tanya martini  
bersemangat. 
"Tidak, surat itu dititipkan lewat teman kerja Ayah." 
martini  tampak mengangguk-angguk. "O ya, Ayah. 
Sekarang martini  mau ke kamar untuk membaca surat 
ini," katanya kemudian. 
"Iya, Sayang..." kata soebandrio   sambil  
memperhatikan kepergian putrinya. 
sekarang  martini  sudah berada di dalam kamarnya. Dia 
sedang duduk di tepi tempat tidur sambil membuka 
surat dari latif . Saat itu dia merasa begitu senang, 
bahkan wajahnya yang semula murung sekarang  tampak 
berseri-seri, sepertinya dia sudah lupa dengan segala 
kejadian yang telah membuatnya takut. Namun saat  
dia membaca isi surat itu, mendadak raut wajahnya 
berubah sedih. Kemudian di susul dengan air mata 
yang berderai melewati pipinya yang mulus.  
"latif  kenapa kau tega memutuskanku. Apa benar 
semua itu karena orang tuaku yang tidak merestui 
hubungan kita?" 
martini  terus menangis dan menangis. Sungguh dia 
sangat kecewa dengan keputusan itu dan tidak bisa 
menerimanya begitu saja. sesudah  meletakkan surat 
yang baru dibacanya, martini  segera beranjak bangun. 
Kemudian melangkah ke sebuah meja kecil dan 
mengambil foto latif  yang terpajang di meja itu. 
Sesaat dia pandangi foto itu dengan air mata yang 
terus berderai.  
sekarang  gadis  itu  sudah kembali ke tempat tidur, 
tubuhnya tampak tertelungkup dengan kedua tangan 
yang memegang bingkai foto. Matanya yang basah 
terus memandangi foto latif  yang sedang tersenyum, 
"latif …maafkan ayahku! Aku sama sekali tidak 
mengerti mengapa Ayah tidak merestui hubungan 
kita? Padahal, semula beliau sangat merestuinya. 
Belakangan ini sikap beliau memang agak aneh, 
sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. 
latif ... terus terang aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku 
benar-benar menyesal karena kita harus berpisah 
dengan cara seperti ini, dan yang aku sangat 
sesalkan, semua ini adalah lantaran ulah ayahku. 
Beliau pasti melakukannya atas permintaan orang 
misterius yang hingga sekarang  masih membuatku 
bingung." 
martini  terus membatin dengan segala duka-laranya, 
air matanya selalu berderai jikalau mengingat kembali 
masa-masa indah bersama latif , sepertinya dia tidak 
sanggup untuk berpisah dengan pria yang begitu 
dicintainya.  
martini  membaca surat latif  sekali lagi, kemudian 
kembali memandangi foto kekasihnya dengan tangis 
yang tak kunjung henti. Hingga akhirnya martini  tertidur 
sambil memegang foto latif  di dadanya. 
 Esok harinya, martini  seperti enggan ke sekolah. 
Harapan akan masa depannya yang gemilang telah 
sirna sesaat . Semenjak menerima surat itu, martini  
memang tidak memiliki  gairah untuk hidup. 
Bahkan di benaknya terbayang sudah kehidupannya 
yang  terasa begitu hampa, sehingga dia pun merasa 
tidak mungkin sanggup untuk melaluinya. Namun, 
bisikan numartini nya terus meminta untuk melupakan 
semua itu, memintanya untuk tetap menjalani 
kehidupan seperti apa adanya. Hingga akhirnya, martini  
mau mendengarkan kata hatinya itu. Walau terasa 
berat, dia mau juga berangkat ke sekolah.  
Di sekolah, martini  masih saja terlihat murung. 
Semua pelajaran sama sekali tak bisa diserapnya, 
semua telah terkubur oleh kuatnya kekecewaan yang 
mendalam. sesudah  pulang sekolah, gadis itu tidak 
langsung pulang ke rumah. Dengan berjalan kaki, dia  
terus melangkah tanpa tujuan. Di benaknya terus 
terbayang akan kemalangan yang telah menimpanya. 
sesudah  jauh melangkah, akhirnya martini  sampai di 
sebuah rel kereta api dua jalur. Tiba-tiba martini  
menghentikan langkahnya, di kejauhan terlihat sebuah 
KRL (kereta rel listrik) yang akan melintas.  
martini  tampak terpaku saat  Ular besi itu melintas 
di hadapannya, hembusan anginnya terasa keras 
menerpa. Ular besi itu memang tampak perkasa, 
kokoh dan begitu kuat. Berdiri di sampingnya saja 
sudah sangat menggetarkan jiwa, apa lagi jika berada 
dihadapannya. Begitulah yang ada di benak martini  akan 
keperkasaan si Ular besi, dan mendadak dia tersadar, 
dilihatnya KRL sudah pergi menjauh. sekarang  martini  
melanjutkan langkahnya untuk menyeberang, namun 
saat  dia berada di tengah-tengah rel, tiba-tiba 
langkahnya terhenti. sekarang  segala keperkasaan tentang 
si Ular besi kembali hadir di benaknya, kemudian 
timbullah sebuah niat untuk melepaskan segala 
penderitaannya.  
Lantas dengan langkah gontai namun pasti, martini  
mulai berjalan menyusuri rel kereta api, dia berjalan 
searah dengan KRL yang baru saja melintas. martini  
terus melangkah dan melangkah, sedang di hatinya 
terus merasakan penderitaan yang teramat sangat. 
Seolah pikirannya tak mau lepas dari bayang-bayang 
masa lalu, masa-masa indah saat  bersama sang 
Kekasih, masa-masa yang tidak mungkin akan 
terulang lagi.  
martini  terus melangkah menyusuri rel yang lurus. 
Saat itu dia berharap sebuah KRL akan muncul di 
belakangnya dan menabraknya hingga hancur 
berkeping-keping, kemudian berakhirlah segala 
penderitaannya yang teramat pedih. Berakhir dengan 
cepat, secepat lepasnya nyawa dari raga. Tak lama 
kemudian, sebuah KRL datang dari arah belakang, 
klaksonnya terdengar meraung-raung—memperingati 
akan keperkasaan si Ular besi yang tidak main-main 
dengan segala yang ada di depannya. martini  sadar 
akan hal itu, tapi dia justru merasa senang karena 
sebentar lagi semua penderitaannya akan berakhir 
dengan cepat.  
KRL terus melaju mendekati martini , hingga 
akhirnya jarak kematian tinggal satu meter lagi. Di 
saat detik-detik kematian itu, tiba-tiba sesosok tubuh 
tegap melompat cepat dan menyambar tubuh martini  
hingga akhirnya keduanya tampak bergulingan di atas 
kerikil, sedangkan si Ular besi terus melintas dengan 
segala keperkasaannya—dia terus menjauh seakan 
tidak peduli dengan semua itu. Pada saat yang sama, 
martini  terlihat sudah berdiri sambil membersihkan 
kotoran yang menempel di tubuhnya, sedangkan 
orang yang mendorongnya tampak berdiri di 
sampingnya dengan raut wajah yang begitu serius.  
"Dasar manusia tidak berakal! Jika kau ingin mati 
jangan di hadapan aku dong!" maki orang itu. "Terus 
terang, aku sudah pernah melihat orang mati tertabrak 
kereta. Tubuhnya hancur berkeping-keping, sungguh 
mengenaskan. Aku tidak mau melihat hal seperti itu 
untuk yang kedua kalinya," cerita orang itu dengan 
nada marah. 
martini  tidak berkata-kata, dia hanya mendengarkan 
orang itu terus berbicara, sedangkan kedua matanya 
tampak menatap wajah tampan yang masih saja 
terlihat serius. Dia benar-benar tidak menduga kalau 
usahanya itu telah membuat pemuda itu begitu gusar.  
"Paham kau?" tanya pemuda itu mengakhiri 
omelannya. 
"Maaf kalau tadi aku telah merepotkanmu!" kata 
martini  menyesal. 
Mendengar itu, Pemuda tadi segera meredakan 
nada bicaranya. "Kenapa kau ingin bunuh diri?" 
tanyanya prihatin. 
martini  tidak menjawab, dia justru meneteskan air 
matanya. Melihat itu, si pemuda kembali bicara, "Maaf 
kalau pertanyaanku tadi membuatmu sedih! Terus 
terang, sebenarnya aku tidak mau mencampuri 
masalahmu. Namun karena perbuatanmu tadi, 
rasanya aku perlu membantumu. Tapi kalau kau 
merasa aku ini bukan orang yang pantas, aku tidak 
akan memaksa. Aku sarankan, carilah orang yang 
bisa membantumu untuk menyelesaikan masalahmu. 
Bunuh diri bukanlah cara menyelesaikan masalah, hal 
itu justru akan membuatmu semakin menderita di 
alam sana. Mengerti?" tanya pemuda itu kepada martini  
yang masih saja tertunduk sedih. "Baiklah... kalau 
begitu aku pergi sekarang," pamit pemuda itu sambil  
melangkah pergi. 
"Tunggu, Kak!" tahan martini  tiba-tiba.  
Mendengar itu, si pemuda langsung menoleh dan 
segera menghampiri martini . "Ada apa?" tanyanya 
pelan. 
"Begini Kak. Sebenarnya..." martini  menggantung 
kalimatnya. 
Pemuda itu segera menggenggam tangan martini  
sambil  berkata, "Ayo katakan saja! Kau tidak perlu 
sungkan padaku. Aku sungguh-sungguh akan 
membantumu, percayalah!" 
"Begini Kak. Se-sebenarnya aku sedang patah 
hati. Aku merasa kehidupanku begitu berat dan penuh 
dengan penderitaan, sepertinya aku sudah tidak 
sanggup lagi hidup di dunia ini," cerita martini  lirih. 
"Hmm... begitu. Jadi kaupikir dengan bunuh diri 
bisa menghilangkan penderitaanmu, begitu?" 
martini  mengangguk. 
"O ya, kenalkan. Namaku ‘aidit ’. Siapa 
namamu?" tanya pemuda itu lagi. 
"Aku ‘martini ’." 
"Hmm… ‘martini ’ nama yang bagus," puji aidit . "O 
ya, bagaimana kalau kita bicara di warung itu? Di sana 
kita bisa bicara sambil menikmati es kelapa muda." 
martini  tertunduk, sepertinya dia enggan mengikuti 
keinginan pemuda itu. 
"Ayolah! Kau tidak perlu sungkan. Bukankah akan 
lebih enak kalau kita bicara sambil duduk dan minum 
es kelapa muda," desak aidit .  
martini  menatap pemuda itu, lalu mengangguk 
pelan. Tak lama kemudian, mereka sudah melangkah 
ke warung yang dimaksud. sekarang  mereka sedang duduk 
di warung sambil menikmati es kelapa muda yang 
begitu segar. Pada saat itu, aidit   mulai menanyakan 
kembali perihal keinginan martini  untuk bunuh diri, kali 
ini martini  menceritakannya dengan lebih rinci. 
"martini ... dengar ya! Sebenarnya bunuh diri itu tidak 
akan mengakhiri penderitaanmu. Hal itu justru akan 
membuatmu semakin menderita. Di akhirat nanti, kau 
pasti akan dimintai pertanggungjawabannya. 
Ketahuilah, kalau setiap manusia yang hidup pasti 
akan memiliki  masalah, dan masalah itulah yang 
akan membuatnya semakin mengerti akan arti 
kehidupan. Sebagai manusia, kita dituntut untuk 
menyelesaikan segala masalah dengan cara yang 
baik, dan itulah hidup yang sesungguhnya. Kita 
sebagai manusia sengaja dikaruniai perangkat yang 
begitu kompleks karena untuk merasakan kehidupan. 
Apalah jadinya jikalau hidup tanpa memiliki  
masalah, tentunya akan terasa hambar bukan? Kita 
merasa bahagia karena ada sedih, kita merasa 
mudah karena ada susah. Coba renungkan, 
seseorang yang ditinggal pergi oleh kekasihnya tentu 
akan sedih sekali, namun begitu dia bertemu kembali, 
kebahagiaan pun tak kan terelakkan. Satu lagi, 
seseorang yang mendapat sesuatu dengan cara 
bersusah payah pasti hasilnya akan dirasakan 
berbeda jika dibandingkan dengan orang yang 
mendapatkannya dengan cara mudah. Orang yang 
bersusah payah akan mendapatkan kepuasan 
tersendiri daripada yang mendapatkannya dengan 
cara mudah. Sebenarnya masih banyak lagi liku-liku 
kehidupan yang sebenarnya akan membuat kita lebih 
menghargai hidup itu sendiri, dan itulah yang 
dinamakan asam garam kehidupan yang akan 
membuat kehidupan kita menjadi lebih nikmat," jelas 
aidit  panjang lebar. 
martini  terdiam, sepertinya dia sedang merenungi 
segala kataan pemuda itu. Hingga akhirnya, martini  pun 
bisa menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya 
memang salah, kenapa hanya karena ditinggal 
kekasih dia menjadi lemah dan berpikir pendek begitu. 
Bahkan dia merasa benar-benar bodoh lantaran telah 
melakukan tindakan yang justru akan membuatnya 
semakin menderita.  
"Kau benar Kak, aku memang telah salah 
bertindak!" kata martini  menyesal. "Terus terang,  aku 
sangat berterima kasih karena kau telah 
menyadarkanku!" sambungnya kemudian. 
"Sudahlah...! Kau tidak perlu berterima kasih 
padaku. Karena semua ini memang sudah kehendak-
Nya. O ya, bagaimana jika kau kuantar sampai ke 
rumah?"  
"Terima kasih Kak! Saya tidak mau merepotkan. 
Lagi pula, saya bisa pulang sendiri kok," tolak martini . 
"martini ... izinkanlah aku untuk mengantarmu! Aku 
ingin memastikan kau tiba di rumah dengan selamat," 
desak aidit . 
martini  tidak menjawab. Dia memandang aidit  
dengan pandangan yang penuh suka cita.  
"Bagaimana...? Kau mau kan?" tanya aidit . 
martini  tersenyum, kemudian dia menganggukkan 
kepalanya.  
"Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak aidit . 
Tak lama kemudian, keduanya tampak melangkah 
menuju ke sebuah sepeda motor besar yang di parkir 
di samping warung. Ternyata sepeda motor itu 
kepunyaan aidit  yang memang sudah diparkir 
sebelum peristiwa itu terjadi. sesudah  menghidupkan 
sepeda motornya, aidit  segera memacunya 
menyusuri jalan yang mulai macet. Dalam perjalanan, 
mereka tampak asyik berbincang-bincang. Sesekali 
aidit  menghibur martini  dengan banyolan-banyolan 
yang membuat martini  tertawa terpingkal-pingkal. Untuk 
sesaat martini  bisa melupakan segala kepedihannya, 
wajahnya tampak begitu ceria. sesudah  cukup lama 
menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di 
tempat tujuan.  
martini  yang baru saja turun dari motor tampak 
tersenyum kepada aidit , "Ayo Kak, silakan mampir 
dahulu !" tawarnya ramah. 
"Terima kasih! Lain kali saja. Kali ini aku harus 
cepat-cepat pulang," tolak aidit . "Sudah ya, aku 
pergi sekarang!" pamitnya kemudian. 
"O ya, Kak. Sekali lagi aku katakan banyak terima 
kasih!" 
"Sudahlah...!" kata aidit  sambil tersenyum.  
martini  tersenyum, kemudian dia tampak 
memperhatikan aidit  yang kembali melaju dengan 
sepeda motornya, tak lama kemudian sepeda motor 
itu sudah tak terlihat lagi. Pada saat yang sama, martini  
segera melangkah memasuki rumah. sekarang  dia terlihat 
sedang membersihkan diri dari segala kotoran yang 
melekat, dan sesudah  itu dia bergegas menuju ke 
kamarnya. 
Setibanya di kamar, martini  langsung 
menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. sekarang  gadis 
itu kembali teringat dengan latif , teringat akan 
keputusan latif  yang begitu menyakitkan, dan dia 
menduga semua itu lantaran ulah ayahnya yang 
mengusir latif  malam itu. Dia ingat betul saat  
ayahnya membentak latif  dengan begitu kasar, dan 
saat itu latif  terlihat begitu gusar.  
sekarang  martini  kembali murung, menghapus semua 
keceriaan yang semula menghias wajahnya. Tiba-tiba 
air matanya tampak berderai, mengalir melewati 
pipinya yang mulus, kemudian menetes membasahi 
bantalnya yang berwarna biru. martini  terus menangis, 
isak tangisnya terdengar begitu lirih. Selirih gesekan 
dawai biola yang mengalun panjang.   
Di tempat terpisah, di sebuah gedung 
perkantoran. soebandrio   tampak sibuk dengan tugas-
tugasnya. saat  sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba 
telepon yang ada di meja kerjanya berdering dengan 
keras sekali. Lalu dengan segera lelaki itu 
mengangkatnya, "Hallo!" sapa soebandrio   kepada orang 
yang menelepon. 
"Hallo, Pak soebandrio  ! Ini saya, Pak untung . Saya 
mohon Bapak segera ke ruangan saya!"  
"Baik, Pak. Secepatnya saya akan ke sana," kata 
soebandrio   sambil  menutup telepon itu. 
Dengan agak tergesa-gesa, soebandrio   tampak 
meninggalkan ruangannya. Tak lama kemudian, dia 
sudah sampai di ruangan Pak untung . "Selamat sore, 
Pak!" kata soebandrio   sopan. 
"Silakan duduk, Pak!" pinta Pak untung  sambil 
tersenyum. 
"Terima kasih, Pak!" kata soebandrio   sambil  duduk 
di hadapan Pak untung . 
Di sudut lain, terlihat Bu Siska yang terus 
memperhatikan soebandrio   dari meja kerjanya. 
 "Sebenarnya ada apa, Pak?" tanya soebandrio   
sopan. 
"Begini, Pak... keperluan saya memanggil Bapak 
adalah untuk meminta maaf," kata Pak untung  berterus 
terang. 
"Mi-minta maaf? Maksud Bapak?" tanya soebandrio   
heran. 
"Saya mohon, Bapak mau memaafkan saya," 
kata Pak untung  tulus.  
"Pak, saya benar-benar tidak mengerti? Bapak 
kan tidak punya salah sama saya?"  
Tiba-tiba Bu Siska beranjak dari tempat duduknya,
kemudian dia melangkah menghampiri soebandrio  . 
"Saya juga minta maaf, Pak!" katanya tulus. 
"O, jadi ini semua karena kejadian tempo hari. 
Bukan begitu, Bu?"  
Bu Siska tidak menjawab, dia tampak 
menundukkan kepalanya. Melihat itu soebandrio   kembali 
bicara, "Sebenarnya kejadian tempo hari sudah saya 
lupakan. Saya benar-benar maklum kalau saat itu Ibu 
marah sama saya." 
"Sebenarnya bukan cuma itu, Pak. Kami telah..."  
Belum sempat Bu Siska menyelesaikan 
kalimatnya, tiba-tiba soebandrio   sudah memotong. 
"Sudahlah Bu, lupakan saja peristiwa itu! Sebenarnya 
saya sudah memaafkannya sejak lama. Kalau pun 
ada kesalahan lain, Bapak dan Ibu sudah saya 
maafkan," kata soebandrio   terus terang.  
Bu Siska dan Pak untung  tampak saling 
berpandangan. Kemudian Pak untung  kembali bicara, 
"Pak soebandrio  , hati anda sangat mulia. Saya benar-
benar tidak menduga kalau Bapak akan berbesar hati 
mau memaafkan kami. Kami sungguh menyesal 
karena telah berlaku tidak layak terhadap Bapak, dan 
kami sangat berterima kasih karena Bapak mau 
memaafkan kami." 
"Betul, Pak soebandrio  . Kami sangat berterima kasih 
atas kemuliaan hati Bapak yang mau memaafkan 
kami," timpal Bu Siska.  
soebandrio   tidak berkata-kata. Dia memandang 
wajah Pak untung  dan sekretarisnya silih berganti. 
"Sudahlah...! Bukankah sudah sepantasnya, kita 
sesama manusia untuk saling memaafkan," katanya 
sungguh-sungguh, "O ya, kalau Bapak sudah tidak 
ada keperluan lagi, sebaiknya saya permisi dahulu . 
Sebab, masih banyak pekerjaan yang harus saya 
selesaikan," sambungnya kemudian.  
"Kalau begitu, silakan Pak! Dan saya mohon maaf 
karena sudah menyita waktu Bapak," kata Pak untung . 
soebandrio   tersenyum, kemudian dia segera 
melangkah untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. 
Dalam hati, soebandrio   masih merasa bingung. Dia tidak 
mengerti apa sebenarnya yang sudah diperbuat oleh 
Pak untung  dan Bu Siska terhadapnya. Jikalau Bu Siska 
pernah mencaci-maki dirinya, hal itu dianggap hal 
yang wajar bagi seorang pegawai rendahan seperti 
dia. Namun permintaan maaf Pak untung  dan Bu Siska 
yang dinilainya agak berlebihan sempat membuatnya 
sedikit penasaran. Pada akhirnya, sosok istrinya 
datang dan menjelaskan semua hal yang 
membuatnya penasaran, hingga akhirnya dia pun bisa 
memaklumi keduanya. 
 Esok siangnya udara terasa panas sekali, teriknya 
sinar mentari terasa begitu menyengat kulit. Di teras 
sebuah rumah, seorang gadis berseragam abu-abu 
tampak sedang membuka pintu depan dengan agak 
tergesa-gesa. Dialah martini  yang baru saja pulang 
sekolah, saat itu dia terlihat begitu lelah.  
sekarang  martini  sudah melangkah masuk dan sedang 
meletakkan tasnya di atas meja, kemudian dia juga 
meletakkan kantong plastik hitam berisi nasi bungkus 
yang baru dibelinya. Dengan santai dia duduk di sofa, 
kemudian melepaskan sepatu dan kaos kakinya. 
Suasana di rumah itu tampak begitu hening, sehening 
suasana makam di malam hari. Pada saat seperti 
itulah segala bayang-bayang masa lalu selalu 
menghantuinya, menteror dengan segala kenangan 
manis yang semakin membuat hatinya kian tersayat-
sayat.  
"Tidak! Aku tidak boleh memikirkan hal itu terus. 
Sebab, semakin aku mengingatnya, semakin pedih 
hati ini. Biar bagaimanapun, aku harus bisa 
melupakannya," kata martini  dalam hati sambil  bangkit 
dari tempat duduk dan segera melangkah ke dapur. Di 
tangannya terlihat kantong plastik hitam yang 
diambilnya dari atas meja. 
Rupanya martini  akan menyiapkan makan siangnya, 
sekaligus mengambil minum untuk melegakan 
kerongkongannya yang begitu kering. Belum sempat 
gadis itu tiba di dapur, tiba-tiba dia menghentikan 
langkahnya. Saat itu, matanya memandang ke arah 
dapur yang tampak begitu sepi. Sungguh suasana 
saat itu telah membuatnya sedikit takut. Lalu dia pun 
teringat dengan peristiwa waktu itu, dimana perabotan 
yang berada ruang dapurnya bergerak sendiri, 
kemudian disusul dengan pecahnya piring dan gelas 
yang hancur berantakan. martini  tampak menarik nafas 
panjang untuk menenangkan diri, kemudian berusaha 
untuk mengendalikan semua rasa takut yang telah 
merasuki pikirannya. "Tidak! Aku tidak boleh takut, ini 
kan rumahku sendiri," ungkapnya membemartini kan diri.  
Keinginan untuk melepas dahaga semakin 
membangkitkan kebemartini annya, kemudian dengan 
mantap dia segera melangkah kembali. martini  terus 
melangkah, sedangkan jantungnya mulai berdegup 
kencang. Tiba-tiba dia teringat kembali dengan 
kejadian malam itu. Bersamaan dengan itu, lagi-lagi 
martini  menghentikan langkahnya. 
sekarang   gadis itu tampak berdiri di depan tirai yang 
menjadi pemisah ruang dapur. Entah kenapa, tiba-tiba  
dia merasakan suasana di rumah itu terasa kian 
mencekam, bahkan jantungnya pun semakin berdebar 
kencang. Namun begitu, martini  berusaha 
membemartini kan diri. Dengan perlahan dia mulai 
menyibak tirai itu. Begitu tirai terbuka, tiba-tiba 
sesosok tubuh hitam tampak melompat dari atas 
sebuah lemari kecil. Melihat itu, sesaat  martini  terkejut 
dan berteriak sejadi-jadinya.  
Mendadak teriakan gadis itu terhenti, bersamaan 
dengan seekor kucing yang dilihatnya sedang 
mengeong-ngeong di dekat kakinya. Kucing itu terus 
mengeong-ngeong, kemudian berputar di kaki martini  
sambil mengeluskan tubuhnya.  
"Aduh, kau mengagetkanku saja," kata martini  
sambil  menggendong kucing itu dan membelainya 
dengan penuh kasih sayang. "Hmm... ini kucing siapa 
ya?" tanyanya dalam hati. "Pus, kau lapar ya? Kasihan 
sekali, rupanya tuanmu tidak memberimu makan ya?"  
Lantas dengan santai martini  membuka nasi 
bungkusnya, kemudian mengambil kepala ikan dan 
memberikan kepada si kucing.  6
martini  kembali membelai kucing itu, saat itu hatinya 
terasa betul-betul damai. Sejenak dia memperhatikan 
si kucing yang tampak begitu rakus melahap kepala 
ikan yang cukup besar. Sesekali dia menggeram, 
takut jika makanannya diambil oleh martini . Saat itu martini  
cuma tersenyum, menyaksikan prilaku hewan yang 
tampaknya tidak tahu berterima kasih.  
sekarang  martini  sedang menuang air bening ke dalam 
gelas yang baru saja diambilnya, kemudian 
meneguknya dengan segera. Sesaat  rasa dingin 
terasa melewati kerongkongannya, bersamaan 
dengan itu rasa dahaganya pun sirna dengan 
sendirinya. sesudah  itu dia segera menyiapkan makan 
siangnya. Pada saat yang sama, sosok mendiang 
ibunya tampak sedang memperhatikan. Saat itu dia 
ingin sekali menampakkan diri di hadapan martini ,
namun entah kenapa dia tak kuasa melakukannya.
martini  yang baru saja selesai makan segera menuju 
ke kamarnya, pada saat itu sosok mendiang ibunya 
sudah melesat pergi. sekarang  martini  sedang memasuki 
kamarnya. Betapa terkejutnya dia saat  mengetahui 
tempat tidurnya yang tadi pagi tidak sempat dia 
dirapikan sekarang  sudah tertata rapi. Bukan cuma itu, 
buku-bukunya yang tidak sempat dirapikan juga telah 
tertata rapi. Saat itu martini  benar-benar sudah dibuat 
bingung, "Hmm... siapa yang telah melakukan semua 
ini?" tanya martini  dalam hati. "Tidak mungkin Ayah yang 
melakukannya? Tadi pagi kan aku bangun kesiangan, 
dan saat  aku sedang sarapan beliau justru sudah 
berangkat lebih dahulu . Hmm... apa mungkin Ayah 
kembali lagi sesudah  aku pergi, beliau kembali karena 
melupakan sesuatu. Ah, sepertinya itu juga tidak 
mungkin. Selama ini justru akulah yang selalu 
merapikan tempat tidurnya. Aneh… sebenarnya siapa 
yang telah melakukan semua ini?"  
Akhirnya martini  memutuskan untuk tidak 
mempedulikan semua itu, bahkan dia berusaha 
berprasangka baik kalau ayahnyalah yang telah 
melakukan semua itu. sekarang  martini  sedang melepas 
pakaian sekolahnya, kemudian menggantinya dengan 
pakaian santai yang diambilnya dari dalam lemari. 
sesudah  itu, dia segera melangkah ke kamar ayahnya. 
Setibanya di dalam kamar, lagi-lagi martini  terkejut. 
Hal serupa yang terjadi di kamarnya juga terlihat di 
ruangan itu, semuanya sudah benar-benar rapi. 
Padahal, selama ini dialah yang biasanya merapikan 
tempat itu sepulang sekolah.  
Karena semua sudah benar-benar rapi, akhirnya 
martini  kembali ke kamarnya untuk beristirahat. sekarang  
gadis itu sudah merebahkan diri di atas tempat tidur 
dan sedang memejamkan kedua matanya. Karena 
merasa lelah, akhirnya gadis itu tertidur pulas.  
saat  terjaga, martini  tampak terkejut. Dilihatnya 
sang Ayah sudah berada di sisi tempat tidur dan 
sedang memandangnya. "Sayang… Ayah ingin 
menyampaikan sesuatu tentang latif ," kata soebandrio   
sambil terus memandang wajah putrinya. 
"Apa itu, Ayah?" tanya martini  penasaran. 
"Sesuatu kebenaran tentang latif , Sayang…" 
jawab soebandrio  . "O ya, apakah selama ini kau masih 
mengharapkan dia?" tanyanya kemudian. 
"Tentu saja, Ayah. martini  kan sangat mencintainya," 
jawab martini  terus terang. 
"Sebaiknya kau lupakan dia, Sayang…!" pinta 
soebandrio  .  
"Kenapa Ayah menghendaki demikian?" tanya 
martini  lagi dengan alis tampak merapat. 
"Bu-bukan apa-apa, Sayang… sebenarnya selama 
ini latif  cuma mempermainkanmu. Dia sama sekali 
tidak mencintaimu."  
Mendengar itu, martini  langsung duduk di atas 
tempat tidurnya. "Bohong! Ayah bohong! Kenapa Ayah 
tega berbuat begitu?" tanya martini  sambil  menatap 
sang Ayah dengan mata yang berkaca-kaca.  
soebandrio   tak kuasa memandang wajah putrinya, 
dia tampak memalingkan wajahnya ke arah pintu. 
"Ayah tidak berbohong, Sayang... terus terang, Ayah 
tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya padamu," 
kata soebandrio   menyangkal. 
"Kenapa, Yah? Kenapa waktu itu Ayah mengusir 
latif ? Sebenarnya apa salah latif  sehingga Ayah tidak 
menyetujui hubungan kami? Jawab, Ayah. Jawab!" 
desak martini  lirih. 
"Kau salah paham, Sayang... semua itu karena..." 
soebandrio   tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak 
bingung dan tidak tahu harus berkata apa untuk 
menjelaskan kejadian waktu itu. kemudian dia kembali 
berkata, "Nak, sebaiknya sekarang kau mandi, lalu 
sesudah  itu kita makan sama-sama!" saran soebandrio   
sambil  membelai kepala martini  dan mengecupnya 
dengan penuh kasih sayang. sesudah  itu dia tampak 
melangkah ke kamarnya sendiri.  
sekarang  soebandrio   sudah berada di dalam kamar dan 
sedang mengganti pakaiannya. saat  baru saja 
selesai, tiba-tiba "Bagaimana, Bran?" terdengar suara 
orang yang bertanya kepadanya.   
"Ya-martini …!" seru soebandrio   kaget saat  melihat 
sosok martini  yang sudah berdiri di sampingnya. 
"Bagaimana, Bran? Apa kau sudah 
menceritakannya?"  tanya sosok martini  lagi.  
"Belum sepenuhnya, Sayang... saat itu martini  sama 
sekali tidak mempercayaiku. Aku sendiri bingung, 
bagaimana caranya agar dia mau percaya," jawab 
soebandrio  . "O ya, bagaimana kalau kita cari orang yang 
bisa menjelaskan siapa latif  sebenarnya!" sarannya 
kemudian. 
"Baiklah kalau begitu, aku tahu siapa orang yang 
bisa menyampaikannya," jelas sosok martini . 
"Siapa?" tanya soebandrio  . 
"latif  sendiri," kata sosok martini  sambil  
menghilang dari pandangan.   
soebandrio   agak kecewa dengan kepergian sosok 
martini  yang begitu tiba-tiba, padahal dia masih ingin 
berbicara banyak dengan mendiang istrinya itu. 
Lantas dengan perasaan yang masih kecewa, 
soebandrio   segera pergi ke meja makan untuk 
menikmati makan malam bersama putrinya. 
 Be sok paginya mentari bercahaya dengan 
cerahnya, sinarnya yang hangat tampak 
membias menerangi seantero kota. Sementara itu di 
sepanjang jalan raya tampak lalu-lalang kendaraan 
yang merambat pelan, terjebak dalam kemacetan 
yang memang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota. Pada 
saat yang sama, di sebuah perempatan lampu merah, 
para pedagang asongan tampak ramai menjajakan 
dagangannya. Beberapa orang polantas tampak sibuk 
mengatur lalu lintas di tempat itu.  
Lampu lalu lintas silih berganti berubah warna, 
namun lampu itu tidak berguna sama sekali karena 
petugas polantaslah yang menggantikannya. Petugas 
polantas itu lebih mengutamakan antrian kendaraan 
dari jalur yang lebih padat untuk jalan lebih dahulu , sedangkan dari jalur yang tampak sepi dibiarkan 
menunggu agak lama.  
Yuli yang sedang duduk di depan kemudi tampak 
kesal, sebab gilirannya melaju terasa begitu lama. 
Suara bising terus terdengar dari mesin-mesin 
kendaraan yang meraung-raung menunggu giliran, 

hal. 3







sekaligus membuang energinya dengan percuma.  
Yuli masih terus menunggu. Sesaat dia 
memperhatikan seorang gadis kecil yang berdiri di 
samping mobilnya, pakaian tampak kumal dan begitu 
lusuh. Rambutnya pun tampak kotor dan begitu kusut, 
menutupi sebagian wajahnya yang masih tampak 
polos.  
sekarang  gadis kecil itu tampak membunyikan 
kecrekannya yang terbuat dari tutup minuman, 
kemudian disusul dengan suaranya yang terdengar 
sumbang. Melihat itu, Yuli merasa iba, lalu dengan 
segera dia membuka kaca mobil dan menyodorkan 
selembar uang lima ribuan. Sesaat  nyanyian gadis 
kecil itu terhenti, bersamaan dengan jemari mungil 
yang bimbang meraih uang itu. Si Gadis kecil tampak 
ragu, baru kali ini dia disodorkan uang sebesar itu. 
 
"Maaf Kak! Saya tidak punya uang kembaliannya," 
katanya polos. 
"Terimalah! Semuanya untukmu," kata Yuli 
meyakinkan.  
Gadis kecil itu tampak begitu senang, kemudian 
dia segera mengambil uang itu dan memasukkannya 
ke dalam saku roknya yang lusuh. "Terima kasih, 
Kak!" katanya pelan. 
sekarang  gadis kecil itu tampak tersenyum kepada Yuli 
yang dianggapnya sebagai bidadari cantik yang baik 
hati. Yuli pun membalas senyuman itu, kedua 
matanya tak berpaling—terus memperhatikan si gadis 
kecil yang sekarang  sudah melangkah ke mobil yang ada di 
belakangnya. Dalam hati Yuli membatin, "Aku tidak 
habis pikir, kenapa anak sekecil itu bergelut dengan 
kerasnya Ibu Kota, seharusnya kan gadis sekecil itu 
sedang menikmati masa kecilnya—bermain dan 
belajar." 
sekarang  Yuli kembali memperhatikan petugas polantas 
yang masih juga belum mengizinkannya melaju. 
saat  menengok ke samping, dilihatnya seorang 
 
pedagang asongan tampak sedang berdiri menjajakan 
dagangannya, "Permen, Non?" tawarnya sambil 
menyodorkan sebungkus permen ukuran sedang. 
Yuli segera mengambil permen itu dan 
membayarnya dengan uang sepuluh ribuan. saat  si 
pedagang sedang menyiapkan uang kembaliannya, 
tiba-tiba Pak Polantas sudah mengizinkannya untuk 
melaju. Melihat itu, Yuli segera menurunkan rem 
tangan dan mulai melaju bersama mobilnya. 
"Tunggu, Non! Ini kembaliannya," tahan si 
pedagang tiba-tiba. 
"Ambil saja untukmu!" teriak Yuli sambil  
mempercepat laju mobilnya.  
Yuli terus melaju. Hari ini dia berniat mengunjungi 
kakek dan neneknya yang berada di luar kota, 
tepatnya di daerah Sukabumi. sesudah  menempuh 
perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya dia tiba 
di pekarangan rumah neneknya yang tampak begitu 
asri.  
Sejenak Yuli memperhatikan keadaan di sekitar 
tempat itu, dipandangnya rumah mungil yang sudah 
 
berumur puluhan tahun. Walau begitu, rumah itu tetap 
terawat dengan baik. Kemudian dilihatnya sang nenek 
yang lagi sibuk merajut di teras depan rumahnya. 
Lantas dengan segera Yuli keluar mobil dan 
menghampiri sang Nenek.  
Sang nenek yang mengetahui kedatangannya 
tampak begitu senang, dia segera berdiri dan 
memeluknya dengan penuh kerinduan. "Aduh, cucu 
nenek semakin cantik saja," pujinya sambil  mengecup 
kening Yuli dengan penuh kasih sayang. "Ayo... 
masuk, Cu!" ajaknya kemudian. 
Yuli menuruti ajakan neneknya, dia melangkah 
masuk mengikuti sang Nenek yang masuk lebih dahulu . 
sekarang  Yuli  sudah berada di ruang tamu sambil menatap 
ke sekeliling ruangan dengan penuh rasa kagum, 
matanya hampir tak berkedip memperhatikan setiap 
bagian yang menjadi ornamen di rumah itu. Walaupun 
sudah kelihatan tua, namun masih terlihat menarik, 
semuanya begitu unik dan antik.  
"Semuanya tidak berubah ya, Nek. Semuanya 
Masih seperti dahulu ," kata Yuli mengomentari. 
 
"Iya, Cu. Kakek dan nenek memang tidak mau 
merubahnya, sebab semua ini merupakan sejarah 
yang penuh dengan kenangan yang tiada ternilai 
harganya," jelas sang Nenek. "O ya, Cu. Silakan 
duduk! Nenek mau membuatkan minum dahulu ," 
lanjutnya kemudian. 
Yuli segera duduk, sedangkan sang Nenek 
tampak melangkah ke dapur hendak membuatkan 
secangkir teh. Tak lama kemudian, Yuli beranjak 
menyusul neneknya ke dapur. sekarang  gadis itu sedang 
berada di samping neneknya yang tampak sibuk 
membuatkan minum, "Kakek ke mana, Nek?" 
tanyanya kepada sang Nenek. 
"Kakekmu lagi pergi. Nenek juga tidak tahu ke 
mana perginya," jawab sang Nenek sambil terus 
mengaduk gula yang baru dimasukkannya. "O ya, Cu. 
Ngomong-ngomong... kenapa kau tidak kasih kabar 
dahulu  kalau mau datang kemari?" tanya sang Nenek 
kemudian.  
 
"Yuli sengaja, Nek. Soalnya, Yuli mau memberi 
kejutan. O ya, Nek…" Yuli tampak berpikir, kemudian 
dia mulai melangkah meninggalkan ruangan itu.  
"Kau mau ke mana, Cu?" tanya neneknya tiba-
tiba.  
"Sebentar, Nek…! Aku akan kembali," jawab Yuli 
sambil  mempercepat langkah kakinya. 
Sang Nenek tampak mengerutkan keningnya, 
kemudian dia segera melangkah meninggalkan dapur. 
Di tangannya terlihat secangkir teh yang dialasi piring 
kecil bermotifkan bunga. Tak lama kemudian, sang 
Nenek sudah tiba di ruangan tamu dan langsung 
meletakkan teh yang dibawanya ke atas meja. 
Sementara itu, Yuli sedang mengambil dua buah 
bungkusan dari dalam mobilnya, kemudian dengan 
segera dia membawanya masuk. 
"Ini, Nek…! Yuli bawakan buat Nenek, dan yang 
ini untuk Kakek," kata Yuli sambil  menyerahkan 
kedua bungkusan yang dibawanya.  
Sang Nenek tampak mengambil bungkusan itu 
dari tangan Yuli. "Apa ini, Cu?" tanya sang Nenek 
 
sambil mengamati kedua bungkusan yang ada di 
tangannya. 
"Itu oleh-oleh dari Ibu Kota, Nek. Yuli yakin, Nenek 
dan Kakek pasti suka," jawab Yuli sambil  duduk di 
kursi yang ada di ruangan itu.  
Sang Nenek tampak tersenyum, kemudian ikut 
duduk sambil  meletakkan bungkusan yang ada di 
tangannya. sesudah  itu dia mengambil cangkir 
minuman dan menyodorkannya kepada Yuli, "Ini 
diminum tehnya, nanti keburu dingin!" kata sang 
Nenek ramah.  
Yuli segera menyambut minuman itu dan 
meminumnya sedikit. "Enak sekali teh ini, Nek!" puji 
Yuli sambil  kembali menghirup teh itu sekali lagi.  
"Itu teh spesial, Cu. Nenek sendiri yang 
meraciknya. Di dalamnya bukan hanya pucuk teh, tapi 
juga ada bunga-bungaan dan beberapa daun obat-
obatan," jelas sang Nenek. 
"Pantas rasa teh ini lain sekali, dan yang pasti 
betul-betul enak, Nek," puji Yuli sekali lagi sambil  
meletakkan cangkir tehnya. 
 
Sang Nenek tampak tersenyum mengetahui 
cucunya suka dengan teh racikannya. Sementara itu 
tak jauh dari rumah, sang Kakek terlihat sedang 
mengendarai sepeda tuanya—menyusuri jalan tanah 
yang menuju ke rumah. Walaupun sudah tua, sang 
Kakek mampu mengayuhnya dengan begitu cekatan. 
Tak lama kemudian, dia sampai di tempat tujuan. 
sekarang  sang Kakek sedang memperhatikan sedan 
mewah yang diparkir di pekarangannya, "Wah, itu 
pasti mobil menantuku. Dia pasti datang bersama 
anak dan cucuku," duganya dengan raut wajah yang 
begitu gembira.  
Lalu tanpa buang waktu, sang Kakek segera 
memarkir sepedanya dan melangkah masuk. 
"Assalamu’alaikum…!" katanya sambil  mengamati  
orang-orang yang duduk di ruang tamu. 
"Waaahhh… Yuliii...!" seru sang Kakek sambil  
menghampiri cucunya tersayang.  
Bersamaan dengan itu, Yuli segera berdiri dan 
langsung memeluknya erat. sesudah  itu sang Kekek 
tampak memandangnya dengan penuh suka cita, 
 
"Waduh-waduuuh... cucu kakek sudah jadi gadis 
dewasa rupanya, tambah cantik lagi… you are so 
beautiful and montok, you look pretty with this baju to," 
puji sang Kakek sambil terus memandangi wajah 
cucunya.  
Yuli hanya tersipu mendengarnya, apalagi sang 
Kakek memujinya dengan bahasa Inggris yang 
dicampur aduk. Sang Nenek cuma tersenyum saja 
mendengar Kakek berbicara begitu, dan tak lama 
kemudian Yuli sudah duduk kembali di kursinya. 
Bersamaan dengan itu, sang Kakek ikut duduk di 
sebelahnya.  
Sementara itu, sang Nenek justru beranjak dari 
tempat duduknya. "Kalian ngobrol saja dahulu ! Sekarang 
Nenek mau menyiapkan makan siang," katanya 
sambil  melangkah pergi. 
"Masak yang enak ya, Nek!" teriak sang Kakek, 
kemudian dia mulai bicara kepada cucunya tersayang, 
"Kau datang sendiri, Cu?" tanyanya agak kecewa. 
"Iya, Kek," jawab Yuli singkat. 
 
"Kenapa kedua orang tuamu tidak ikut ke mari?" 
tanya sang Kakek lagi. 
"Mereka sibuk, Kek," jawab Yuli singkat. 
"Huh, dari dahulu  mereka selalu begitu—terlalu sibuk 
dengan urusan dunia. Mereka sama sekali tidak 
peduli, kalau selama ini Kakek dan nenek sudah 
sangat merindukan mereka." 
"Kakek benar, Yuli juga kurang setuju dengan 
sikap mereka. Selama ini, Yuli pun kurang 
diperhatikan. Selama ini mereka cuma memanjakan 
Yuli dengan materi, padahal bukan itu saja yang Yuli 
butuhkan. Yuli kan juga butuh perhatian dan kasih 
sayang, Kek." 
"Sudahlah, Cu...! Sebenarnya mereka melakukan 
itu dengan maksud ingin membahagiakanmu, namun 
mereka tidak menyadari kalau hal itu justru 
membuatmu kesepian. Sebagai anak, kau harus terus 
berbakti kepada mereka, walaupun selama ini mereka 
kurang memperhatikanmu. O ya, ngomong-ngomong 
bagaimana kabar mereka?" 
 "Baik, Kek—mereka sehat-sehat saja."  
 
"Baguslah kalau begitu, terus... bagaimana 
dengan keadaan di sana?" tanya sang Kakek yang 
ingin mengetahui perkembangan Jakarta. 
"Yaaa... kehidupannya tambah keras saja, Kek. 
Tidak seperti di sini, semua terasa sejuk dan damai, 
sedangkan di sana... semakin panas, penuh polusi, 
dan kejahatan pun semakin merajalela," jawab Yuli.  
"O ya, masa sih," kata sang Kakek seakan tidak 
percaya. "O ya, Cu. Ngomong-ngomong bagaimana 
dengan kuliahmu?" tanyanya kemudian.  
"Lancar, Kek," jawab Yuli singkat. " O ya, Kek. 
Ngomong-ngomong, Kakek dari mana?" tanyanya 
kemudian. 
"Yes yes yes... Kakek is baru jalan-jalan and 
looking-looking," jawab sang Kakek yang lagi-lagi sok 
berbicara dengan bahasa Inggris. 
"Ah kakek bercanda saja," kata Yuli dengan 
wajah cemberut.  
"Aduh, Cu. Kau jangan ngambek seperti itu dong, 
nanti kau bisa cepat keriput kayak nenekmu. Masa 
 
masih mudah sudah keriput, nanti tidak ada yang mau 
loh." 
"Habis... Kakek kalau ditanya serius selalu 
menjawab asal. Bagaimana Yuli tidak kesal." 
"Iya, Iya... sekarang akan kakek jawab dengan 
serius. Begini, Cu... sebenarnya kakek baru pulang 
dari pasar. Tadinya sih kakek mau beli burung, tapi 
karena harganya terlalu mahal, kakek tidak jadi 
membelinya. Karenanyalah Kakek terpaksa pulang 
dengan tangan hampa," jawab sang Kakek polos.  
"Memangnya Kakek ingin memelihara burung, 
ya?" tanya Yuli. 
"Tidak, kakek cuma mau memelihara monyet." 
"Tuh kan, mulai lagi deh," keluh Yuli. 
"Iya, anak Manis... tentu saja kakekmu ini mau 
memelihara burung. Kan sebelumnya Kakek sudah 
bilang mau beli burung, bukannya mau beli monyet. 
Sebenarnya sih sudah lama Kakek ingin memelihara 
burung. Tapi karena nenekmu pelit, terpaksa kakek  
harus mencari uang sendiri untuk membelinya." 
 
"Jadi, uang yang diberikan oleh ayah selama ini, 
nenek yang pegang?" 
Sang Kakek mengangguk, "Benar, Cu. Kata 
nenekmu, uang itu cuma untuk keperluan sehari-hari. 
Tapi Kakek tahu, bukan hal itu yang membuat 
nenekmu jadi pelit, namun karena beliau tidak mau 
aku memelihara burung. Kakek menduga, beliau takut 
kalau Kakek akan kembali lagi dengan perbuatan 
Kakek yang sudah lampau," 
"Memangnya perbuatan apa itu, Kek?’ tanya Yuli 
penasaran. 
"Begini, Cu... pada masa muda dahulu , kakekmu ini 
adalah seorang yang gemar mencari ilmu kebatinan. 
Sampai pada suatu saat , Kakek mendapat wangsit 
yang mengharuskan memelihara burung tertentu. 
Menurut wangsit, Kakek harus memelihara burung itu 
hingga bersuara merdu, dan sesudah  burung itu 
bersuara merdu, Kakek diharuskan menelan hatinya 
mentah-mentah. Dengan demikian, Kakek akan 
memiliki  suara yang merdu, semerdu suara burung 
itu. Bukan cuma itu saja, Cu. Kakek pun akan 
 
memiliki  lidah yang setajam pedang, maksudnya 
setiap yang berbicara dengan Kakek akan menjadi 
luluh hatinya." 
"Terus... apa yang terjadi kemudian? Kenapa 
Nenek sampai tidak menyukainya?"  
"Itulah, Cu. Karena ilmu tersebut, kakekmu ini 
banyak yang menyukai. Terutama gadis-gadis cantik, 
dan hal itu membuat nenekmu cemburu buta—beliau 
mengancam akan meninggalkan Kakek, seandainya 
Kakek masih memiliki ilmu tersebut. Karena Kakek 
sangat mencintai nenekmu, makanya Kakek lebih 
mengutamakan beliau dari pada ilmu tersebut, dan 
akhirnya Kakek mencari orang pintar yang mampu 
menghilangkan ilmu itu sampai tidak tersisa lagi." 
"Kakek sih, bukannya mempelajari ilmu yang 
bermanfaat untuk kepentingan orang banyak, tapi 
justru memperlajari ilmu yang seperti itu." 
"Iya, Cu. Kakek memang telah menyesali 
perbuatan itu, dan sesudah  mendapat bimbingan dari 
orang pintar yang menolong Kakek itu, akhirnya 
Kakek sadar, dan mulai sejak itu Kakek cuma mencari 
 
ilmu yang berguna untuk kepentingan orang banyak. 
Sekarang Kakek mau memelihara burung cuma untuk 
mengisi waktu luang, sebagai hobi saja, Cu."  
"Hmm... kalau begitu sih tidak apa-apa, Kek. O ya, 
bagaimana kalau sekarang kita ke pasar untuk 
membeli burung yang kakek inginkan itu!" Ajak Yuli 
berniat membelikan burung yang diinginkan kakeknya.  
"Terima kasih, Cu! Saat ini Kakek sudah terlalu 
lelah, sekarang Kakek mau bersantai di rumah," jawab 
sang Kakek menolak.  
"Baiklah, Kek!" kata Yuli sambil  mengeluarkan 
beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam 
dompetnya, kemudian uang itu segera diletakkan di 
genggaman kakeknya. "Ini buat Kakek, dengan uang 
ini Kakek bisa membeli burung yang Kakek inginkan 
itu, dan Kakek bisa membelinya kapan saja Kakek 
mau," jelasnya kemudian.  
"Aduuuh, Cu. Ini kan banyak sekali," kata sang 
Kakek enggan.  
"Terima saja, Kek! Terus terang, Yuli ingin sekali 
Kakek memiliki burung itu, dan Yuli akan merasa 
 
senang kalau Kakek bisa mewujudkan keinginan itu," 
desak Yuli. 
"Baiklah, Kakek akan menerimanya. Terus terang, 
Kakek sangat bahagia dan sangat berterima kasih 
karena kau sudah begitu peduli dengan kakekmu ini," 
kata sang Kakek merasa haru akan perhatian yang 
telah diberikan oleh cucunya.  
Pada saat itu, Yuli tampak tersenyum puas. Dia 
benar-benar senang karena bisa membahagiakan 
kakeknya yang sudah begitu banyak berjasa. Sejenak 
Yuli memperhatikan kakeknya dengan penuh cinta, 
kemudian di benaknya terbayang akan masa lalu yang 
begitu penuh dengan asam garam kehidupan. Masa 
itu adalah masa-masa kedua orang tua Yuli sedang 
mengalami kesulitan, masa-masa dimana mereka 
masih hidup miskin dan serba kekurangan. Pada saat 
itu, kedua orang tua Yuli masih menumpang di rumah 
orang tua mereka, yaitu kakek dan neneknya Yuli. 
Waktu itu, usia Yuli masih lima tahun jalan.  
Pada masa susah itu, sang Ayah berusaha keras 
dengan berjualan hasil kebun di pasar tradisional, 
 
namun hasil yang didapatnya sama sekali tidak 
mencukupi. Hingga pada suatu saat , disaat Yuli 
berusia 8 tahun. Sang Ayah membemartini kan diri untuk 
mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, sedangkan sang 
Ibu menggantikan pekerjaan suaminya sebagai 
penjual hasil kebun di pasar tradisional. Selama sang 
Ibu pergi ke pasar, Yuli terpaksa ditinggal di rumah 
bersama kakek dan neneknya. Selama ditinggal, 
kakek dan neneknya-lah yang selalu mengasuh dan 
merawat Yuli dengan penuh kasih sayang. Sang 
Kakek sering sekali mengajaknya pergi berburu ke 
hutan maupun menjala ikan di sungai.  
sekarang  semua itu telah menjadi kenangan Yuli yang 
tak mungkin dilupakan, dan karena kenangan itu pula 
Yuli menjadi lebih peduli kepada orang-orang yang 
hidup serba kekurangan dan membuatnya ingin selalu 
menolong mereka. Sebab, sekarang ini Yuli hidup di 
lingkungan keluarga yang serba berkecukupan. 
Ayahnya adalah seorang pengusaha yang membuka 
bisnis besar-besaran di luar negeri, sedangkan ibunya 
memiliki  sebuah perusahaan kue dengan omset 
 
yang cukup besar. Selama ini mereka berdua 
memang sangat tekun dalam menjalankan usahanya 
masing-masing, dan karena ketekunan yang luar 
biasa itu, mereka berhasil mencapai taraf kehidupan 
yang bisa dibilang sangat mapan—pengusaha sukses 
yang kaya raya. Mereka dapat menyekolahkan Yuli 
dan memenuhi segala kebutuhannya dengan 
berlebihan. Selama ini mereka selalu memanjakan 
Yuli dengan materi yang Yuli sendiri kurang suka, 
sebab Yuli harus menukarnya dengan tidak mendapat 
perhatian dan kasih sayang yang cukup dari kedua 
orang tuanya.  
Tiba-tiba Yuli tersadar, kemudian dia segera 
memeluk kakeknya yang sangat disayangi. "Kek, kita 
ngobrol-ngobrol di luar yuk!" ajaknya kemudian. 
"Iya, Cu. Tapi... Kakek mau menyimpan uang ini 
dahulu ." 
"Iya, Kek. Kalau begitu Yuli tunggu di teras ya," 
kata Yuli sambil  melangkah ke luar, sedangkan sang 
Kakek terlihat melangkah ke kamarnya. 
 
Di teras, Yuli terlihat duduk sendirian. Suasana 
saat itu terasa sepi sekali. sekarang  Yuli beranjak dari 
duduknya, kemudian melangkah ke pekarangan untuk 
melihat-lihat bunga-bunga yang tumbuh di tempat itu. 
Tak lama kemudian Sang kakek sudah keluar, dia 
tampak berdiri di teras sambil memperhatikan 
cucunya.  
"Cu! Kau sedang apa di situ? Ayo lekas kemari!" 
serunya kemudian. 
"Iya, Kek," sahut Yuli sambil  menghampiri sang 
Kakek. 
sekarang  Yuli dan kakeknya sudah duduk di kursi teras, 
kemudian keduanya tampak berbincang-bincang 
dengan akrabnya. Tak lama kemudian, sang Nenek 
datang dan menghampiri mereka. "Kek, Cu! 
Masakannya sudah siap. Ayo kita makan sama-
sama!" ajaknya kemudian. 
Yuli dan kakeknya segera beranjak bangun dan 
melangkah bersama ke meja makan. sesudah  makan, 
Yuli dan neneknya terlihat sibuk berbenah. sesudah  
 
semuanya beres, Yuli segera menemui kakeknya 
yang sedang asyik bersantai di ruang tamu.  
"Kek, Yuli mau menanyakan sesuatu sama 
Kakek," kata Yuli sambil  duduk di samping kakeknya. 
"Apa itu, Cu?" tanya sang Kakek penasaran. 
"Begini, Kek. Waktu itu, Yuli menemukan uang 
logam emas."  
"Uang logam emas?" sang Kakek tampak 
mengerutkan keningnya. 
"Ini, Kek. Uangnya," kata Yuli sambil  
menyerahkan uang itu kepada kakeknya. 
"Di mana kau menemukannya?" tanya sang 
Kakek sambil  mulai mengamati uang itu. 
"Di pelataran parkir, Kek," jawab Yuli. 
Sang kakek masih mengamati uang logam itu 
dengan seksama, kemudian membaca tulisan kuno 
yang tertera di atasnya dengan begitu serius, "Lho ini 
kan uang peninggalan zaman Kerajaan Majapahit," 
jelas kakeknya. 
 
Tiba-tiba sang kakek merasakan getaran aneh 
dari koin tersebut, dia merasakan energi yang begitu 
besar mengalir melalui telapak tangannya. 
"Kenapa, Kek?" tanya Yuli heran melihat kakeknya 
tiba-tiba terlihat begitu tegang.  
"Tidak, Cu. Tidak apa-apa," jawab sang Kakek 
tidak berterus terang.  
"Tapi, kenapa tadi Kakek begitu tegang?" tanya 
Yuli lagi. 
"Sudahlah…! Sebaiknya uang logam ini 
kausimpan baik-baik, bawalah ke mana saja 
kaupergi!" pesan sang Kakek sambil  menyerahkan 
koin itu kepada Yuli.    
Yuli menuruti pesan kakeknya, dia segera 
menyimpan koin itu baik-baik. sesudah  itu dia tampak 
bertanya-tanya dalam hati, "Hmm... apa ya 
keistimewaan lain koin emas itu? Menurutku 
keistimewaannya cuma pada kemilau dan bentuknya 
saja. Selebihnya, tidak ada lagi yang istimewa. Tapi... 
kenapa beliau berpesan demikian? Sepertinya koin itu 
memang benar-benar istimewa. Tadi beliau tampak 
 
begitu tegang saat  memegangnya, sepertinya 
memang ada sesuatu yang beliau rasakan, namun 
sayangnya beliau tidak mau mengatakan hal itu." 
"Ehem...!" Tiba-tiba sang Kakek membuyarkan 
lamunannya. "O ya, Cu. Sekarang Kakek mau 
istirahat. Kalau kau mau istirahat, kau bisa tidur di 
kamar sebelah. Nenekmu pasti sudah 
menyiapkannya." 
"Iya, Kek. Selamat beristirahat!" kata Yuli sambil  
tersenyum 
Sang Kakek pun tersenyum, kemudian dia mulai 
melangkah menuju ke kamarnya. Sementara itu, Yuli 
masih duduk di ruangan itu, dia masih saja 
memikirkan perihal uang logam emas yang diduganya 
memiliki  keistimewaan lebih. saat  sedang serius 
memikirkan uang itu, tiba-tiba nada HP yang 
menandakan telepon dari latif  berbunyi. 
"Hallo, latif !" sapa Yuli. 
"Hallo, Yul! Apa kabar?" tanya latif . 
"Aku baik-baik saja, latif " jawab Yuli. "Kau lagi di 
mana?" tanyanya kemudian. 
"Aku lagi di kantor ayahku," jawab latif . "Nanti 
malam kau ke rumahku ya!" lanjutnya kemudian. 
"Memangnya ada apa, latif ?" tanya Yuli. 
"Pokoknya ada deh…" jawab latif  merahasiakan. 
"Aduh, latif ... maaf ya! Sepertinya aku tidak bisa." 
"Memangnya kau sudah tidak peduli dengan aku 
lagi ya?" 
"Bukan begitu, latif ! Malam ini aku mau menginap 
di rumah kakek dan nenekku." 
"Iya iya... kakekmu memang lebih penting. 
Baiklah... kalau kau memang tidak bisa datang, aku 
pun tidak akan memaksa," kata latif  dengan nada 
kecewa. 
"latif .. kau marah ya?" 
"Tidak, aku bisa mengerti kok." 
"Baiklah, latif … Nanti malam aku akan ke 
rumahmu," janji Yuli. 
"Sungguh! Kalau begitu, aku tunggu ya. Sampai 
jumpa nanti malam, bye…" kata latif  dengan nada 
yang terdengar begitu gembira. 
"Bye…" balas Yuli sambil  memutuskan 
sambungan dan menyimpan HP-nya kembali. sekarang  dia 
sudah melangkah ke kamar yang memang sudah 
dipersiapkan untuknya, kemudian dia segera 
beristirahat di tempat itu 
Sore harinya Yuli sudah terbangun. sesudah  
mencuci muka, dia langsung menemui kakeknya yang 
sedang asyik bersantai di ruang tamu. sekarang  dia sudah 
duduk di sebelah kakeknya dan langsung mengajak 
beliau berbincang-bincang. Tak lama kemudian, 
neneknya datang dengan membawa makanan kecil 
untuk mereka.  
sekarang  ketiganya tampak asyik bersenda-gurau 
sambil menikmati makanan kecil yang telah dibawa 
oleh sang Nenek. Mereka terus bersenda-gurau 
hingga akhirnya Yuli berpamitan untuk pulang ke 
Jakarta. 
"Kok tidak menginap saja, Cu?" tanya neneknya. 
"Sebenarnya aku ingin menginap, Nek. Tapi 
karena ada keperluan mendadak, aku harus segera 
pulang," jelas Yuli menyesal. 
"Ya sudah… hati-hati di jalan ya, Cu!" pesan 
kakeknya.  
"Iya, Cu… jangan ngebut!" timpal neneknya. 
Dengan perasaan berat, akhirnya Yuli berangkat 
meninggalkan keduanya. Dia tampak mengemudikan 
mobilnya keluar dari pekarangan dengan sangat 
perlahan. Sejenak dia melirik ke kaca spion untuk 
melihat kakek dan neneknya yang masih saja 
melambaikan tangan. Tak lama kemudian, dia sudah 
berada di tengah jalan dan langsung memacu 
mobilnya menuju ke Jakarta. Sementara itu di tempat 
lain, seorang kakek terlihat sedang memanjatkan doa 
di depan sebuah makam, di sisinya tampak sebuah 
botol mawar yang sudah kosong.  
Dialah sang Kakek yang waktu itu berpapasan 
dengan soebandrio   dan martini  saat  sedang berziarah ke 
makam martini . sekarang  kakek itu tampak menadahkan 
tangannya untuk berdoa. Dia tampak berdoa dengan 
begitu khusuk, kedua matanya tampak berkaca-kaca. 
Selesai sang Kakek berdoa, tiba-tiba angin sepoi-
sepoi tampak bertiup di tempat itu. Pada saat yang 
sama, sebuah bunga kamboja bermahkota lima tiba-
tiba jatuh dihadapannya. Sang kakek segera 
memungut bunga itu dan menciumnya dengan penuh 
perasaan, kemudian segera menyimpannya di saku 
baju.  
sekarang  sang Kakek tampak melangkah menuju ke 
makam orang tua martini  yang letaknya tidak begitu 
jauh. Di tempat itu sang Kakek juga berdoa, dia 
mendoakan kedua orang tua martini  agar senantiasa 
diberikan kelapangan kubur. Selama ini dia memang 
sering berdoa untuk mereka. Sebab semasa hidup, 
martini  selalu berbuat baik kepada kakek itu, bahkan 
dia sudah menganggapnya seperti orang tuanya 
sendiri. Setiap kali berkunjung ke makam orang 
tuanya, martini  selalu melihat makam itu dalam 
keadaan bersih dan rapi. Itu semua karena sang 
Kakek yang selalu merawat makam orang tua martini  
 
dengan baik. Karenanyalah, setiap hendak pulang 
martini  selalu memberikan uang sekedarnya kepada 
kakek itu sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, dan 
hal itu terus berlanjut, sampai akhirnya mereka akrab 
seperti anak dan ayah. 
Malam harinya, seorang pria tampak sibuk 
mempersiapkan sebuah pesta kecil di rumahnya. 
Dialah latif  yang akan memberikan pesta kejutan buat 
Yuli, sebuah pesta kecil untuk merayakan 
keberhasilan Yuli yang telah terpilih sebagai pemain 
piano terbaik tingkat Nasional. latif  berniat 
merayakannya semata-mata hanya untuk menarik 
simpati Yuli. Selama ini latif  memang menyukai Yuli, 
dan Yuli sendiri diam-diam sudah mencintai pemuda 
itu. Perhatian latif  selama ini telah membuatnya 
begitu tersanjung, bahkan dia merasa latif lah orang 
yang pantas menjadi kekasihnya.  
 
latif  tampak masih mengatur persiapan pesta, sekarang  
dia sedang memberikan sentuhan terakhirnya. 
Serangkai mawar yang begitu manis tampak 
diletakkannya di atas meja, kemudian disusul dengan 
sebotol sampanye yang juga diletakkan di atas meja. 
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba istri latif  yang 
bernama Maemi datang ke rumah itu. Dia sengaja 
datang untuk mengabarkan sebuah kabar gembira 
kepada suaminya, sekaligus ingin menghadiri resepsi 
pernikahan temannya yang ada di Jakarta.  
"Wah! Mau ada pesta rupanya," kata Maemi 
kepada suaminya yang saat itu tidak menyadari 
kedatangannya. 
"Eh... kau, Sayang… Kok tidak bilang-bilang kalau 
mau datang?" tanya latif  yang sedikit terkejut akan 
kehadiran istrinya yang begitu tiba-tiba. 
"Aku mau memberi kejutan untukmu, Sayang…" 
jawab Maemi. 
"Kejutan... apa itu?" tanya latif  penasaran. 
"Ini…" kata Maemi sambil  menyodorkan selembar 
surat. 
 
latif  segera mengambil surat itu dan mulai 
membacanya, "Apa! Kau hamil…" katanya terkejut. 
"Benar, Sayang… Kau senang kan mendengar 
kabar ini?" tanya Maemi sambil tersenyum dan 
memegang tangan suaminya dengan lembut. 
"Tidak!!! Aku belum siap untuk menjadi seorang 
ayah. Kenapa kau tidak memberitahuku kalau ingin 
memiliki  bayi? Pantas akhir-akhir ini kau sering 
pergi ke dokter, rupanya ini… Huh! Menyebalkan," 
kata latif  dengan nada marah.   
"Maaf, Sayang...! Selama ini aku memang sudah 
mendambakan seorang bayi. Begitu ada dokter yang 
sanggup menyuburkan kandunganku, aku pun tidak 
mau menyia-nyikannya. Semula kupikir kau pun akan 
senang, tapi ternyata aku keliru. Kenapa kau tidak 
mau mengerti perasaanku, latif ...? Kenapa?" tanya 
Maemi dengan nada memelas.  
"Pokoknya aku tidak mau punya bayi, titik... dan 
kau harus menggugurkan kandunganmu itu 
secepatnya!"  
 
"Tidak, latif ! Aku tetap akan memelihara bayi di 
kandunganku ini," kata Maemi sambil  menitikkan air 
matanya. 
"Maemi, Dengar!! Kalau kau tetap mau menjadi 
istriku, kau harus mau menggugurkan kandunganmu 
itu!"  
"Kenapa kau berkata semudah itu, latif . Kenapa??" 
tanya Maemi dengan nada yang meninggi. "Apakah 
kau memang sudah memiliki  yang lain?" tanyanya 
lagi. 
"Apa maksudmu?" tanya latif . 
"Kau memiliki  wanita simpanan kan? Lihat ini!" 
kata Maemi sambil  menunjukkan rangkaian buka 
mawar dan mengambilnya. "Kenapa kau membuat 
ruangan ini begitu romantis? Kau hendak 
mengundang seorang wanita kan?" kata Maemi lagi 
sambil  mencampakkan rangkaian mawar yang ada di 
genggamannya, kemudian melangkah meninggalkan 
ruangan itu. 
 
"Maemi tungguuu…" latif  berusaha mencegah, 
namun Maemi tidak peduli, dia terus melangkah 
menjauhi suaminya.  
latif  yang tidak bisa mencegah kepergian istrinya 
hanya bisa mematung sambil menatap kepergiannya, 
kemudian dia terduduk di sofa dengan segala 
kegundahan di hatinya. Sementara itu, Maemi yang 
baru saja keluar dari pintu depan tiba-tiba 
menghentikan langkahnya, sedangkan kedua 
matanya tampak memperhatikan Yuli yang sedang 
melangkah ke arahnya. "Hmm ini rupanya wanita 
itu…" duga Maemi dalam hati. 
"Selamat malam," sapa Yuli kepada Maemi. 
"Malam," balas Maemi ketus. "Heh, dengar ya 
wanita jalang! Kau tidak akan bisa hidup bahagia 
bersama latif , suatu saat kau pun akan bernasib 
sama seperti aku—dicampakkannya seperti sampah. 
Kalau kau mau tahu, aku ini istrinya latif  yang sengaja 
datang dari Tokyo untuk memberitahukan tentang bayi 
di kandunganku ini. Dan demi kau dia malah 
menyuruhku untuk menggugurkannya." 
 
"Maaf! Sebenarnya apa maksud semua 
perkataanmu itu?" tanya Yuli bingung. 
"Heh! Kau masih juga belum mengerti. Bukankah 
kau wanita simpanan latif ? Sudahlah… kau tidak 
perlu mungkir! Kau memang lebih cantik dari aku, 
pantas kalau dia lebih menginginkanmu ketimbang 
aku," jelas Maemi sambil  berpaling dari pandangan 
Yuli dan bergegas pergi. 
"Hai… tunggu! Aku benar-benar tidak mengerti, 
kenapa kau menuduhku sebagai wanita simpanan?" 
tanya Yuli agak kesal.  
Maemi tidak mempedulikannya, dia terus saja 
melangkah pergi. Sementara itu, Yuli cuma terpaku 
menatap kepergiannya, kemudian dia melangkah 
menuju ke pintu depan. latif  yang mengetahui 
kedatangannya segera keluar dan mempersilakannya 
masuk. sekarang  keduanya sudah melangkah menuju ke 
ruang  tengah.   
"latif , siapa wanita tadi?" tanya Yuli tiba-tiba. 
"O… dia itu rekan bisnisku," jawab latif  
berbohong.  
 227
"Benarkah?" tanya Yuli ragu.  
"Benar, Yul. Sebenarnya tadi dia sengaja datang 
untuk mengajakku makan, dan saat  aku menolak 
karena sudah ada janji denganmu, mendadak raut 
wajahnya berubah. Aku pun tidak mengerti kenapa 
tiba-tiba dia menjadi seperti itu, sepertinya dia tidak 
senang dengan keputusanku." 
"Apakah kau ada hubungan khusus dengannya?" 
tanya Yuli menyelidik. 
"Maksudmu?" 
"Apakah kau dan dia menjalin hubungan selain 
urusan bisnis." 
"Tidak, selama ini aku dan dia murni hanya 
sebagai rekan bisnis saja." 
"Mungkinkah dia mencintaimu?"  
"Entahlah... aku juga tidak tahu. Kalau memang 
benar begitu, aku bisa mengerti jika dia tiba-tiba 
menjadi seperti itu. Sudahlah Yul, kita lupakan saja 
perihal dia! Nanti aku akan bicara padanya dan 
menjernihkan semuanya."    
 
Tak lama kemudian, keduanya sudah tiba di ruang 
tengah. "Silakan duduk Yul!" pinta latif  ramah. 
"Ngomong-ngomong, sebenarnya ada apa sih?" 
tanya Yuli semakin penasaran begitu melihat ruangan 
itu tampak begitu romantis. 
"Selamat ya, atas keberhasilanmu sebagai pemain 
piano terbaik tingkat Nasional," kata latif  sambil  
mencium pipi kiri dan kanan Yuli. 
sesudah  itu, Yuli tampak menatap latif  dengan 
mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih, latif ... kau 
sungguh perhatian dan begitu baik padaku. Orang 
tuaku saja tidak peduli dengan semua itu," katanya 
haru. 
"Sudahlah...! Bukankah kau sahabatku," kata latif  
sambil  membuka sebotol sampanye dan 
menuangkannya pada dua buah gelas yang sudah 
dipersiapkan, kemudian mereka bersulang merayakan 
kesuksesan itu. Raut wajah Yuli tampak begitu ceria, 
dan dia sangat bersyukur  karena memiliki  sahabat 
sebaik latif .  
 
"Tunggu ya, Yul! Aku  mau ke kamar sebentar," 
pamit latif  tiba-tiba. 
Yuli mengangguk, sejenak dia memperhatikan 
kepergian latif  yang sudah melangkah ke kamarnya. 
Sambil menunggu, Yuli tampak merenungi kejadian 
saat  bersama Maemi tadi. Dia benar-benar masih 
saja bingung dengan perihal itu, "Hmm... sebenarnya 
siapa wanita tadi, kenapa dia mengaku sebagai istri 
latif  dan menuduhku sebagai wanita simpanan? 
Mungkinkah dia memang mencintai latif ? Dan dia 
berkata demikian lantaran cemburu karena latif  lebih 
mementingkan kehadiranku. Jika memang demikian, 
aku bisa memakluminya. Tapi kalau latif  berbohong, 
berarti wanita itu memang benar-benar istrinya? Ah, 
sudahlah... aku percaya kalau latif  telah berkata jujur, 
selama ini kan dia telah begitu baik padaku."  
sekarang  Yuli tampak mengeluarkan koin emas yang 
selama ini masih menjadi misteri, kemudian 
mengamatinya dengan begitu seksama. Saat itu dia 
masih belum mengerti kenapa kakeknya berpesan 
 
untuk menjaga koin emas itu, "Sebenarnya... apa 
keistimewaan koin ini ya?" tanya Yuli membatin. 
 Sementara itu di dalam kamar, latif  tampak 
sedang membuka laci lemari. Rupanya dia sedang 
mengambil hadiah yang akan diberikan kepada Yuli. 
Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara wanita 
memanggil,  "latif … latif ii...!" panggil wanita itu 
dengan suara yang terdengar parau. 
"Siapa kau?" tanya latif  sambil  celingukan 
mencari asal suara itu, "Di-di mana kau?" tanyanya 
lagi. 
"Aku di sini, latif ," jawab orang yang memanggil. 
latif  segera memalingkan wajahnya ke arah asal 
suara itu, dan betapa terkejutnya dia saat  melihat 
sosok martini  sedang berdiri di sudut ruangan sambil 
tersenyum dingin.  
"Ka-kau! Kenapa kau ma-ma-masih 
menggangguku?" tanya latif  ketakutan. 
"Maafkan aku, latif ! Aku terpaksa datang 
menemuimu lagi. Sebenarnya kedatanganku hanya 
 
untuk menyampaikan sebuah permintaan, dan kau 
tidak perlu takut karenanya," kata sosok wanita itu. 
"Pe-pe-permintaan...? Permintaan apa itu?" tanya 
latif  masih saja ketakutan. 
Kemudian sosok wanita itu segera mengatakan 
permintaannya, dia menghendaki agar latif  mau 
menjelaskan perihal jati dirinya kepada martini , yaitu 
bahwa dia telah memiliki  istri dan selama ini cuma 
mempermainkan martini  saja. 
"Ti-ti-tidak! Itu tidak mungkin," tolak latif . 
"Kenapa, latif ???" tanya sosok wanita itu dengan 
kening berkerut. 
"Pokoknya a-a-aku tidak mau. Aku tidak mungkin 
mengatakan hal itu." 
"Kurang ajar!!! Dasar banci…!!!" teriak sosok 
wanita itu sambil  melayangkan sebuah vas keramik 
dan menjatuhkannya tepat di depan kaki latif . 
Sementara itu, Yuli yang sedang mengamati koin 
emasnya sesaat  terkejut—dia benar-benar sangat 
kaget mendengar suara pecahan itu. Kemudian 
sambil tetap memegang koinnya, Yuli segera naik ke 
 
lantai atas untuk memeriksa, dan tak lama kemudian 
dia sudah berada di kamar latif . "Ada apa, latif ?" tanya 
Yuli sambil  melihat pecahan vas yang berserakan. 
latif  tidak bicara, dia masih terus menatap sosok 
martini  dengan penuh ketakutan. Melihat latif  seperti 
itu, Yuli tampak semakin heran, kemudian dia segera 
memandang ke arah pemuda itu melihat. Betapa 
terkejutnya Yuli saat  melihat sosok martini  sedang 
menyeringai di sudut ruangan. Tak ayal, Yuli langsung 
tergeletak pingsan. Bersamaan dengan itu, koin emas 
yang ada di genggamannya tampak menggelinding ke 
arah sosok martini  dan berhenti persis di bawah 
kakinya.  
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sosok martini  
berteriak histeris, terkena sinar keemasan yang tiba-
tiba saja terpancar mengenai tubuhnya. Karena 
merasakan hawa panas yang seakan membakar 
tubuh, akhirnya sosok martini  segera menjauhi koin 
tersebut. Mengetahui itu, latif  segera memungut koin 
emas itu dan langsung mengarahkannya ke hadapan 
sosok martini . Tak ayal, sosok martini  kembali berteriak 
 
histeris, tak kuasa menahan hawa panas yang 
semakin membakar tubuhnya. "Aaah… panaaasss…!" 
teriak sosok wanita itu sambil  menghilang dari 
pandangan. 
Melihat itu, latif  tampak  senang sekali, kemudian 
dia tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha! Dengan koin 
ini aku akan aman dari arwah sialan itu, dan dia tidak 
mungkin bemartini  mendekatiku lagi. Ha ha ha...!" kata 
latif  sambil tertawa terbahak-bahak. 
sesudah  puas tertawa, latif  segera membopong 
Yuli dan merebahkannya di atas tempat tidur, 
kemudian memandangnya dengan penuh gairah. 
"Tidak, ini bukan saat yang tepat. Aku tidak mungkin 
melakukannya di saat seperti ini," katanya dalam hati, 
kemudian pandangannya segera beralih ke koin yang 
berada di genggamannya.  
latif  masih terus mengamati koin yang 
membuatnya begitu takjub. Pada saat itu, tiba-tiba Yuli 
tersadar dari pingsannya. Dia tampak duduk di atas 
tempat tidur sambil mengamati sekelilingnya, "Di-di-di 
 
mana arwah tadi?" tanyanya dengan raut wajah yang 
masih tampak ketakutan. 
"Tenang Yul, arwah itu sudah pergi—dia tak kuasa 
menghadapi koin ini," jelas latif  sambil  menyerahkan 
koin itu kepadanya. 
"Koin ini bisa mengusirnya?" tanya Yuli seakan 
tidak percaya, kemudian dia mengamati koin yang sekarang  
berada di telapak tangannya. 
"Benar, Yul. Sepertinya arwah itu merasa 
kepanasan bila berdekatan dengan koin itu." 
"Ngomong-ngomong... kenapa arwah itu 
mendatangimu, latif ?"  
"Entahlah… aku juga tidak tahu, kenapa arwah itu 
selalu mendatangiku. Padahal, aku tidak pernah 
berbuat macam-macam," kata latif  merahasiakan 
kejadian sesungguhnya. 
"Kalau begitu, sebaiknya koin ini kau pegang saja! 
Dengan demikian arwah itu tidak akan 
mengganggumu lagi," kata Yuli sungguh-sungguh.  
Sosok martini  yang mendengarkan percakapan 
mereka dari kejauhan tampak begitu geram—dia 
 235
kesal sekali melihat latif  yang sengaja membodohi 
Yuli agar bisa memiliki koin tersebut. 
  besok siangnya cuaca tampak cerah. Di sebuah 
jalan yang macet, kendaraan tampak merayap 
dengan perlahan. Suaranya yang bising menambah 
kejengkelan martini  yang saat itu baru saja pulang 
sekolah. Di tambah lagi dengan asap hitam yang 
tampak mengepul dari knalpot sebuah bis kota tua 
yang tak terawat. 
sekarang  martini  sedang duduk di sebuah halte yang 
cukup ramai, menunggu bis kota yang akan 
mengantarnya pulang. Sejenak dia memperhatikan 
orang-orang di sekitarnya, dilihatnya beberapa orang 
penumpang tampak naik-turun bis, tak ketinggalan 
para pedagang asongan dan pengamen yang 
mencoba mencari peruntungan.  
"Blok-M Blok-M. Ayo, kosong... kosong...!" 
terdengar suara kondekturnya yang berteriak keras. 
 
martini  tertawa mendengar kataan kondektur itu, 
walaupun dia sudah sering mendengarnya. Namun 
kalau dipikir-pikir, lucu juga kalau bis yang sudah 
penuh masih juga dibilang kosong. 
martini  masih duduk menunggu, dalam hati dia mulai 
merasa resah. "Aduh, kok lama sekali sih," keluhnya 
sambil  bangkit berdiri, kemudian matanya kembali 
memperhatikan setiap bis yang mendekat.  
sesudah  lama menunggu, akhirnya bis yang 
dinantikannya tiba. Melihat itu, martini  segera beranjak 
bangun dan bergegas naik. Pada saat yang sama, si 
Kondektur terlihat membantunya untuk menaiki bis 
yang terlihat sudah penuh sesak. "Lumayan bisa 
pegang-pegang cewek cantik," kata si Kondektur 
dalam hati. 
Bis kota kembali melaju, bersamaan dengan si 
Kondektur yang mulai menagih ongkos penumpang. 
"Cring… cring… cring..." terdengar bunyi uang 
recehan si kondektur yang memberi tanda kepada 
para penumpang yang belum membayar. martini  segera 
mengeluarkan uang pas dan memberikannya kepada 
 
kondektur itu. Pada saat yang sama, seorang pemuda 
tampak beranjak dari duduknya dan mempersilakan 
martini  duduk.  
"Terima kasih! Saya bisa berdiri kok!" tolak martini  
kepada pemuda itu. 
"Duduk saja, Dik! Sebentar lagi saya akan turun," 
jelas pemuda itu. 
"Terima kasih ya!" kata martini  sambil  duduk di 
samping seorang ibu yang sedang menggendong 
bayinya. 
martini  tampak memperhatikan bayi itu, dilihatnya 
bayi itu sedang tertidur pulas, wajahnya yang lucu 
tampak begitu polos. Bayi yang belum memiliki  
dosa itu terjaga sesaat, kemudian matanya yang 
jernih tampak menatap martini  dengan penuh tanda 
tanya. Tak lama kemudian, Bayi itu kembali terlelap.  
martini  terus memperhatikan bayi itu, sementara itu 
ibu si Bayi tampak memandang martini  sambil 
tersenyum. "Pulang sekolah, Nak?" tanyanya 
membuka pembicaraan. 
 
"Iya, Bu," jawab martini  sambil tersenyum. "Berapa 
usianya, Bu?" tanyanya kemudian. 
"Empat bulan," jawab si Ibu ramah.  
martini  tampak memperhatikan bayi itu lagi, 
"Namanya siapa, Bu," tanya martini  sambil  mengusap-
usap kepala bayi itu dengan penuh kasih sayang.  
"Rina Dewina," jawab si Ibu. 
"Benarkah!" kata martini  seakan tidak percaya. 
"Namanya mirip sekali denganku, Bu. Cuma beda 
sedikit saja" jelas martini  kemudian. 
"Memangnya namamu siapa, Nak?" tanya si Ibu. 
"Namaku martini  Dewina, Bu."  
"Benarkah! Kalau begitu, namamu memang mirip 
sekali dengan nama putriku," kata si Ibu sambil  
tersenyum. 
martini  segera membalas senyuman itu dengan rona 
merah di wajahnya. Dan tak lama kemudian, 
keduanya sudah kembali berbincang-bincang.  
Mereka terus berbincang-bincang selama 
perjalanan, hingga akhirnya bis itu tiba di tempat 
 
tujuan. Mengetahui itu, martini  segera pamit kepada si 
Ibu yang ternyata sangat baik kepadanya. 
sesudah  turun dari bis, martini  langsung membeli 
nasi bungkus di tempat biasa, kemudian pulang ke 
rumah dengan menumpang angkot. Beberapa menit 
kemudian, gadis itu sudah tiba di rumahnya. Seperti 
biasa, suasana di rumah itu terasa begitu sepi. 
Maklumlah, sang Ayah memang biasa pulang kantor 
sesudah  sore hari, dan martini  selalu merasa kesepian 
karenanya.  
sesudah  bersih-bersih, martini  segera menyantap 
nasi bungkus yang baru dibelinya. sesudah  itu dia 
bergegas untuk mengganti pakaian, kemudian 
bergegas ke kamar ayahnya untuk merapikan tempat 
itu. Betapa terkejutnya martini  saat  melihat kamar itu 
lagi-lagi sudah ada yang merapikan.  
"Ini benar-benar aneh," katanya dalam hati. 
"Hmm... sebenarnya apa yang telah terjadi? Semenjak 
kematian ibu, selalu saja ada kejadian aneh yang aku 
alami. Hmm... apakah Ayah sudah kembali lagi 
dengan kesesatannya, kembali bersekutu dengan 
 
setan? Kalau memang demikian, aku takut sekali jika 
harus tinggal di rumah ini. Nanti kalau ayah pulang, 
akan kudesak beliau untuk mengatakan hal yang 
sebenarnya. Kalau beliau tidak mau mengatakannya, 
maka dengan berat hati aku akan meninggalkan 
rumah ini." sesudah  bertekad begitu, martini  segera 
beranjak ke ruang tamu dan membaca majalah di 
tempat itu.   
Hari telah menjelang petang. Pada saat itu martini  
tampak sudah terlelap di atas sofa. Sementara itu di 
area pemakaman, seorang pemuda tampak sedang 
berdiri di hadapan nisan martini . sekarang  pemuda itu 
sedang meletakkan koin emas di atas pusara makam. 
Pada saat yang sama, tiba-tiba saja dari dalam 
makam terdengar jerit rintih kesakitan. Sementara itu, 
pemuda yang bernama latif  tampak tersenyum sinis 
mendengar rintihan yang begitu memilukan. Rupanya 
pemuda itu beniat membinasakan sosok martini  yang 
selama ini sudah mengganggunya. 
"Hai!!! Apa yang sedang kaulakukan???" Teriak 
seseorang menegurnya.  
 
Sesaat  latif  terkejut sambil  menoleh ke asal  
suara, saat itu dia melihat seorang kakek yang 
tampak tergesa-gesa menghampirinya. Mengetahui 
itu, latif  segera mengambil koinnya dan berlari 
tunggang-langgang.  
Sang Kakek yang ternyata juru kunci di 
pemakaman itu tak kuasa untuk mengejar, dia cuma 
terpaku sambil memperhatikan kepergian pemuda itu 
dengan seribu tanda tanya. sekarang  Kakek itu sudah 
berlatif ngkok di sisi makam martini  sambil  membuka 
penutup botol air mawar yang dibawanya. sesudah  
melakukan itu, sang kakek tampak berdoa dengan 
khusuknya. 
Sementara itu di tempat lain, soebandrio   terlihat baru 
saja pulang dari kantor. sekarang  dia sedang berada di 
teras depan dan mulai memasuki rumahnya. saat  
baru saja melewati ambang pintu, dilihatnya martini  
sedang tertidur pulas di atas sofa. soebandrio   cuma 
geleng-geleng kepala melihat putrinya tertidur di 
tempat itu, lalu dia segera duduk di sisinya.  
 
sekarang  soebandrio   sedang memandangi wajah putrinya 
yang tampak begitu damai, kemudian membelai 
kepalanya dengan penuh kasih sayang. Mendadak 
martini  terjaga, "Ayah…" katanya sambil  menatap 
ayahnya yang tampak tersenyum tipis, kemudian dia 
segera duduk di sisi beliau. 
"martini , apakah kau masih mengantuk, Sayang...?" 
tanya soebandrio  . "Kalau kau masih mengantuk, 
sebaiknya pindah saja ke tempat tidur!" sambungnya 
kemudian. 
"Tidak, Ayah. martini  sudah tidak mengantuk," jawab 
martini  sambil  merenggangkan persendiannya. 
"Ya sudah… kalau begitu sekarang kau mandi! 
Ayah mau beristirahat di sini. O ya, tolong ambilkan 
Ayah minum, Sayang…!" pinta soebandrio   kepada 
putrinya. 
martini  segera menurut. sesudah  memberikan 
segelas air bening kepada ayahnya, martini  langsung 
bergegas mandi. Sementara itu, soebandrio   tampak 
duduk bersantai untuk melepaskan lelahnya. Saat itu 
 
hembusan angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela 
yang terbuka. 
Beberapa menit kemudian, martini  yang sudah 
selesai mandi tampak duduk di sisi Ayahnya, 
kemudian mulai membuka pembicaraan. "Yah, martini  
mau meminta penjelasan Ayah!" pintanya dengan 
wajah yang serius. 
"Penjelasan apa, Sayang...?" tanya ayahnya. 
"Penjelasan tentang perihal keanehan yang 
selama ini terjadi di rumah kita. martini  merasa, selama 
ini Ayah selalu menutup-nutupinya. Sekarang martini  
ingin mendengarkan penjelasan dari Ayah, apa yang 
sebenarnya telah terjadi di rumah ini?" 
"Aduh, martini ... sebaiknya kau lupakan saja semua 
itu! Mulai saat ini sebaiknya kau memikirkan masalah 
sekolahmu saja, biarlah semua keanehan yang 
kaubilang itu Ayah sendiri yang menyelesaikan!" 
"Baiklah, Ayah. martini  tidak akan bertanya lagi soal 
itu, sekarang martini  mau belajar dahulu . Bukankah tadi 
Ayah bilang, martini  harus memikirkan tentang urusan 
sekolah." 
 
"Nah... itu baru anak Ayah. Ayah senang sekali 
jika kau mau menuruti apa yang Ayah katakan."    
"Sudah ya, Ayah! Sekarang martini  mau belajar 
dahulu ," kata martini  sambil  melangkah pergi.  
  
 
 
Malam harinya, di sebuah rumah yang tampak 
megah, sesosok tubuh bergaun putih tampak 
melayang mendekati jendela kamar yang tertutup. 
Itulah jendela kamar Yuli yang terletak di lantai atas. 
Pada saat itu, Yuli terlihat sedang asyik bersandar di 
atas tempat tidurnya. Membaca majalah sambil 
mendengarkan tembang manis yang mengalun 
merdu.  
saat  sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba 
dia dikejutkan oleh suara ketukan di jendela kamar. 
Sesaat  Yuli menatap ke arah jendela, kemudian 
segera beranjak untuk memeriksanya. Gadis itu 
tampak membuka kaca jendela dan memperhatikan 
sekitarnya dengan penuh seksama. Bersamaan 
 
dengan itu, hembusan angin dingin terasa menerpa 
wajahnya. Yuli menggigil, merasakan hawa dingin 
yang begitu menusuk kulit. 
Yuli terus memperhatikan keadaan di sekitarnya. 
Sementara itu di benaknya timbul segala pertanyaan 
yang membuatnya sedikit bingung, "Apa benar yang 
kudengar tadi? Masa iya ada orang usil yang mau 
mengetuk jendela kamarku. Kamar ini kan terletak di 
lantai atas. Tapi, sepertinya tadi aku memang benar-
benar mendengar suara ketukan. Jangan-jangan..."  
Sesaat  itu juga Yuli merinding, lalu dengan 
segera menutup jendela kamarnya rapat-rapat. sekarang  
gadis itu sudah kembali bersandar di tempat tidur 
sambil membuka majalahnya kembali. Baru saja dia 
membaca sebentar, tiba-tiba suara ketukan kembali 
terdengar. Kali ini suara itu berasal dari balik pintu 
kamarnya. Yuli segera memusatkan pendengarannya 
ke arah pintu. Tiba-tiba suara itu kembali terdengar, 
tapi kali ini terdengar agak pelan dari yang tadi. 
Karena pendengarannya terganggu, Yuli segera 
mematikan stereo set-nya dan kembali memusatkan 
 
pendengaran, namun suara itu tak terdengar lagi. 
Karena penasaran, akhirnya Yuli beranjak ke pintu 
dan membukanya dengan perlahan, kemudian 
mengintip ke luar dengan hati-hati sekali. "Aneh... 
tidak ada siapa-siapa," katanya dalam hati. 
Akhirnya Yuli tidak mempedulikannya. Dia kembali 
menutup pintu dan melangkah ke tempat tidur, 
kemudian menyalakan stereo set-nya lagi. sekarang  suara 
musik kembali mengalun merdu. Bersamaan dengan 
itu, Yuli tampak bersiap-siap untuk bersandar kembali 
di tempat tidurnya. Namun belum sempat dia 
bersandar, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar.  
"Siapa sih!" serunya sambil  menatap ke arah pintu 
dengan wajah yang begitu kesal. 
Tok Tok Tok! suara itu kembali terdengar.  
"Maaang! Kau ya? Sudah deh jangan suka usil! 
Nanti kalau aku sudah marah betulan, kau akan tahu 
akibatnya!" teriak Yuli kepada orang yang dikira 
pembantunya.  
Selama ini Yuli memang sudah cukup bersabar 
menghadapi pembantunya yang selama ini memang 
 
suka diberi hati, tapi selalu minta kepala itu. Selama 
ini dia memang sering dibuat kesal dengan segala 
tingkah-lakunya yang kadang-kadang menjengkelkan. 
Tapi karena pembantunya itu baik dan jujur, Yuli tetap 
mempertahankannya. 
Tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Kali ini 
Yuli sudah benar-benar marah, lantas dengan segera 
dia beranjak bangun dan membuka pintu kamar 
dengan tiba-tiba.  
"A-apa!" seru Yuli terkejut saat  mengetahui di 
depan pintu tidak ada siapa-siapa. "Aneh... tidak 
mungkin Mang Udin bisa lari secepat itu. Dia kan 
bukan orang sakti. Lalu, siapa ya?" tanya Yuli 
keheranan. 
Lantas dengan diselimuti perasaan takut, Yuli 
terus memperhatikan ke sekelilingnya. Kedua 
matanya tampak waspada memandang ke setiap 
sudut ruangan, melirik kesana-kemari—mencari orang 
yang telah mengetuk pintu kamarnya. Keheningan 
malam membuat Yuli semakin takut, namun 
keingintahuannya yang besar memaksa dia untuk 
 
membemartini kan diri. Sambil terus waspada dia mulai 
melangkah, kemudian menuruni anak tangga dengan 
hati-hati sekali. Setibanya di lantai bawah, Yuli 
langsung melangkah ke dapur dengan perlahan. Dia 
menduga orang tadi pasti bersembunyi di tempat itu. 
Yuli terus melangkah. Tiba-tiba dia mendengar 
ada langkah kaki yang membuntutinya, lalu dengan 
segera dia menoleh ke belakang. Ternyata di 
belakangnya tidak ada siapa-siapa. Mengetahui itu, 
sesaat  Yuli bergidik sambil  mempercepat langkah 
kakinya.  
sekarang  gadis itu sudah berada di ruangan dapur dan 
langsung mengamati ruangan itu dengan penuh 
seksama. Bersamaan dengan itu, di belakangnya 
melintas sesosok tubuh dengan gaun putih yang 
berkibar-kibar. Namun Yuli tidak mengetahui hal itu, 
dia terus memeriksa ruang dapur dengan penuh rasa 
was-was. sesudah  dirasa cukup, Yuli berniat untuk 
memeriksa ruang tamu. Namun belum sempat dia 
melangkah, tiba-tiba sesosok tubuh putih meluncur 
turun dari atas lemari dan berdiri tepat di hadapannya. 
 
Sesaat  Yuli terkejut, jantungnya pun langsung 
berdebar kencang. "Aduh Kitty, kau mengagetkanku 
saja. Sini pus…!" Panggil Yuli kepada sosok putih 
yang ternyata kucing kesayangannya. 
Yuli segera menggendong kucing itu dan 
membawanya ke ruang tamu. sekarang  dia sudah berada di 
ruangan itu dan sedang menatap ke arah jam dinding 
yang dilihatnya sudah menunjukkan pukul 24.00. Pada 
saat yang sama, tiba-tiba kucing yang ada di 
gendongannya tampak menggeram, rupanya dia 
mengetahui kehadiran sosok martini  yang sekarang  berada di 
ruangan itu.  
Yuli yang mengetahui kucingnya menggeram 
seperti itu menjadi sangat heran, "Ada apa pus?" 
tanyanya sambil  membelai kepala kucing itu dengan 
lembut. Betapa terkejutnya Yuli saat  kucing itu tiba-
tiba meronta dan akhirnya melarikan diri ke arah 
dapur.  
sekarang  Yuli tampak mengawasi sekelilingnya dengan 
penuh rasa was-was, kedua bola matanya terus 
bergerak memperhatikan keadaan ruangan yang 
 
tampak begitu hening. Tiba-tiba bulu kuduk Yuli 
berdiri, dia teringat cerita temannya yang mengatakan 
kalau hewan sangat sensitif dengan yang namanya 
makhluk halus, apalagi pada malam Jumat seperti 
sekarang—dimana menurut kepercayaan sebagian 
orang, kalau malam Jumat adalah saatnya makhluk-
makhluk itu bergentayangan.   
Lantas dengan perasaan takut yang semakin 
berkembang, akhirnya Yuli berlari ke kamar dan 
mengunci pintunya rapat-rapat. saat  dia akan 
merebahkan diri di tempat tidur, tiba-tiba dia melihat 
sepucuk surat tampak tergeletak di atas seperainya 
yang berwarna biru. “Hmm… siapa yang meletakkan 
surat ini?” tanya Yuli sambil  mulai membacanya.  
Betapa terkejutnya Yuli saat  mengetahui isi surat 
itu, sesaat  bulu kuduknya langsung merinding. Di 
dalam surat itu, sosok martini  menjelaskan semua jati 
dirinya, dia juga menjelaskan mengenai jati diri latif  
dan mengungkapkan semua kebusukan pemuda itu. 
Selain itu, dia juga meminta kepada Yuli agar bersedia 
mengungkapkan jati diri latif  kepada martini .  
 
"Ra-martini … ja-jadi yang mengetuk-ngetuk pintu 
tadi arwah ibunya martini ." Yuli kembali bergidik. 
"Hmm... jadi selama ini latif  telah membohongiku. 
Ternyata martini  itu bukan sepupunya, tapi kekasihnya. 
Tapi... kenapa aku yang diminta oleh ibunya untuk 
mengungkapkan jati diri latif ?" tanya Yuli sambil  
berpikir keras. "Hmm... apakah latif  memang sebusuk 
itu? Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia 
sudah memiliki  istri di Tokyo. Tapi... apakah 
semua yang dikatakan arwah martini  dalam surat itu 
benar adanya? Mungkinkah Arwah itu mencoba 
memperalatku dengan cerita bohong yang 
membuatku terpaksa mengambil koin emas itu?"  
Tiba-tiba Yuli teringat dengan peristiwa di depan 
rumah latif , kemudian dia segera menghubungkan 
peristiwa itu dengan perkataan sosok martini  di 
suratnya. "Ya… rasanya memang latif  telah 
membohongiku, aku rasa wanita itu memang istrinya," 
kata Yuli menyimpulkan. "Kalau begitu, besok aku 
akan meminta kembali koin milikku itu. Terus terang, 
 
aku tidak rela jika koin itu digunakan untuk melindungi 
pria busuk seperti dia." 
saat  Yuli hendak merebahkan diri, tiba-tiba dia 
melihat sebuah bayangan putih yang sekejap melintas 
di balik jendela. Saat itu Yuli benar-benar terkejut 
saat  melihatnya, namun begitu dia mencoba 
membemartini kan diri dengan tetap menatap ke luar 
jendela. Lama juga dia menatap, namun hal aneh 
yang diperkirakannya akan muncul sama sekali tidak 
terjadi.  
sekarang  Yuli sudah merebahkan diri. Sejenak matanya 
melirik ke arah pintu, dan sesekali menatap ke arah 
jendela. Karena khawatir sosok martini  melintas lagi, 
akhirnya dia segera menutup gorden jendelanya 
rapat-rapat. sesudah  itu dia kembali merebahkan diri 
sambil  bersembunyi di balik selimutnya.  
Yuli mencoba untuk tidur, namun dia tidak bisa 
tertidur sama sekali. Pikirannya terus menerawang 
entah ke mana. Sampai akhirnya dia bisa tertidur 
saat  hari sudah menjelang Subuh. Pada saat itu dia 
sudah benar-benar mengantuk, dan saat  mendengar 
 
suara orang mengaji di kejauhan dia pun langsung 
terlelap. Yuli tertidur dengan selimut tetap menutupi 
sekujur tubuhnya. 
 saat  matahari mulai bersinar, soebandrio   
dikejutkan oleh sepucuk surat yang dia 
temukan di atas meja kecil di samping tempat 
tidurnya. Isi surat itu memberitahukan kalau martini  telah 
pergi meninggal rumah. Mengetahui itu, soebandrio    
segera memeriksa kamar martini . sesudah  mengetahui 
martini  tidak berada ditempat tidurnya, yakinlah soebandrio   
kalau martini  memang telah minggat.  
Hari ini soebandrio   terpaksa tidak masuk kantor, dia 
pergi ke sana-kemari untuk mencari putri tunggalnya 
itu. Namun sangat disayangkan, hingga tengah hari 
martini  belum juga ditemukan. Sementara itu di tempat 
lain, Yuli terlihat sedang berada di pelataran parkir. 
sesudah  memarkir mobilnya dia tidak lekas keluar, tapi  dia berbicara dahulu  dengan seseorang lewat HP-nya.  "latif , nanti malam kau jangan kemana-mana ya! Aku  ada perlu denganmu," katanya kepada pemuda yang  ada di seberang sana.  
"Apa itu, Yul?" tanya latif  penasaran. 
"Nanti malam saja, latif . Soalnya sekarang aku 
tidak bisa lama-lama." 
"Baiklah… nanti malam aku akan menunggumu."  
"Sudah ya, Bye…" kata Yuli mengakhiri 
pembicaraan sambil  menyimpan HP-nya. 
sesudah  itu dia bergegas ke luar dan langsung 
menuju ke Salon Kecantikan. Kebetulan hari ini dia 
memang mau creambath rutin di tempat itu. 
Sementara itu di dalam Salon suasana tampak sedikit 
ramai, beberapa orang tampak sedang duduk 
menunggu giliran. Di salah satu kursi hias tampak 
seorang wanita asing yang sedang ditata rambutnya. 
Wanita itu adalah Maemi, dia sedang berhias karena 
akan pulang ke Tokyo. Usai berhias, wanita itu duduk 
di kursi tunggu sambil mengeluarkan kartu kredit. 
Pada saat yang sama, Yuli tiba di tempat itu, dia 
duduk di sebelah Maemi sambil  membuka majalah 
yang dibawanya.  
 
Betapa terkejutnya Maemi saat  mengetahui 
siapa yang duduk di sebelahnya, "Heh, bukankah kau 
wanita simpanan latif ?" tegurnya dengan kening yang 
berkerut. 
Yuli terkejut mendengar teguran itu, kemudian dia 
menoleh ke arah Maemi dengan alis yang sedikit 
merapat. "O… kau rupanya, Eh! Dengar ya! Aku ini 
bukan wanita simpanan latif . Aku sendiri baru 
mengetahui kebusukannya, dia itu memang lelaki 
yang perlu diberi pelajaran," jelas Yuli kepada Maemi 
sambil  meletakkan majalah yang sedang 
dipegangnya. 
"O… rupanya kau juga baru dicampakkan 
olehnya," kata Maemi lagi. 
"Tidak, bukan demikian. Aku adalah teman 
sekelas latif  saat  di SMU dahulu , kebetulan selama ini 
kami memang berteman baik. Terus terang, semula 
aku memang tidak tahu kalau dia sudah memiliki  
istri. Yang aku tahu,  dia masih sendiri dan belum 
memiliki  pacar. Tapi, sekarang aku sudah tahu 
siapa dia sebenarnya—dia pria beristri yang juga 
 
memiliki  pacar bernama martini  Dewina. Aku pun 
baru mengetahui semua itu dari surat yang diberikan 
oleh ibunya martini . Rupanya selama ini dia telah 
membohongiku dengan mengatakan bahwa martini  itu 
sepupunya. Walaupun selama ini dia begitu baik dan 
perhatian padaku. Namun bila dia sebusuk itu, aku 
tidak sudi berteman dengannya," jelas Yuli panjang 
lebar. 
"O… benarkah?" kata Maemi seakan tidak 
percaya. Lantas dengan wajah yang tampak menyesal 
wanita itu kembali berkata, "Kalau begitu... maafkan 
aku ya! Terus terang, aku merasa bersalah karena 
telah menuduhmu yang tidak-tidak." 
"Sudahlah! Aku bisa memakluminya kok—aku 
mengerti akan perasaanmu yang diperlakukan oleh 
latif  secara tidak layak."  
"Terima kasih atas pengertianmu. O ya, 
kenalkan... namaku Maemi." 
"Emm... namaku Yuli, senang berkenalan 
denganmu." 
 
"Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... siapa 
tadi yang kau bilang sebagai pacar latif ?" 
"martini  maksudmu?” 
"Ya, dia. Kasihan gadis itu, dia pasti tidak 
menyadari kalau dirinya sedang dipermainkan oleh 
suamiku." 
"Kau benar Maemi, dan karenanyalah ibunya 
memintaku untuk mengungkapkan jati diri latif  yang 
sebenarnya. Terus terang, saat ini aku sedang 
bingung—aku sama sekali tidak tahu bagaimana 
caranya  meyakinkan martini ."  
"Loh, ibunya kan tahu kalau latif  memang 
sebusuk itu. Lalu, kenapa tidak dia sendiri yang 
menceritakannya?" tanya Maemi bingung. 
"Ibunya sudah meninggal, kira-kira sebulan yang 
lalu," jawab Yuli polos. 
"A-apa??? Ja-jadi…"  
"Ya… Arwah ibunya yang memberikan surat itu," 
potong Yuli. 
Maemi bergidik sesaat , kemudian dia segera 
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Kalau 
 
begitu, berikan saja ini," kata Maemi sambil  
memberikan selembar foto kepada Yuli. 
Yuli tampak mengamati foto itu sejenak, dilihatnya 
sepasang pengantin tampak sedang bergandengan 
mesra di depan pelaminan. Mereka adalah Maemi dan 
latif  yang sedang berbahagia di sebuah pesta 
perkawinan. sesudah  menyimpan foto itu di dalam 
tasnya, Yuli kembali berbincang-bincang dengan 
Maemi.  
sekarang  keduanya tampak sudah semakin akrab, 
mereka terus berbincang-bincang hingga pada 
akhirnya, "O ya, Yul. Sekarang aku mesti pergi, lain 
kali kita bisa berbincang-bincang lagi," pamit Maemi 
sambil  sun pipi kiri-kanan. "Sampai jumpa lagi ya, 
Yul!" katanya kemudian. 
Yuli memandangi kepergian Maemi, dia merasa 
kasihan melihat wanita yang sedang hamil muda itu. 
Baginya latif  itu benar-benar biadab, teganya dia 
menyuruh istrinya untuk menggugurkan anak 
kandungnya sendiri. Namun saat  Maemi 
mengatakan akan bercerai dengan suaminya, dia 
 
tampak merasa lega. Sebagai seorang wanita, dia pun 
akan melakukan hal serupa jika memiliki  suami 
seperti latif . Tak lama kemudian, tibalah giliran Yuli  untuk menikmati jasa pelayan Salon. 
 Malam harinya, hujan turun rintik-rintik, hembusan  angin dingin terasa begitu menusuk kulit. Pada saat  yang sama, sebuah sedan mewah tampak berhenti di  depan gerbang sebuah rumah megah. sekarang  sedan itu  mulai melaju melewati gerbang yang pintunya telah 
terbuka secara otomatis. Bersamaan dengan itu, 
seorang satpam tampak berlari mengikutinya. Dia 
terus berlari sambil menggenggam payung di 
tangannya. sekarang  satpam itu sedang berdiri di samping 
mobil sambil menunggu seseorang yang akan 
dipinjamkannya payung. Selang beberapa saat, 
seorang gadis tampak keluar dari mobil dan langsung 
mengambil alih payung yang sedang dipegang oleh 
Pak Satpam tadi. Gadis itu ternyata Yuli, sekarang  dia 
 
sedang melangkah ke pintu utama yang terletak agak 
jauh dari tempatnya memarkir mobil.  
sekarang  Yuli sudah berada di ruang tengah dan 
sedang berbincang-bincang dengan latif . sesudah  
berbasa-basi sebentar, akhirnya Yuli mulai 
mengatakan maksud kedatangannya. "latif , boleh aku 
meminta kembali koinku!" pintanya berharap. 
"Kenapa? Bukankah aku memerlukannya untuk 
melindungi diri dari arwah sialan itu," tanya latif  tidak 
senang. 
"Sebenarnya aku memerlukannya koin itu, latif . 
Kakekku berpesan agar aku selalu membawanya ke 
mana pun aku pergi," kata Yuli memberikan alasan. 
"Tidak!!! Pokoknya koin ini harus tetap di 
tanganku, titik." 
Mendengar itu, Yuli langsung mengerutkan 
keningnya, lalu keduanya matanya tampak menatap 
latif  dengan tajam. "Huh! Sekarang aku baru 
merasakan sendiri kebusukanmu. Sekarang aku 
benar-benar yakin siapa kau sesungguhnya, kau 
memang bukan manusia, kau hanyalah seekor 
 
binatang yang tak bermoral. Rupanya waktu itu kau 
telah membohongiku agar aku bersimpati dan mau 
menyerahkan koin emas itu padamu." 
"Ha ha ha…! Kau memang wanita bodoh, Yul. 
Selama ini kau mengira aku ini pria baik-baik, kan? 
Sebenarnya perhatianku selama ini hanya untuk 
membuatmu simpati, dan aku melakukan semua itu 
semata-mata ingin mendapatkan dirimu. Selama ini 
aku memang sangat menyukaimu, dan aku ingin 
sekali menikmati tubuh indahmu itu," kata latif  sambil 
tersenyum dengan mata penuh birahi. 
"Kurang ajar kau, latif !!! Bemartini nya kau berkata 
begitu," ujar Yuli sambil  berdiri dari duduknya, kedua 
matanya tampak melotot tajam. 
"Tenang Manis… jangan galak begitu dong!" pinta 
latif  sambil  ikut berdiri. "Ayolah… bukankah lebih baik 
kita nikmati malam ini bersama-sama!" ajaknya 
kemudian sambil  menarik lengan Yuli dan 
mendekapnya erat, kemudian dia berusaha untuk 
menciumnya.  
 Mendapat perlakuan itu, Yuli segera meronta dan 
menampar pipi pemuda itu dengan begitu keras, 
kemudian berdiri menjauh dan menatapnya dengan 
sangat marah. Sementara itu latif  tampak mengusap-
usap pipinya yang terasa panas, sedangkan kedua 
matanya tampak membalas tatapan Yuli dengan mata 
yang berapi-api.  
"Dasar perempuan sialan!" maki latif  sambil  
menghampiri gadis itu dan menamparnya dengan 
keras sekali. Tak ayal, Yuli langsung terpelanting dan 
jatuh di lantai, dari celah bibirnya tampak mengalir 
darah segar yang membasahi sebelah pipinya.  
Yuli tampak meringis kesakitan, tubuhnya terasa 
begitu lemas dan tak berdaya. Melihat itu, latif  segera 
membopongnya ke kamar atas dan langsung 
menjatuhkannya di atas tempat tidur. sekarang  pemuda itu  sedang berdiri sambil menatap tubuh Yuli dengan  begitu bernafsu. Tak lama kemudian dia sudah  berlutut di atas tubuh sintal itu, kedua tangannya  tampak memegang kedua tangan Yuli dengan begitu  erat.  Menyadari apa yang akan dilakukan latif , Yuli  segera meronta sekuat tenaga, namun perbuatannya  itu sia-sia belaka—baginya pegangan latif  terasa 
begitu kuat. Sebagai wanita yang lemah, hal itu justru  akan menghabiskan energinya saja. Akhirnya Yuli  menyadari itu, sekarang  dia sudah tidak meronta lagi, dia  menunggu kesempatan untuk menggunakan sisa  tenaganya. Sementara itu latif  mulai menciumi leher  Yuli, dan Yuli cuma bisa pasrah menerima perlakuan 
itu, namun dalam hati dia terus mengumpat atas 
kebiadaban pemuda itu.   
Karena Yuli sudah tak meronta lagi, akhirnya latif  
melepaskan pegangan tangannya, namun kakinya 
masih tetap mengapit tubuh Yuli dengan erat. sekarang  dia 
tampak mengeluarkan koin emas milik Yuli dari dalam 
dompetnya. "Sayang… Bukankah kau begitu 
menginginkan koin ini," katanya sambil  menunjukkan 
koin itu kepada Yuli. "Aku janji… sesudah  kita 
menikmati sorga dunia ini, dan sesudah  aku 
melenyapkan arwah keparat itu, aku pasti akan 
mengembalikan koin ini padamu." 
 "Tidak!!! Aku tidak akan rela menyerahkan 
kegadisanku padamu," teriak Yuli sambil  meludahi 
wajah pemuda itu.  
Mendapat perlakuan itu, latif  langsung 
menamparnya dengan keras sekali, kemudian 
menjambak rambutnya yang panjang sebahu. "Jangan 
sekali-kali lagi kau meludahiku Yul! Terus terang aku 
bisa membunuhmu karenanya," kata latif  sambil  
memandangnya dengan begitu murka.  
Saat itu Yuli cuma bisa merintih kesakitan, isak 
tangisnya pun terdengar cukup memilukan.  Yuli cuma 
bisa menangis dan menangis, sungguh dia tidak bisa 
berbuat apa-apa saat  latif  mulai membuka kancing 
bajunya satu per satu.  
latif  terus membuka kancing baju Yuli dengan 
tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tampak 
memainkan koin emas di seputar wajah Yuli. saat  
latif  hendak melepas kancing baju Yuli yang terakhir, 
tiba-tiba sebuah vas bunga melayang dan 
menghantam kepala latif  dengan kerasnya. Tak ayal, 
tubuh latif  langsung tersungkur di sisi Yuli. 
 Bersamaan dengan itu, koin emas yang ada di 
genggamannya terlepas sesaat .  
Menyadari kesempatan itu, Yuli segera bangun 
dan mengambil koin emas miliknya, kemudian segera 
berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, 
latif  yang baru saja bangkit langsung mengejarnya, 
dia melihat gadis itu sedang berlari ke arah tangga 
yang menuju ke lantai bawah.  
Sungguh sangat disayangkan, Yuli yang masih 
dalam keadaan lemah tiba-tiba saja terjatuh. saat  
dia baru saja berdiri, tiba-tiba latif  sudah memegang 
tangannya. "Kau mau ke mana, Sayang...? Bukankah 
urusan kita belum selesai," kata pemuda itu sambil  
berusaha keras mengambil koin emas dari tangan 
Yuli. Saat itu Yuli tampak mempertahankannya 
dengan sekuat tenaga, dia tampak 
menyembunyikannya di balik punggung.  
latif  yang sudah kian gelap mata segera mencekik 
leher Yuli dengan sekuat tenaga, sepertinya dia sudah 
tidak ragu-ragu lagi untuk membunuhnya. Yuli yang 
dicekik begitu rupa merasakan nafasnya kian 
bertambah sesak, darahnya pun seakan mulai 
berhenti mengalir. Dalam keadaan kritis itu, tiba-tiba 
sebuah guci melayang dan langsung menghantam 
tubuh latif  dengan kerasnya. Tak ayal, tubuh pemuda 
itu langsung tersungkur bersamaan dengan suara 
pecahan guci yang hancur berkeping-keping. Pada 
saat yang sama, Yuli tampak terbatuk-batuk, 
kemudian dengan segera dia berlari meninggalkan 
pemuda itu.  
Yuli masih terus berlari—dia berlari sambil  
menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Pada 
saat yang sama latif  sudah berdiri kembali, wajahnya 
yang tampan tampak masih meringis kesakitan. 
Namun saat  dia hendak mengejar buruannya, tiba-
tiba saja sosok martini  muncul di hadapannya. 
"latif ii…!!!" serunya dengan suara yang begitu parau. 
Saat itu latif  sangat ketakutan melihat wajah martini  
tampak begitu mengerikan. Wajah yang berlumuran 
darah itu tampak begitu pucat, kedua bola matanya 
tampak mencuat ke luar, sementara itu giginya yang 
runcing tampak menyeringai buas.  
 latif  yang masih tampak ketakutan segera mundur 
menjauh. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja benda-
benda keramik yang ada di ruangan itu tampak 
melayang-layang, kemudian jatuh di sekitar pemuda 
itu dengan suara pecahan yang terdengar hingga ke 
luar rumah. 
latif  yang mengalami peristiwa itu tampak 
gemetar hebat, wajahnya yang tampan tampak begitu 
pucat. "Tolong jangan kauganggu aku, martini ...! Ma-
ma-maafkanlah aku…!" mohon pemuda itu dengan 
terbata-bata, sedangkan kakinya terus melangkah 
mundur ke langkan. 
 martini  yang sudah begitu murka tidak 
mempedulikan kata-katanya, dia terus mendekati 
pemuda itu hingga akhirnya tertahan di tepi langkan. 
Sementara itu di luar rumah, Yuli tampak sedang 
mengendarai mobilnya melewati pintu gerbang. 
Wajahnya yang cantik tampak masih terlihat tegang, 
namun dalam hati dia bersyukur karena berhasil 
melarikan diri dari kebiadaban pemuda yang mau 
memperkosanya.  
 Yuli terus melaju—memacu mobilnya menjauhi 
rumah latif . Pada saat yang sama, satpam yang 
bertugas di rumah itu tampak berlari memasuki 
rumah, dia berniat memeriksa suara pecahan yang 
didengarnya saat  sedang membukakan pintu untuk 
Yuli.  
Setibanya di ruang tengah, satpam itu tampak 
terkejut. Dilihatnya sang Majikan sedang terjatuh dari 
lantai atas. Tubuhnya meluncur cepat dan jatuh 
menimpa meja kaca di bawahnya. saat itu latif  tewas 
sesaat  dengan tubuh yang sangat mengenaskan. 
Kepalanya pecah dengan kedua mata yang tampak 
melotot, sedangkan wajahnya yang terkena serpihan 
kaca tampak hancur mengerikan. Dari mulut, hidung, 
dan telinganya tampak keluar darah yang terus 
mengalir.  
Sementara itu di tempat lain, soebandrio   tampak 
sedang duduk termenung di ruang tamu, dia tampak 
begitu sedih karena putri tunggalnya belum juga 
ditemukan. "martini , Ayah benar-benar menyesal karena 
tidak mau berterus terang kepadamu. Andai saja 
waktu itu Ayah mau berterus terang, mungkin saat ini 
kau masih bersama Ayah, Nak." soebandrio   membatin. 
Kemudian dengan perasaan yang teramat bersalah 
soebandrio   tampak menjambak rambutnya sendiri.  
Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba soebandrio   mendengar 
suara ketukan pintu, kemudian disusul dengan suara 
orang yang memberi salam. Mendengar itu, soebandrio   
segera membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia 
saat  melihat siapa yang datang, ternyata yang 
datang itu martini  beserta seorang ibu yang sedang 
menggendong bayi.  
Pada saat itu soebandrio   langsung memeluk putrinya 
dengan penuh rasa haru, "Kau ke mana saja, Nak? 
Ayah sudah sangat mengkhawatirkanmu, Sayang..." 
tanya soebandrio   sambil terus memeluk putrinya. 
Sementara itu martini  cuma terdiam, dia tidak merespon 
pelukan ayahnya sebagaimanamestinya.  
"Kau kenapa, Sayang..." tanya soebandrio   sambil  melepaskan pelukannya, kemudian dia menatap 
wajah putrinya yang tampak begitu dingin. 
 martini  tidak menjawab, dia masih diam membisu. 
Melihat itu, soebandrio   kembali bicara, "O... sekarang 
Ayah mengerti. Kau pasti sudah salah paham tentang 
Ayah, dan semua itu karena Ayah tidak mau berterus 
terang padamu," kata soebandrio   sambil  membelai 
rambut putrinya. "martini ... maafkan Ayah, Nak! Ayah 
memang sudah bersalah karena tidak mau berterus 
terang, dan Ayah berjanji akan menjelaskan 
semuanya itu kepadamu," lanjutnya kemudian. 
Mendengar itu, martini  merasa sedikit tenang, 
namun raut wajahnya masih tetap terlihat begitu 
dingin. soebandrio   menyadari kalau putrinya masih 
belum bisa mempercayainya, kemudian dia berusaha 
untuk meyakinkannya sekali lagi. Karena soebandrio   
berkata dengan penuh kesungguhan, akhirnya martini  
mau mempercayainya. Mengetahui hal itu, soebandrio   
terlihat senang, kemudian dia segera mengajak 
keduanya untuk masuk, dan tak lama kemudian 
mereka sudah duduk di ruang tamu.  
sekarang  soebandrio   tampak sedang berbincang-bincang 
dengan si Ibu yang sudah membawa putrinya pulang. Sementara itu, martini  terlihat sedang membuatkan 
minum. sesudah  menyuguhkan minuman yang 
dibuatnya, martini  tampak melangkah ke teras depan 
dan duduk termenung di tempat itu. sekarang  dia sedang 
memikirkan perihal ayahnya yang sudah berjanji akan 
menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pada saat 
yang sama, soebandrio   masih berbincang-bincang 
dengan si Ibu yang ternyata seorang penjual sayur, "O... jadi begitu, Bu," kata soebandrio   saat  mengetahui 
kalau si Ibu mengenal putrinya saat  di bis kota, dan 
beliau menemukan martini  sekitar pukul empat pagi.  
"Benar, Pak. Waktu itu kebetulan saya hendak 
berangkat untuk belanja sayuran di pasar, dan betapa 
terkejutnya saya saat  melihat seorang gadis sedang 
menangis di pinggir jalan. Pada mulanya saya tidak 
mengenali dia, tapi saat  saya perhatikan dengan 
seksama akhirnya saya mengenalinya. Waktu itu 
wajahnya tampak begitu murung. Saat itu saya bisa 
merasakan beban berat yang sedang dihadapinya. 
Karena saya sudah mengenal siapa martini , saya pun 
segera mengajaknya pulang ke rumah. Dan 
 sesampainya di rumah, saya meminta martini  untuk 
menceritakan kesusahannya. sesudah  martini  bercerita, 
akhirnya saya bisa mengetahui duduk perkaranya. 
Karenanyalah saya merasa berkewajiban untuk 
membantunya. Namun saat  saya mengajaknya 
pulang ke rumah Bapak, martini  menolak, dan sesudah  
saya bujuk, akhirnya martini  mau pulang, namun dengan 
syarat saya mau berbicara dengan Bapak agar mau 
menceritakan perihal semua kejadian aneh yang telah 
martini  ceritakan itu. Karena tadi saya dengar Bapak 
sudah mau menceritakannya, saya rasa sudah tidak 
perlu lagi untuk memintanya. O ya, Pak. Sekarang 
sebaik saya pamit pulang! Saya tidak bisa lama-lama 
karena suami saya pasti sedang menunggu. Lagi 
pula, Bukankah Bapak harus segera menceritakan hal 
yang sebenarnya kepada martini ." 
"Baiklah, Bu. Sekali lagi saya katakan banyak 
terima kasih."  
"Sama-sama, Pak. Permisi!" kata si Ibu sambil  
beranjak dari duduknya, kemudian melangkah 
menghampiri martini  yang saat itu masih duduk di teras  depan. "martini , kau jangan lari lagi ya, Nak! Kasihan  ayahmu, dari tadi pagi beliau sudah mencarimu 
sampai ke mana-mana, dan beliau sangat 
mengkhawatirkanmu." 
martini  tampak mengangguk, kemudian memeluk si 
ibu sambil  mengkatakan banyak terima kasih. 
Beberapa saat kemudian, si Ibu tampak sudah 
meninggalkan tempat itu. Pada saat yang sama, martini  
dan ayahnya tampak duduk berdua di teras depan. 
Sesuai dengan janjinya, soebandrio   segera 
menceritakan peristiwa yang selama ini dipendamnya. 
"martini …" katanya dengan lembut. Belum sempat 
soebandrio   melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar 
suara burung di samping rumahnya.  
soebandrio   dan putrinya langsung memusatkan 
pendengaran ke asal suara itu. Pada saat itu martini  
tampak terpaku mendengarnya, sedangkan soebandrio   
tampak beranjak bangun untuk memeriksa. sekarang  lelaki 
itu sedang melangkah menuju ke samping rumah 
yang tampak begitu gelap. Betapa terkejutnya dia 
 saat  melihat sosok istrinya tampak sedang berdiri di 
tempat itu.  
"martini …!" seru soebandrio   menyapa mendiang 
istrinya.  
Mendengar ayahnya menyebut nama sang Ibu, 
martini  sektika terkejut, kemudian dengan segera dia 
berlari menghampiri soebandrio   dan melihat apa yang 
dilihat ayahnya. Saat itu sosok martini  sudah tak terlihat 
lagi. Saat itu martini  tampak heran sambil mengamati ke 
sekelilingnya. "Ada apa, Ayah? Kenapa barusan Ayah 
menyebut nama Ibu?" tanya martini  bingung.  
soebandrio   memandang martini  dengan sorot mata 
yang penuh kebimbangan. Namun karena dia sudah 
berjanji untuk tidak menutup-nutupinya, maka dia pun 
segera berterus-terang, "Nak… Tadi Ayah sedang 
menyapa ibumu," jawabnya pelan. 
martini  tampak terkejut, dia sama sekali tidak 
menyangka akan hal itu. sekarang  dia menatap mata 
ayahnya dengan dahi agak berkerut, "Ja-jadi Ibu…"   
"Iya, Nak. Ibumulah yang telah membuat 
kejanggalan-kejanggalan selama ini. Dia memang 
 sering datang untuk menjenguk kita," jelas soebandrio   
memotong perkataan putrinya. 
Saat itu martini  bukannya senang akan kejujuran 
soebandrio  , tapi justru membuatnya begitu kecewa. 
"Tidak mungkin, Ayah… Tidak mungkin!!!" kata martini  
sambil  memandang ayahnya dengan sorot mata yang 
begitu tajam. "Dengar Ayah…! Ibu telah pergi 
meninggalkan kita, dan beliau sudah tenang di alam 
sana. Beliau tidak mungkin bangkit dari kuburnya dan 
menjadi hantu gentayangan. Kenapa Ayah memfitnah 
Ibu demi untuk menutup-nutupi perbuatan Ayah?" 
lanjutnya tidak mau mempercayai kenyataan itu. 
soebandrio   kebingungan, dia tidak tahu bagaimana 
cara membuktikan hal itu dan membuat putrinya 
percaya. sekarang  dia melangkah dan mendekap tubuh 
martini  dengan penuh kasih sayang. "Ayah mengerti 
kata-katamu, Nak. Tapi percayalah... selama ini arwah 
ibumu memang selalu datang ke rumah kita," jelas 
soebandrio   sambil  membelai-belai rambut putrinya. 
Tiba-tiba martini  melepaskan diri dari dekapan sang 
Ayah dan langsung mundur selangkah, "Ayah bohong! 
 Ayah tidak mengatakan hal yang sebenarnya," kata 
martini  lirih. 
"Percayalah, Sayang...! Karenanyalah selama ini 
Ayah selalu menutup-nutupinya. Dari semula Ayah 
sudah bisa menduga kalau kau tidak akan bisa 
mempercayainya. Terbukti saat ini kau tidak mau 
menerima kenyataan yang sebenarnya, dan semua itu 
karena Ayah tidak memiliki  bukti yang bisa 
membuatmu yakin." 
"Apa benar semua yang Ayah katakan itu?" tanya 
martini  ragu. 
soebandrio   mengangguk, kemudian melangkah 
menghampiri putrinya, "martini ... surat yang kau 
tanyakan tempo hari adalah surat dari ibumu," 
katanya  kemudian. 
"Ja-jadi… surat itu dari Ibu?" tanya martini  seakan 
tidak percaya.  
"Iya, Sayang..." jawab soebandrio   singkat. 
"Tapi... kenapa Ibu melakukan semua itu?" tanya 
martini  masih belum mengerti. 
 "Kalau begitu, mari kita duduk kembali! Ayah akan 
menjelaskan semuanya padamu," pinta soebandrio   
lembut. 
Akhirnya mereka kembali duduk di kursi teras. 
Tak lama kemudian, soebandrio   mulai menceritakan 
perihal kehadiran sosok martini  selama ini. Baru saja 
dia selesai bercerita, tiba-tiba angin kencang datang 
menderu-deru. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh 
dengan gaun putih yang berkibar-kibar tampak 
melayang turun di muka rumah. sekarang  sosok itu tampak 
tersenyum kepada mereka berdua. Melihat itu, martini  
segera bangkit dan menatapnya dengan mata tak 
berkedip.   
"I-Ibu…!" Seru gadis itu tiba-tiba.  
“Anakku…" sapa martini  sambil  menatap wajah 
putrinya dengan lembut. 
"Ibu... martini  sayang sama Ibu," kata martini  sambil  
menitikkan air matanya. 
 "Ibu juga, Nak... Ibu sangat menyayangimu, dan 
Ibu berharap kau juga selalu menyayangi ayahmu," kata sosok ibunya lembut, kemudian dengan serta-
merta dia melayang naik dan hilang sesaat .  
"Ibuuu….!!!" panggil martini  lirih, kemudian dia 
menangis tersedu-sedu. 
martini  masih saja menangis, saat itu dia tampak 
berlari kesana-kemari mencari soosk ibunya itu—
matanya yang basah terus memandang ke segala 
arah, sedangkan mulutnya tak berhenti memanggil. Selama ini martini  sudah sangat merindukan ibunya, dan 
dia merasa begitu kehilangan saat  sosok ibunya 
pergi dengan begitu tiba-tiba.  
soebandrio   yang melihat putrinya seperti itu 
berusaha untuk menenangkannya, kemudian 
memeluknya dengan segenap perasaan sayang. martini  
segera membalas pelukan ayahnya dengan sangat 
erat—dia berusaha keras untuk melepaskan semua 
kesedihannya.  
martini  terus menangis di pelukan ayahnya, air 
matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi 
kedua pipinya, "Maafkan martini , Ayah! martini  sudah tidak 
percaya sama Ayah," katanya lirih. 
 "Sudahlah Sayang…! Kau tidak perlu meminta 
maaf. Ayah maklum kalau kau memang cuma salah 
paham," kata soebandrio   sambil  membelai rambut 
putrinya dengan penuh kasih sayang, 
"Terima kasih, Ayah…!" kata martini  sambil  
melepaskan pelukan dan memandang ayahnya 
dengan mata yang berbinar-binar. 
soebandrio   membalasnya dengan sebuah senyum 
yang membuat martini  merasa begitu damai. Tiba-tiba 
saja, di wajah martini  tersungging senyum keceriaan. 
"Terima kasih, martini … kau telah mengembalikan 
Keceriaan putri kita," kata soebandrio   dalam hati, kemudian dia segera mengajak putrinya untuk masuk 
ke rumah. 
sekarang  mereka sudah berada di kamar masing-
masing. Saat itu soebandrio   tampak sudah terlelap di 
tempat tidurnya, sedangkan martini  baru saja akan 
merebahkan diri. Tak lama kemudian, dia  pun terlelap  bersama mimpi-mimpinya.   
 Esok paginya cuaca tampak cerah, burung-burung 
terdengar berkicau dengan merdunya. Yuli yang baru 
saja bangun tidur tampak sedang merenggangkan 
persendiannya, kemudian beranjak bangun dan 
membuka jendela. Pada saat yang sama, cahaya 
matahari yang hangat menebus masuk menyinari 
sebagian ruang kamar.  "Oh, segarnya udara pagi ini," 
kata Yuli sambil  menghirup udara pagi dalam-dalam.  
Tidak biasanya Yuli bangun sepagi ini, biasanya 
dia baru bangun sekitar pukul 9.00 WIB. sekarang  gadis itu 
sudah siap untuk pergi mandi, namun saat  sedang 
melangkah ke kamar mandi, dia berpapasan dengan 
pembantunya yang tampak memperhatikannya 
dengan sedikit heran.   
"Tumben, Non. Pagi-pagi sudah bangun," 
komentarnya sambil garuk-garuk kepala. 
Mendengar itu, Yuli langsung angkat bicara, 
"Sudah deh, Mang. Jangan banyak komentar, lebih 
baik sekarang kaupersiapkan sarapan untukku!" 
pintanya dengan nada kesal. 
"Ba-baik, Non," kata pembantunya agak terbata. 
 Yuli melanjutkan langkahnya. Setibanya di kamar 
mandi, matanya langsung tertuju ke arah tulisan di 
cermin—tulisan tangan yang ditulis pada cermin yang 
berembun. "Yuli, maafkan kalau malam itu aku telah 
membuatmu takut! Aku harap kau tidak lupa untuk 
pergi menemui martini !" Begitulah bunyi tulisan itu. 
Yuli merinding sesaat , dia sadar kalau martini  
telah mengingatkannya untuk segera menemui martini . 
Lantas dengan perasaan yang masih merinding, Yuli 
bergegas mandi. Sesekali matanya tampak was-was 
mengawasi sekitarnya, khawatir kalau-kalau sosok 
martini  masih berada di tempat itu.  
Selesai mandi, Yuli langsung berpakaian dan 
bergegas menuju ke meja makan. Pada saat yang 
sama, pembantunya datang dengan membawakan 
sarapan pagi. sekarang  si pembantu tampak berdiri si 
samping Yuli dengan wajah penuh keingintahuan. 
"Memangnya, mau ke mana, Non?" tanyanya sambil 
cengengesan. 
"Kau ini mau tahu saja," kata Yuli tidak mau 
memberitahu. 
 "Bukan apa-apa, Non! Kalau tuan dan nyonya 
bertanya, saya harus jawab apa?" jelas pembantunya. 
"Baiklah... bila mereka tanya, bilang saja aku 
sedang pergi ke rumah teman!"  
"Kalau begitu, baik Non."  
Kemudian si pembantu tidak berkata-kata lagi, dia 
langsung pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang 
lain. Pada saat yang sama, Yuli mulai menikmati 
sarapan paginya—sepotong roti bakar dan segelas 
susu.  Sementara itu di tempat lain, martini  dan 
soebandrio   juga sedang sarapan. Mereka sedang 
menikmati singkong rebus yang pagi-pagi sekali 
sudah di cabut oleh soebandrio   dari kebun belakang.  
Selesai sarapan, keduanya tampak bersantai di 
teras depan, kemudian mereka mulai berbincang-
bincang. "Yah, sekarang kan hari libur. Bagaimana 
kalau kita pergi ke makam ibu?" tanya martini  tiba-tiba. 
"Hmm... kau merindukannya?" soebandrio   balik 
bertanya. 
"Betul, Ayah. Entah kenapa tiba-tiba martini  ingin 
mengunjungi Ibu?" 
 "Kalau begitu, Ayah sih setuju saja. Nah, 
bagaimana kalau sekarang kau memetik bunga untuk 
keperluan nyekar!" Saran soebandrio   sambil  mengambil 
surat kabar pagi dan mulai membacanya. 
Sementara itu, martini  tampak bergegas mengambil 
keranjang kecil dan langsung melangkah ke 
pekarangan samping untuk memetik bunga-bungaan 
yang biasa digunakan untuk pergi berziarah. 
Beberapa menit kemudian, keduanya tampak sudah 
berangkat menuju ke makam martini . 
Setibanya di makam, mereka melihat sang Kakek 
juru kunci sedang berada di makam tersebut. "Sedang 
apa beliau?" tanya soebandrio   kepada putrinya. 
"Mungkin beliau habis membersihkan makam Ibu, 
Yah." 
"Kalau begitu, lekas kita ke sana!" ajak soebandrio   sambil  mempercepat langkah kakinya. 
Tak lama kemudian, keduanya sudah berdiri di 
belakang sang Kakek. "Selamat pagi, Kek!" kata martini  
kepada sang Kakek yang masih saja sibuk 
membersihkan makam.  
 Sang kakek terkejut, kemudian lekas-lekas 
menoleh. "Oh kalian," katanya sambil  tersenyum. 
Kemudian beliau memperkenalkan diri dan 
bercerita sedikit tentang jati dirinya. soebandrio   dan martini  
tampak senang mendengarkan penuturan sang 
Kakek. Tak lama kemudian, mereka sudah terlihat 
akrab. sekarang  mereka sedang menaburkan bunga di atas 
makam dan berdoa bersama-sama. sesudah  itu, 
mereka segera menuju ke makam orang tua martini  
dan berdoa di tempat itu. 
Selesai berdoa, mereka tampak melangkah 
menuju ke pohon kamboja yang cukup rindang. Di 
bawah keteduhan pohon itulah, sang Kakek segera 
menceritakan perihal sosok martini  kepada keduanya. 
Pada saat itu soebandrio   dan martini  tampak 
mendengarkan penuturan sang Kakek dengan begitu 
antusias.  
Dalam ceritanya, sang Kakek menjelaskan kalau 
yang melakukan semua kejadian yang mereka alami, 
seperti angin besar dan lain-lain bukanlah pekerjaan 
martini . Semua itu adalah pekerjaan Qarin martini , jin , pendampingnya yang ingin menyesatkan soebandrio   dan  martini , dia juga dibantu oleh jin fasik yang memiliki   kekuatan besar. Maklumlah, qarin orang beriman  sangat lemah, karena ia jarang menyerap energi dari  yang didampinginya. Berbeda dengan qarin orang 
yang sesat, mereka bisa sangat kuat lantaran sering 
menyerap energi dari orang yang didampinginya.  
Biasanya qarin hanya diberi izin selama 40 hari 
untuk menuntaskan kehendaknya, sebab energi yang 
diperlukan untuk berinteraksi manusia sangatlah 
besar. Sebenarnya tujuan Jin fasik yang membantu 
Qarin martini  juga ingin menyesatkan manusia, agar 
manusia percaya dengan adanya arwah yang 
gentayangan, apa lagi jika manusia sampai 
menyediakannya kopi manis dan kopi pahit. Maka jin 
fasik akan semakin bertambah kuat. Begitulah lihainya 
mereka dalam usaha menyesatkan manusia agar bisa 
diserap energinya. Seolah mereka itu berbuat baik 
dan menolong, padahal pada hakekatnya justru 
menyesatkan. 
 Selama ini arwah martini  sudah berada di alam 
barzakh, menunggu hari kebangkitan. Ketahuilah, 
bahwa sesungguhnya tidak ada arwah yang 
gentayangan. Sebab, saat  seseorang di kubur dia 
akan diminta untuk menjawab pertanyaan malaikat. 
sesudah  itu, bagi orang yang beriman akan mengalami 
tidur panjang, sedangkan mereka yang tidak beriman 
akan mengalami siksa kubur.  
 Bukhari Muslim 1667 Diriwayatkan daripada Anas 
bin Malik r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: bila  
seseorang hamba dikebumikan di dalam kuburnya 
kemudian ditinggalkan oleh kawan-kawannya nescaya 
dia akan mendengar bunyi hentakan tapak kasut 
mereka. Seterusnya dia akan didatangi oleh dua 
malaikat lalu mendudukkannya dan bertanya: Apa 
pendapatmu tentang lelaki ini iaitu Nabi Muhammad 
s.a.w?. Baginda bersabda lagi: Sekiranya dia seorang 
mukmin, nescaya dia akan menjawab: Aku bersaksi 
bahawa dia hamba Allah dan pesuruhNya. Lalu 
diberitahu kepadanya: Lihatlah tempatmu di Neraka, 
 sesungguhnya Allah telah menggantikannya dengan 
Syurga. Nabi s.a.w bersabda: Dia dapat melihat 
kedua-duanya iaitu Syurga dan Neraka 
 Bukhari Muslim 325 Diriwayatkan daripada Aisyah 
r.a katanya: Dua orang perempuan tua dari kaum 
Yahudi Madinah telah datang menemuiku. Kedua 
perempuan itu berkata: Sesungguhnya ahli kubur 
akan di azab dalam kubur mereka. Lalu Aisyah 
berkata: Kamu berdua ini penipu dan aku tidak mahu 
membenarkan kata-kata mereka itu, maka kedua-dua 
perempuan itu meninggalkan aku. sesudah  itu 
Rasulullah s.a.w datang lalu aku berkata kepada 
baginda: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dua orang 
perempuan tua dari kaum Yahudi Madinah telah 
datang menemuiku dan mereka mengatakan bahawa 
ahli kubur akan di azab di dalam kubur mereka. Lalu 
Rasulullah bersabda: Memang benar kedua-dua orang 
perempuan Yahudi itu akan di azab, hanya binatang 
sahaja yang dapat mendengar azab itu. Aisyah 
berkata lagi: Aku selalu mendengar Rasulullah s.a.w   memohon perlindungan dari azab kubur saat  
baginda sembahyang   Ketahuilah, bahwa orang yang sudah meninggal  akan terputus amalnya, jadi tidak mungkin kembali  untuk menolong. Jangankan arwah manusia, Jin fasik 
saja, pada hakekatnya tidak akan mampu menolong 
manusia, sebab mereka sangat lemah, tentunya jika 
tidak ada energi dari manusia yang berhasil 
diserapnya. Dan sistem penyerapan energi manusia 
ini sudah dirancang sedemikian rupa, yaitu jika ada 
manusia yang meminta tolong kepada mereka, maka 
manusia akan terserap energinya. Karena itulah tidak 
diperbolehkannya manusia meminta tolong kepada 
bangsa Jin,  sekalipun Jin itu mengaku muslim. Sebab 
pada hakekatnya tidak ada Jin muslim yang akan 
bersedia membantu manusia, kecuali ia sudah 
menjadi fasik. Rasulullah pun pernah ditawarkan 
bantuan oleh Jin, namun beliau menolak lantaran 
sudah memahami hakikat sejatinya. Sebaik-baiknya 
Jin fasik, adalah sejahat-jahatnya manusia.  
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu 
menjelaskan: “Banyak di antara mereka yang bisa 
terbang di udara, dan setan telah membawanya (ke 
berbagai tempat, -pent.), terkadang ke Makkah dan 
selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq, 
menolak shalat dan menentang perkara-perkara lain 
yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, 
serta menghalalkan segala yang telah diharamkan 
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. 
 Begitulah lihainya setan dari bangsa Jin, yang 
bersedia membantu manusia karena kekafiran, 
kefasikan, dan maksiat yang dilakukannya. Kecuali 
bila dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala 
dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten dalam 
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan 
Rasul-Nya. (Jika dia demikian,) niscaya setan akan 
meninggalkannya dan segala ‘pengaruh’ pada dirinya 
akan hilang baik berupa penyampaian berita atau 
amalan-amalan lain.  
 Karena itu janganlah berbangga hati jika bisa 
melihat dan berkomunikasi dengan setan dari bangsa 
Jin, bahkan bisa mendapat kabar ini-itu, dan juga 
memiliki  kesaktian yang bisa ini-itu. Ketahuilah, 
sesungguhnya semua itu hanyalah tipu daya mereka 
guna menyesatkan manusia. 
 Al Jin 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang 
laki-laki di antara manusia meminta perlindungan
 kepada beberapa laki-laki di antara jin,  maka jin-jin itu 
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Ada di antara orang-orang Arab bila mereka melintasi 
tempat yang sunyi, maka mereka minta perlindungan kepada jin 
yang mereka anggap kuasa di tempat itu. 
 Al Jin 21. Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak 
kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun 
kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan." 
 Surat Al Jin ayat 21 inilah yang seharusnya kita 
amalkan, sebab dengan mengamalkan ayat ini pada  hakekatnya kita telah menutup pintu dimensi alam jin,  yaitu dengan cara tidak sekali-kali berinteraksi dengan  mereka. Sebab pada hakekatnya jin tidak kuasa 
mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepada 
manusia dan tidak (pula) suatu kemanfaatan. 
Begitupun manusia tidak kuasa mendatangkan 
sesuatu kemudharatanpun kepada jin dan tidak (pula) 
suatu kemanfaatan.  
Karenanyalah, jin muslim yang sudah memahami 
ayat tersebut tentu tidak mungkin bisa menolong 
manusia dengan bentuk apapun, sebab mereka 
memang tidak memiliki  energi untuk itu. Dan 
mereka juga tidak mungkin bisa diperintah, apa lagi 
diperbudak oleh manusia.  
Pengalaman Surat Al Jin ayat 21 inilah cara 
terbaik menghormati kehidupan mereka, yaitu tidak 
memberikan kesempatan kepada mereka untuk 
semakin menyesatkan manusia. Sudah cukup mereka 
merusak kehidupan dunia pada masa yang silam, dan 
sekarang adalah kesempatan manusia untuk menjadi 
khalifah dengan tanpa melibatkan mereka. Jika umat 
 manusia sudah banyak yang mengamalkan surat ini, 
maka para jin fasik tidak akan memiliki  kekuatan 
apa-apa untuk mengganggu manusia. Maka dengan 
demikian, secara otomatis kehidupan manusia akan 
menjadi lebih baik.  
Selain itu, untuk menjaga keharmonisan antara 
alam manusia dan alam jin (Dalam rangka 
mengamalkan Surat Al Jin ayat 21), manusia 
diwajibkan untuk senantisa berdoa dan memohon 
perlindungan hanya kepada Allah. Dengan memohon 
perlindungan kepada Allah, secara tidak langsung 
manusia telah membentengi diri untuk tidak 
berinteraksi dengan alam jin. Maklumlah, jika ada 
manusia yang melempar batu, membuang air panas, 
dan lain sebagainya ternyata bisa juga mengenai 
bangsa jin. Karenanyalah untuk membentengi 
manusia agar tidak lalai menggangu para jin, maka 
setiap melakukan berbagai tindakan yang bisa 
membahayakan bangsa jin, diharuskan mengkatakan 
bacaan basmalah lebih dahulu , dengan maksud agar 
perbuatan manusia itu tidak mengenai bangsa jin.  
 
Semua inilah sejatinya cara yang terbaik guna 
menghormati bangsa jin agar tidak merasa terganggu 
lantaran kecerobohan manusia yang tidak memahami 
keberadaan mereka. Bukannya dengan cara 
menyediakan ini-itu yang justru membuat mereka 
semakin kuat, dan ujung-ujungnya justru semakin 
mengganggu kehidupan manusia. 
Karena itulah, sudah saatnya kita meninggalkan 
budaya yang bisa membuat jin fasik justru bertambah 
kuat, yaitu dengan cara mengamalkan kitab suci al-Quran dengan sebenar-benarnya, salah satunya  adalah dengan mengamalkan Surat Al Jin ayat 21. 
sesudah  mendengarkan penjelasan itu, martini  dan 
soebandrio   tampak lega. Segala pertanyaan yang 
membingungkan telah terjawab sudah. sesudah  
berbincang-bincang sejenak, akhirnya Ayah dan anak 
itu kembali pulang ke rumah. 
Sepulang dari makam, soebandrio   tampak sibuk 
mengurus kebunnya yang berada di belakang rumah, 
sedangkan martini  asyik melamun seorang diri di 
kamarnya, dia masih saja memikirkan latif  yang 
 diketahuinya sudah memiliki  istri. Sepertinya dia 
masih sulit untuk menerima kenyataan itu. Sementara 
itu di muka rumah, sebuah sedan tampak memasuki 
pekarangan. Tak lama kemudian, pengemudinya yang 
ternyata seorang wanita tampak keluar dan 
melangkah ke pintu depan. sekarang  dia sedang mengetuk 
pintu dan mengkatakan salam.  
Mendengar itu, martini  segera keluar untuk 
menemuinya. Saat itu dia tampak terpaku 
memperhatikan wajah yang baru pertama kali 
dilihatnya. "Maaf! Anda siapa ya? Apa ada perlu 
dengan ayah saya?" tanyanya kepada wanita itu. 
"Kau martini  kan? O ya, kenalkan... namaku Yuli. 
Maksud kedatanganku kemari sebenarnya ada perlu 
denganmu," jawab wanita itu.  
"O... kalau begitu. Ayo... silakan masuk!" tawar 
martini  ramah. 
Yuli segera masuk, tak lama kemudian mereka 
sudah berbincang-bincang mengenai latif .  
"Benarkah apa yang kau katakan itu?" tanya martini  
ragu. "Sebenarnya ayahku pun sudah 
menceritakannya, namun di hatiku masih ada sedikit 
keraguan," sambungnya kemudian.  
"Sekarang kau tidak perlu ragu lagi martini , coba 
kaulihat foto ini," kata Yuli sambil  memberikan foto 
yang waktu itu diberikan oleh Maemi.  
sekarang  martini  tampak memperhatikan foto itu, hatinya 
terasa hancur berkeping-keping. Di sisi lain, dia 
merasa yakin kalau latif  memang pria busuk yang 
tidak pantas untuk dicintai. sesudah  mereka 
berbincang-bincang sejenak, akhirnya Yuli berpamitan 
untuk pulang. sekarang  martini  tengah mengantarkannya 
hingga ke muka rumah. "Hati-hati di jalan ya!" kata 
martini  sambil  melambaikan tangan kepada Yuli. 
sesudah  sedan yang ditumpangi Yuli menjauh, 
martini  pun bergegas ke teras dan duduk di tempat itu. 
Tak lama kemudian soebandrio   terlihat datang 
menghampirinya. "martini , siang nanti Ayah akan pergi 
ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Kau 
mau menitip apa, Nak?" tanya soebandrio    
"Tidak, Ayah. martini  tidak mau menitip apa-apa," 
jawab martini  terus terang. 
 "Ya sudah... kalau begitu ayo kita masuk," ajak 
soebandrio   kepada putrinya. 
"Tidak, Ayah. martini  masih mau di sini dahulu ." 
"Baiklah... sekarang Ayah masuk dahulu  ya," pamit 
soebandrio   sambil  melangkah masuk.  
sekarang  martini  tampak sedang melamun, rupanya dia 
sedang memikirkan pria yang waktu itu telah 
menggagalkan usaha bunuh dirinya. Siapa lagi kalau  bukan aidit , pria yang tiba-tiba saja hadir di dalam  benaknya.  
 Siang harinya soebandrio   berangkat ke pasar untuk 
membeli beberapa keperluan. Selang beberapa saat, 
sebuah sepeda motor terlihat memasuki pekarangan. 
sesudah  memarkir motornya, pemuda itu langsung 
melangkah ke teras, kemudian mengetuk pintu dan 
mengkatakan salam. 
martini  yang mengetahui ada tamu segera 
membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia saat  
mengetahui siapa yang datang, pemuda tampan yang 
sekarang  menarik hatinya. Siapa lagi kalau bukan aidit , 
pemuda tampan yang pernah menolongnya. sekarang  Yuli 
tampak terpaku melihat aidit  yang tersenyum 
kepadanya.  
"Kak aidit !" kata martini  seakan tidak percaya. 
"Ayo Kak, silakan masuk!" ajaknya kemudian. 
sesudah  mempersilakan aidit  duduk, martini  pun 
berpamitan untuk membuatkan minum. Sementara itu 
aidit  tampak sedang melihat-lihat keadaan ruang 
tamu, dia melihat sebuah foto keluarga soebandrio  .  "Hmm… keluarga yang berbahagia," duganya. 
Tak lama kemudian martini  datang membawakan 
minum, dia tampak memperhatikan aidit  yang 
sedang melihat foto keluarganya. "Itu ayah dan ibuku," jelasnya tiba-tiba.   aidit  agak terkejut dan segera berpaling. "O… kau, martini . Ngomong-ngomong, di mana mereka?" tanyanya kepada gadis itu.  "Ayahku sedang pergi ke pasar untuk membeli  beberapa keperluan dan akan kembali menjelang  malam nanti. Sedangkan ibu…." martini  tidak  melanjutkan kata-katanya, dia tampak terpaku melihat  sosok ibunya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di  belakang aidit . Saat itu sosok ibunya tampak  tersenyum, seolah-olah memberi isyarat bahwa  aidit lah orang yang pantas menjadi kekasihnya.  "Ibu…!" seru martini  menyapa sosok ibunya. "Iya martini . Ayolah katakan, di mana ibumu! " pinta aidit  yang merasa gadis itu terlalu lama  menggantung kalimatnya. 
martini  yang tersadar akan permintaan aidit  
segera menjawab, "Oh ya… I-Ibu… sudah sebulan 
lebih meninggal dunia," jawabnya sedikit gugup. 
"Oh… maafkan aku!" kata aidit  menyesal. 
martini  terdiam sesaat, dalam hati gadis itu terus 
bertanya-tanya mengenai arti senyuman sosok ibunya,  sebab dia menyadari kalau yang barusan dilihatnya  adalah Qarin martini  bukan arwah ibunya.  Sesungguhnya bisa saja apa yang diisyaratkannya  itu adalah kebenaran, namun kebenaran itu akan  ditambah dengan seratus kedustaan. Apalagi jika  sampai meyasekarang  kalau dia adalah arwah jelas akan  semakin menyesatkan.   sekarang  mata gadis itu tampak menatap aidit   dengan hangat, kemudian mengajak pemuda itu untuk  duduk kembali. Tak lama kemudian mereka, sudah  berbincang-bincang dengan begitu akrab.   sesudah  bosan ngobrol di ruang tamu, mereka  segera pindah ke teras depan, kemudian kembali  berbincang-bincang di tempat itu. saat  sedang  asyik-asyiknya ngobrol, mendadak HP aidit   berbunyi. Saat itu aidit  langsung menerimanya, 
"Hallo!" sapanya kepada orang di seberang sana. 
"aidit , nanti malam jadi kan kita jalan-jalan?" tanya  gadis yang meneleponnya.  
"Tentu saja, bukankah kita sudah sepakat," jawab 
aidit .  "Kalau begitu, sampai nanti ya," kata si Gadis  sambil  memberikan ciuman jauh. 
"Yuli! Tunggu...!"  tahan aidit  tiba-tiba. Tapi 
sayang... telepon sudah ditutup. martini  tampak terpaku, keningnya pun tampak berkerut saat  mendengar nama gadis yang disebut tadi.  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

ditulis tahun 2005 
artikel  ini gratis, siapa saja dipersilakan untuk 
menyebarluaskannya, cerita lain silakan kunjungi : 
www.bangbois.blogspot.com 
www.bangbois.co.cc