Oktober 06, 2023
Home »
arwah bobo
» Arwah bobo
Arwah bobo
Oktober 06, 2023
arwah bobo
soebandrio terpaku melihat istrinya. Dilihatnya
wanita itu tampak begitu cantik. Rambutnya
yang sepinggang dibiarkannya tergerai. Gaun cokelat yang dikenakannya pun tampak begitu serasi. sekarang Wanita itu duduk di sebelah soebandrio sambil meletakkan koper besar yang dibawanya. Koper itu diletakkan di lantai teras, bersebelahan dengan tempat duduknya.
"Kau cantik sekali, Sayang..." puji soebandrio sambil mengecup kening istrinya dengan mesra.
"Terima kasih, Bran!" kata martini sambil
tersenyum. "O ya, pukul berapa bismu akan berangkat?" tanya soebandrio . "Pukul 10.30 WIB," jawab martini . soebandrio melirik arlojinya, dilihatnya jam baru menunjukkan pukul 9.00 WIB. "Ngomong-ngomong, kapan Nak latif akan menjemputmu?" tanyanya kemudian.
"Sebentar lagi," jawab martini singkat.
Pada saat itu, putri mereka yang bernama martini
Dewina datang membawa tiga cangkir teh dan
langsung meletakkannya di atas meja. Bersamaan
dengan itu, sebuah sedan biru metallic tampak
memasuki pekarangan dan berhenti persis di muka rumah. Pengemudinya yang bertubuh tegap terlihat turun sambil tersenyum kepada keluarga soebandrio . Dialah latif , pemuda tampan yang akan menjemput martini . Sejenak pemuda itu melihat ke sekelilingnya—memperhatikan pekarangan yang tampak begitu asri, lalu dengan segera pemuda itu menghampiri mereka. "Selamat pagi, Pak, Bu!" katanya sambil berjabatan tangan dengan keduanya. "Selamat pagi, Nak latif Mari, Nak! Silakan duduk
dahulu !" tawar soebandrio ramah. "Iya, Nak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar. Masih ada cukup waktu kok," timpal martini sambil memandang pemuda itu sambil tersenyum tipis, kemudian pandangannya segera beralih ke arah martini .
"Nak, sana ambilkan minum!" pintanya kepada gadis itu. martini yang sejak tadi berdiri di samping ibunya langsung bergegas ke dapur. Sementara itu, latif , soebandrio , dan martini sudah duduk kembali. sekarang mereka tengah berbincang-bincang, mengisi suasana ceria
yang tampak menyelimuti keluarga itu. Beberapa
menit kemudian, martini sudah kembali. sesudah
menyuguhkan minuman yang dibawanya, dia pun ikut berbincang-bincang. Tak terasa 30 menit telah berlalu. "Wah, sudah pukul 9.30. Ayo, Nak latif Sudah saatnya kita berangkat," ajak martini tiba-tiba. latif melirik arlojinya, "Iya benar. Kalau begitu... mari, Bu!" kata latif sambil beranjak bangun dan bergegas membawa koper martini ke mobil. Pada saat yang sama, martini langsung berpamitan dengan suami dan putrinya, kemudian menyusul latif dan duduk di belakang. Bersamaan dengan itu, soebandrio dan putrinya tampak melambaikan tangan—melepas
kepergian orang yang begitu mereka cintai. Saat itu, martini pun segera membalas lambaian mereka sambil tersenyum lebar. sekarang latif dan martini sedang dalam perjalanan, keduanya berbincang-bincang dengan begitu
akrabnya. Membicarakan soal kuliah latif dan
mengenai hubungannya dengan martini . Lama mereka berbincang-bincang, hingga akhirnya mereka tiba di terminal Lebak Bulus. sekarang mereka sedang melangkah ke ruang tunggu terminal. Setibanya di tempat itu, tiba-tiba martini
menghentikan langkahnya. "Nak latif , kau tunggu di sini ya! Ibu mau ke toilet sebentar," pamitnya kepada pemuda itu. latif mengangguk, sesudah itu dia duduk di kursi yang berada dekat tiang penyangga. Beberapa menit kemudian, martini sudah kembali, saat itu dia melihat latif sedang berbicara melalui HP-nya. saat martini hendak menemuinya, tiba-tiba dia menangkap pembicaraan yang membuatnya sangat
penasaran. martini pun tidak segera menemui pemuda itu, dia justru berdiri di balik tiang penyangga untuk mendengarkan pembicaraan itu lebih lanjut. Lama juga martini mendengarkan percakapan latif yang bicara lewat HP, hingga akhirnya... "Ya… iya… terus...? ...baiklah kalau begitu! Aku janji, besok pagi aku pasti pulang ke Tokyo. Sudah ya! Bye…" kata latif sambil memutuskan sambungan dan segera menyimpan HP-nya. Sementara itu, martini masih berdiri di tempatnya, dalam hati dia terus bertanya-tanya. sesudah berpikir sejenak, akhirnya dia bergegas menemui pemuda itu. "Maaf ya, Nak latif Ibu agak lama," katanya kemudian.
"Tidak apa-apa kok, Bu. Mari...!" ajak latif sambil
mengangkat koper yang tadi diletakkannya.
Tak lama kemudian, keduanya sudah tiba di bis
yang akan mengantar martini .
"Terima kasih ya, Nak. Kau sudah mau
mengantarkan Ibu," kata martini sambil tersenyum ramah. latif pun tersenyum, "Sama-sama, Bu. O ya, Bu. Kalau begitu, saya pulang sekarang," pamit pemuda itu kemudian.
"Iya Nak, hati-hati ya!" pesan martini sambil
memperhatikan kepergian pemuda itu.
sekarang martini tampak menaiki bis dan duduk
menunggu. Beberapa menit kemudian, bis yang
ditumpangi martini tampak mulai bergerak
meninggalkan terminal. Selama di perjalanan, martini terus bertanya-tanya mengenai percakapan latif beberapa menit sebelumnya. Dia bisa menduga apa yang telah diperbuat latif kepada putrinya. Sepanjang perjalanan,
wanita itu selalu terngiang dengan percakapan latif di terminal, hingga akhirnya dia bisa menyimpulkan kalau latif bukanlah pemuda baik seperti yang dikenalnya selama ini. sekarang wanita itu sedang mencari cara terbaik untuk
menyampaikan hal penting itu kepada putrinya. Dan saat dia sedang berpikir keras, tiba-tiba di sebuah tikungan terjadi benturan hebat. Bis yang
ditumpanginya ditabrak oleh truk gandeng yang
melaju kencang dari arah berlawanan. Tak ayal, saat itu juga maut merenggutnya. Tiga minggu kemudian, di malam yang sunyi sepi. Sinar bulan purnama memancar hingga menembus
kain jendela. Di sebuah kamar yang temaram,
seorang lelaki berusia 42 tahun tampak duduk di kursi goyangnya. Bersantai melepas lelah sambil menikmati goyangan kursi yang terus bergoyang dengan perlahan. Sesekali lelaki itu tampak mengepulkan asap rokoknya, menikmati berbagai racun yang dapat merusak kesehatannya. Dialah soebandrio yang sedang menunggu putrinya pulang dari Mal. "Hmm... Kenapa martini belum pulang juga?" tanya lelaki itu penuh kekhawatiran. Kemudian soebandrio kembali menggoyangkan kursi goyangnya yang sudah kian pelan bergoyang. Pada saat itu, tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan manusia yang melintas di jendela kamarnya. "martini !" serunya memanggil. "Hmm... kenapa dengan anak itu? Kenapa dia tidak langsung masuk?" soebandrio membatin. "martini , sedang apa kau di luar? Ayo masuklah,
Nak!" serunya memanggil. Lama soebandrio memanggil, namun tidak juga ada sahutan. Akhirnya lelaki itu terpaksa berdiri sambil
mematikan bara rokoknya, kemudian melangkah ke jendela kamar dan memperhatikan sekitarnya.
"Hmm... tidak ada siapa-siapa," gumamnya heran.
Belum sempat berpikir jauh, tiba-tiba lelaki itu
mendengar dering telepon yang berasal dari ruang
tengah. Lalu dengan segera dia mengangkatnya.
"Hallo…!" serunya dengan suara yang agak parau.
Sejenak dia menunggu, namun tak juga ada jawaban. "Hallo...! Siapa ini?" tanyanya agak kesal. Karena tidak juga ada jawaban, akhirnya soebandrio menutup telepon itu. Namun belum sempat dia melangkah, tiba-tiba telepon kembali berdering. Dengan kesal soebandrio kembali mengangkatnya, tapi kali ini dia tidak memberi
sapaan, dia sengaja menunggu dan menunggu. Karena tak juga terdengar suara, akhirnya soebandrio kembali menutup telepon itu
dan langsung bergegas ke ruang tamu.
Sambil terus melangkah, soebandrio tampak
bertanya-tanya. "Siapa ya yang menelepon malam-malam begini? Apakah tadi itu martini ? Ah, rasanya tidak mungkin. Masa iya dia berbuat begitu. Hmm... mungkin saja tadi cuma orang iseng," duganya dalam hati. saat soebandrio hendak duduk di sofa, tiba-tiba dia mendengar suara ketukan di pintu depan. "Siapa!" serunya lantang. Karena tak ada jawaban, akhirnya
lelaki itu bergegas menuju pintu dan membukanya
lebar-lebar. Betapa terkejutnya dia saat tahu di situ tidak ada siapa-siapa. sekarang soebandrio tampak celingukan, mencari orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya. "Hmm... siapakah yang telah mengetuk pintu rumahku tadi?
Kalau martini , jelas tidak mungkin. Dia kan punya kunci sendiri, untuk apa dia pakai ketuk pintu segala." soebandrio membatin. soebandrio benar-benar heran dengan kejadian itu.
sekarang dia sudah menutup pintu dan sedang melangkah ke sofa. saat baru duduk sejenak, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. soebandrio tidak segera bangkit, dia tampak memfokuskan pendengarannya dan menunggu suara ketukan itu berbunyi lagi. Beberapa saat kemudian, dia mendengar suara anak
kunci yang diputar pada lubang kuncinya. Kemudian disusul dengan kemunculan seorang gadis yang sekarang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kepadanya. "Loh, Ayah kok belum tidur?" tanya gadis itu kepada soebandrio .
"Belum, Sayang... Ayah kan sedang menunggumu." Maaf, Ayah! martini pulang kemalaman," kata
gadis itu lagi sambil menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Nak... kau kah yang mengetuk pintu barusan?" tanya soebandrio .
martini tampak mengerutkan keningnya. "Tidak,
Ayah... Memangnya..." "Sudahlah... lupakan saja." soebandrio memotong. "O ya, kenapa kau bisa sampai kemalaman?" tanyanya kemudian.
"Maaf, Ayah! Soalnya, martini main ke rumah teman dahulu ," jawab gadis itu sambil melangkah ke sofa. "Ya, sudah... ngomong-ngomong, mana
sepatunya?" tanya soebandrio . martini segera duduk dan mengeluarkan barang yang baru dibelinya, kemudian meletakkannya di atas
meja. "Itu sepatunya?" tanya soebandrio sambil mengambil sepatu itu dan mengamatinya dengan penuh seksama. "Betul, Ayah. Bagaimana, bagus tidak?" "Hmm... bagus. Berapa harganya?"
"Tidak mahal kok, cuma Rp. 290.000," jawab
martini . "Harga segitu... kau bilang ‘cuma’." soebandrio tampak geleng-geleng kepala.
"Ayah, harga segitu kan tidak mahal. Lagi pula,
uang yang tadi siang martini ambil dari Bank masih sisa Rp. 290.000." Lagi-lagi soebandrio tampak geleng-geleng kepala, "Dasar anak gadis, maunya belanja melulu. Mentang-mentang tidak merasakan susahnya cari uang," katanya dalam hati. "Ya, sudah. Besok, sisa uang itu
kau tabungkan kembali, ya!" pesannya kemudian.
"Iya, Ayah." martini berjanji. "O ya, Ayah. martini minta maaf! Ayah pasti lelah menunggu martini terlalu lama." "Tidak apa-apa, Sayang… yang penting kan kau sudah tiba dengan selamat," kata soebandrio sambil tersenyum. martini pun tersenyum, kemudian segera menyimpan kembali sepatu barunya. Pada saat itu, tiba-tiba soebandrio teringat kembali akan kejadian aneh
yang tadi dialaminya, dahinya tampak agak berkerut. "Ada apa, Ayah?" tanya martini tiba-tiba. soebandrio terkejut mendengar pertanyaan itu. "Mmm... ti-tidak ada apa-apa, Sayang..." jawab soebandrio gugup. "O ya, sebaiknya sekarang kaumakan, sesudah itu istirahat!" sambungnya kemudian. "Tadi martini sudah makan, Ayah. Sekarang martini mau langsung istirahat," kata martini sambil membereskan barang-barangnya. "Selamat malam,
Ayah!" katanya kemudian sambil mencium pipi
soebandrio . "Selamat tidur, Sayang...!" kata soebandrio sambil memperhatikan kepergian putrinya. sekarang lelaki itu sudah mengalihkan pandangannya ke arah pintu, sedangkan pikirannya kembali memikirkan kejadian aneh yang baru dialaminya, kejadian itu benar-benar telah menghantuinya. Sementara itu, martini sudah berada di kamarnya. sekarang dia sedang mencoba sepatu barunya. Sejenak matanya yang sayu menatap ke arah sepatu yang baru dikenakannya, sungguh terlihat cantik melekat di
kakinya yang jenjang. sesudah puas mencoba, gadis itu segera melepas sepatunya dan meletakkannya di sebuah rak kayu—di antara koleksi sepatunya yang lain. sekarang gadis itu sedang duduk di depan cermin sambil memperhatikan wajahnya yang cantik,
kemudian menggerai rambutnya yang sebahu dan
menyisirnya perlahan. Senyumnya yang manis tampak mengembang, mengagumi keindahan rambutnya yang ikal mayang. sesudah itu dia melangkah ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya yang seksi. sekarang kedua matanya tampak memandang ke langit-langit, sedangkan giginya yang putih bersih terlihat menggigit jari telunjuknya yang lentik. Lalu dengan mata berbinar, gadis itu menatap foto latif yang tadi
diambilnya dari meja rias. "latif , kau tampan sekali. Terus terang, aku sudah begitu merindukanmu," kata martini dalam hati sambil mengecup foto itu dengan bibirnya yang tipis. "latif ... kapan kau pulang ke Jakarta?" tanya gadis itu kemudian. sekarang gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, kemudian melangkah—mengembalikan foto itu ke
tempat semula. sesudah itu, dia pun segera berkemas tidur. Pada saat yang sama, soebandrio tampak sedang berbaring di tempat tidurnya. Rupanya dia masih saja memikirkan peristiwa yang baru dialaminya, sebuah
peristiwa yang di luar akal sehatnya.
keesokan sorenya, soebandrio baru saja
pulang dari kantor. sekarang dia sedang berdiri
di depan zebra cross pada sebuah perempatan jalan. Di situ banyak kendaraan bermotor tampak berlalu-lalang, selain itu banyak pula pengamen dan pedagang asongan yang sedang berjuang mengais rezeki. soebandrio masih berdiri di depan zebra cross, dia menunggu lampu lalu lintas berubah merah. saat matanya memandang ke seberang jalan, tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang sedang menatapnya. Sesaat soebandrio terkejut, sebab wanita itu mirip
sekali dengan istrinya yang telah tiada. "martini !"
katanya dalam hati. Namun sosok wanita itu
menghilang saat sebuah bis kota melintas di
depannya. Mengetahui itu, soebandrio terkejut bukan kepalang, kedua matanya tampak liar mencari sosok wanita tadi. sekarang lampu lalu lintas telah berubah merah, dan orang-orang terlihat mulai menyeberang jalan. soebandrio pun segera melangkah bersama-sama mereka. sesudah tiba di seberang, soebandrio kembali
mencari sosok wanita tadi. "Di mana wanita yang mirip istriku tadi?" tanyanya dalam hati.
sekarang soebandrio tampak memandang ke seberang jalan, memperhatikan tempatnya berdiri tadi. Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok wanita yang mirip istrinya itu sekarang sedang berdiri di sana. "Wa-wanita itu…di-dia memang mirip sekali dengan martini ," katanya dalam hati.
Dengan sorot mata yang tajam, soebandrio terus
menatap wajah wanita itu. Lama sekali mereka saling berpandangan dan tanpa tersenyum sama sekali, namun sosok wanita itu kembali lenyap sesudah terhalang oleh sebuah truk besar yang melintas. "Aneh… siapa sebenarnya wanita itu? Setahuku, martini tidak memiliki saudara kembar," tanyanya dalam hati sambil melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Sesekali matanya menatap ke tempat wanita tadi berdiri, namun sosok wanita itu benar-benar sudah menghilang. Setibanya di sebuah rumah makan, soebandrio langsung mampir untuk membeli nasi bungkus. sekarang dia sedang duduk menunggu sambil
menikmati sebatang rokok yang terus meracuni tubuh. saat sedang asyik-asyiknya menikmati candu nikotin, tiba-tiba HP yang disimpan di saku celananya terasa bergetar. soebandrio pun segera menerimanya. "Ya, hallo?" sapanya kepada orang yang menelepon. "Hallo, Yah! Ini martini ." "O, kau… Nak. Sekarang kau lagi di mana?" "martini lagi di jalan, Yah. martini baru saja pulang dari Bank. Ayah sendiri lagi di mana?" "Ayah lagi di rumah makan langganan kita. Kalau begitu, cepat pulang ya!"
"Iya, Ayah," kata martini mengiyakan.
"Sudah ya, Nak! Hati-hati di jalan!" pesan soebandrio sambil menutup HP-nya. Bersamaan dengan itu, seorang pelayan datang sambil membawa dua bungkus makanan yang telah dipesannya. "Ini pesanan Bapak," kata si pelayan ramah. "O… terima kasih!" kata soebandrio "Silakan bayar di kasir, Pak!" kata pelayan itu lagi. soebandrio segera menuju ke kasir dan mengeluarkan dompetnya. Belum sempat dia mengeluarkan uang, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang kembali datang. Kali ini petugas kasir yang dilihatnya itu mirip sekali dengan istrinya. "martini !" kata soebandrio seakan tak percaya. Namun lelaki itu menjadi malu saat wajah petugas kasir itu tiba-tiba berubah menjadi wajah aslinya. Gadis berparas cantik yang bekerja sebagai
petugas kasir itu tampak heran, "Ada apa, Pak?"
tanyanya ramah. "O… ti-tidak. Ma-maaf…!" jawab soebandrio gugup sambil buru-buru membayar nasi bungkus yang dipesannya. Sejenak soebandrio kembali menatap wajah petugas
kasir itu, sungguh dia benar-benar penasaran dengan apa yang dilihatnya tadi.
"Kenapa Bapak memandang saya seperti itu?"
tanya petugas kasir semakin heran. Sesaat soebandrio tersadar, kemudian tanpa buang wantu lelaki itu langsung bergegas pergi. Pada
saat yang sama, petugas kasir hanya memperhatikan kepergiannya dengan seribu tanda tanya. Setibanya di rumah, pikiran soebandrio masih terus diselimuti berbagai macam pertanyaan. Sungguh kejadian yang baru dialaminya itu sudah membuat akal sehatnya sedikit terganggu. Sambil mengganti pakaian, lelaki itu terus bertanya-tanya, "Apa sekarang aku
sudah gila? Kenapa belakangan ini aku sering
berhalusinasi? Hmm… Apa sebaiknya aku
memeriksakan diri ke dokter? Ah, mungkin saja
semua ini karena aku terlalu lelah. Kalau begitu, mulai saat ini aku akan mengurangi pekerjaanku dan beristirahat dengan cukup." sesudah mengganti pakaian, soebandrio segera
melangkah ke dapur untuk mengambil dua buah piring dan sendok. Tak lama kemudian, dia sudah duduk di depan meja makan sambil menunggu martini pulang. saat soebandrio sedang duduk menunggu, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang tiba-tiba duduk di hadapannya. "Ya-martini ...!" soebandrio tergagap. Tanpa berkedip, dia terus memandang martini yang tersenyum dingin dengan wajah pucat pasi. Sungguh dia tidak menyangka, kalau orang yang semasa hidup begitu dicintainya sekarang hadir dihadapannya.
Perlahan soebandrio mengulurkan tanganya.
"martini … Aku merindukanmu, Sayang…" kata
soebandrio sambil mencoba menggenggam tangan martini , namun saat itu tangannya menembus tak bisa menyentuh tangan martini sama sekali. "martini … A- aku…" Belum sempat lelaki itu melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba terdengar kataan salam di luar rumah. Sesaat soebandrio terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu, saat itu dilihatnya martini sudah berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kepadanya. sesudah menutup pintu, gadis itu segera menghampiri soebandrio . Pada saat yang sama, soebandrio tampak menoleh ke tempat mendiang istrinya duduk, dan ternyata sosok sang istri sudah menghilang. soebandrio
terpaku, di benaknya masih tersimpan perasaan yang belum sempat diungkapkan. "Ada apa, Ayah?" tanya martini sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan ayahnya. "Ti-tidak ada apa-apa, Sayang..." jawab soebandrio gugup. "martini … sekarang kauganti pakaian ya! sesudah itu kita makan sama-sama!" martini mengangguk sambil bangkit dari duduknya, kemudian segera melangkah ke kamar. Sejenak
soebandrio memperhatikan kepergian putrinya, lalu dia kembali menatap ke tempat mendiang istrinya tadi berada. "martini …" panggil soebandrio berbisik. "Di mana kau? Aku masih merindukanmu, Sayang..." soebandrio kembali memanggil-manggil sosok istrinya, namun sosok itu tak kunjung hadir. "martini , tolong perlihatkan dirimu! Terus terang, aku ingin sekali berbicara denganmu. Soalnya aku..." Tiba-tiba soebandrio terdiam, rupanya dia mendengar langkah
kaki martini yang mendekat. sekarang soebandrio tampak membuka nasi bungkus untuk martini dan meletakkannya di atas piring, sesudah
itu dia pun langsung membuka nasi bungkus miliknya dan meletakkannya di atas piring. Sementara itu, martini yang baru saja tiba segera duduk di hadapan ayahnya sambil memperhatikan sang ayah yang sekarang sedang
menuangkan minum untuk mereka berdua. Tak lama kemudian, keduanya tampak menikmati makanan itu bersama-sama. Beberapa menit kemudian. "Yah… besok martini ingin berziarah ke makam Ibu," kata martini tiba-tiba. Dengan perlahan soebandrio mengangkat kepalanya, kemudian memandang wajah putrinya
dengan penuh haru. "Iya, Nak… besok kita akan ke
sana," katanya pelan. "Ayah, martini rindu sekali sama Ibu," kata martini lirih. Saat itu soebandrio tak kuasa menahan kesedihannya, kedua matanya tampak berkaca-kaca—terbayang akan wajah mendiang istrinya tercinta. Sesaat air mata mata lelaki itu berderai. Melihat itu, martini pun ikut sedih. "Ayah, martini bisa merasakan apa yang Ayah rasakan," kata martini terisak sambil meletakkan sendok yang dipegangnya.
"Hanya kau yang bisa menghibur Ayah, Sayang…"
balas soebandrio sambil menghampiri martini dan membelai rambutnya penuh kasih sayang.
Saat itu martini langsung bangkit dan memeluk
ayahnya, kemudian dia memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Yah, martini sangat kehilangan Ibu. Setiap saat martini selalu merindukannya." "Sabarlah, Sayang…! Kau harus tabah menerima cobaan ini!" kata soebandrio lagi sambil mencium kening putrinya. martini kembali memeluk ayahnya. Derai air mata
tampak mengalir di pipinya yang mulus.
p agi harinya, bias mentari hangat menerpa
bumi, burung-burung tampak menyambutnya
dengan kicauan yang begitu merdu. Di kebun
samping, martini terlihat sedang memetik bunga. Dia memetiknya untuk dibawa berziarah ke makam martini . sesudah bunga yang dipetiknya memenuhi keranjang, gadis itu segera melangkah masuk. sekarang dia sedang meletakkan keranjang yang dibawanya di atas meja. Pada saat itu ayahnya datang menghampiri. "Ada telepon untukmu, Nak," katanya kepada martini .
"Dari siapa, Ayah?" tanya martini sambil menatap mata ayahnya. "Dari nak latif , Sayang..." jawab soebandrio . Mendengar itu martini tampak tersentak, "latif -latif !" katanya gembira, kemudian dengan serta-merta gadis itu berlari ke ruang tengah.
Sejenak soebandrio memperhatikan kepergian
putrinya, tak lama kemudian dia sudah melangkah ke kebun samping untuk melihat-lihat tanaman yang baru ditanamnya. Sementara itu di ruang tengah, martini tampak sedang berbicara dengan kekasihnya. "latif , aku senang sekali kau menghubungiku. Tapi, kenapa baru sekarang?" "Maaf, Sayang...! Aku terlalu sibuk. O ya,
bagaimana dengan sekolahmu?" tanya latif
mengalihkan pembicaraan. "Baik, latif . Kau sendiri bagaimana? Apa kuliahmu lancar?" martini balik bertanya. "Tentu saja," jawab latif .
"Syukurlah kalau begitu. O ya, kapan kau kembali
ke Jakarta?" "Hal itulah yang ingin kusampaikan padamu. Begini, Sayang... saat ini kan aku sedang memasuki masa liburan. Jadi, besok aku akan datang menemuimu." "Benarkah?" tanya martini seakan tidak percaya. "Benar, Sayang... aku kan sudah begitu merindukanmu," jawab latif .
"Masaaa..." "Sungguh, aku memang sudah sangat merindukanmu."
"O ya, tadi kaubilang terlalu sibuk. Sebenarnya
sibuk apa, kok sampai tidak bisa menghubungiku?" tanya martini lagi.
"Wah, kalau soal itu ceritanya panjang. Mungkin
kau juga tidak akan percaya jika kuceritakan."
"Memangnya apa sih?" tanya martini penasaran.
"Sudahlah... percuma saja. Kau pasti tidak akan
percaya." "latif , aku kan belum mendengar ceritamu. Kau semakin membuatku penasaran saja. Sebaiknya blekas kau ceritakan!" "Ran, sebenarnya aku merasa berat menceritakan
hal ini. Namun karena kau memaksa, terpaksa aku
menceritakannya. Begini, Sayang... sebenarnya... aku telah diguna-guna orang. Selama ini aku lumpuh dan tidak bisa bicara. Untunglah ada seseorang yang menolongku sehingga aku bisa kembali normal seperti sekarang. Aku bohong kalau kuliahku lancar-lancar saja, sebenarnya kuliahku mandek selama beberapa minggu. Nah, karena itulah aku tidak bisa menghubungimu."
"Apa benar yang kau ceritakan itu, latif ?” tanya martini ragu. ”Hmm… Rasanya tidak mungkin ada orang yang tega berbuat jahat padamu. Eng… Memangnya kau pernah berbuat salah?" tanya gadis itu kemudian. "Benar kan, kau pasti tidak akan percaya!" "Tidak, latif ! Aku percaya kok. Aku cuma heran saja, kenapa orang sebaik kamu masih juga diperlakukan begitu."
"Entahlah... mungkin tanpa sengaja aku pernah
menyakiti seseorang sehingga dia tega berbuat
begitu. O ya, Sayang... saat ini aku sedang ada
keperluan mendesak. Sudah dahulu ya, sampai jumpa besok. Bye..." "Bye..." balas martini sambil menutup teleponnya, kemudian dia teringat dengan masa-masa indahnya bersama latif . Saat itu wajahnya tampak ceria dan hatinya kembali berbunga-bunga, "Oh latif , aku sangat merindukanmu. Benarkah kau akan pulang
menemuiku?" sekarang gadis itu melangkah dan duduk melamun di
kursi teras. Saat itu, hatinya betul-betul senang
membayangkan kedatangan latif . Pada saat yang
sama, soebandrio yang sedang berada di kebun
samping tampak memperhatikannya, kemudian
dengan segera dia menghampiri.
"Ada apa, Sayang...?" tanya soebandrio sambil
duduk di kursi yang bersebelahan dengan martini . martini pun segera menceritakan kabar gembira itu, sedangkan soebandrio tampak mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
"Jadi, Nak latif akan pulang besok?" tanya
soebandrio seakan tidak percaya. "Iya Ayah," jawab martini singkat. "Syukurlah kalau begitu, Ayah juga sudah rindu dengannya," kata soebandrio sambil tersenyum. "O ya, Ayah. Sekarang martini mau berkemas-kemas dahulu ," Pamit martini sambil melangkah pergi.
Sementara itu, soebandrio masih di tempat
duduknya, dia tampak terdiam seperti memikirkan
sesuatu. saat dia memandang ke arah jalan, tiba-
tiba dia melihat seorang wanita cantik bergaun merah tampak menghampiri. soebandrio pun memperhatikan wanita itu, namun dia sama sekali tidak mengenalnya, sebab memang baru kali ini dia melihatnya. "Selamat pagi, Pak!" sapa wanita itu dengan senyuman tersungging di bibirnya. soebandrio tidak membalas sapaan itu, dia masih saja bertanya-tanya perihal wanita yang sekarang berdiri dihadapannya.
sekarang wanita itu kembali tersenyum. "Anda Pak soebandrio kan?" tanya wanita itu dengan nada lembut. "Maaf! Anda siapa ya? Apa ada perlu dengan saya?" tanya soebandrio bingung.
"Benar, Pak. Saya ada perlu dengan Bapak.
Maksud kedatangan saya ingin menginap di sini," kata wanita itu mengatakan keperluannya.
"Me-menginap?" tanya soebandrio heran.
"Boleh saya duduk, Pak?" tanya wanita itu lagi.
"O, silakan!" kata soebandrio ramah.
Wanita itu pun segera duduk, sedangkan soebandrio tampak memperhatikannya dengan mata tak berkedip. sekarang dia sedang diselimuti kebingungan perihal wanita yang berada di sebelahnya. "O ya, anda mau minum apa?" tanyanya kepada wanita itu. Wanita itu tampak tersenyum. "Apa saja boleh,"
jawabnya kemudian. Melihat itu, soebandrio ikut tersenyum. "Kalau begitu, tunggu sebentar ya!" kata soebandrio sambil beranjak ke dapur.
sekarang soebandrio sedang sibuk membuat minuman. Sementara itu, martini yang baru saja keluar dari kamar mandi tampak menghampirinya. "Minuman buat siapa, Ayah?" tanyanya kepada sang Ayah yang masih sibuk membuat minuman.
“Buat tamu, Sayang…" jawab soebandrio .
"Tamu…? Siapa dia, Ayah?" tanya martini lagi.
"Entahlah… Ayah juga tidak kenal," jawab
soebandrio . Karena penasaran, martini pun segera melangkah ke teras. Namun setibanya di tempat itu dia tidak melihat siapa-siapa. "Tamunya mana, Yah!" teriaknya kepada soebandrio . Mendengar itu, soebandrio pun segera keluar sambil membawa dua gelas minuman yang baru dibuatnya. Setibanya di teras, dia langsung melihat ke arah kursi yang diduduki wanita tadi. soebandrio langsung bingung
saat mengetahui wanita itu memang sudah tidak
ada. sekarang soebandrio tampak meletakkan minuman yang dibawanya ke atas meja, kemudian kepalanya tampak menoleh kiri-kanan—mencari-cari wanita itu. Sementara itu, martini cuma duduk memperhatikan ayahnya yang tampak kebingungan—mundar-mandir
mencari wanita yang dimaksud. sekarang soebandrio kembali menghampiri martini dan
segera duduk di sebelahnya. "Ke mana tamunya ya? Tadi kan dia duduk di sini," kata soebandrio dengan kepala yang masih saja tampak celingukan. "Ah, Ayah ada-ada saja. Minuman ini buat martini saja ya?" kata martini sambil meneguk minuman yang ada di atas meja.
"Aneh…" kata soebandrio dalam hati, kemudian dia tampak mengambil gelas yang masih penuh dan meminum isinya. martini cuma tersenyum melihat kelakuan ayahnya, dia merasa lucu dengan kejadian itu. sesudah kedua
gelas itu kosong, martini pun langsung membawanya ke dapur. "Ayah-Ayah…" kata martini sambil geleng-geleng kepala.
Sementara itu soebandrio masih duduk di kursi
teras, dia masih saja bingung dengan kejadian tadi. Hingga akhirnya, soebandrio memutuskan untuk melupakan kejadian itu. sekarang lelaki itu tampak asyik membaca surat kabar pagi sambil menikmati sebatang rokok. Tiba-tiba
perhatiannya tertuju pada sebuah artikel yang berjudul “Bersekutu dengan Setan”. marijan kartosuwiryo mulanya adalah seorang yang
miskin, sesudah dia bersekutu dengan setan akhirnya dia menjadi orang yang sangat kaya. Pada suatu saat dia bertaubat, dan sejak itulah kekayaan yang dimilikinya semakin hari semakin berkurang. Semua harta yang ada dijual dan digadaikan hingga jabatan direkturnya pun berpindah tangan kepada orang lain. Pada saat itulah Pak Abdi kebingungan dan tidak tahu
harus berbuat apa untuk menghadapi segala
permasalahannya. Hingga pada suatu saat , istrinya memberi masukan yang sangat berarti. Waktu itu sang Istri berkata “Janganlah Bapak menyesal jika harta itu sirna lantaran keputusan tepat yang sudah Bapak ambil. Karena suatu saat Bapak pasti akan mendapat gantinya melalui cara yang lebih baik.” Saat itulah Pak Abdi Dinata menjadi kuat menghadapi segala macam
rintangan, dan beliau sangat mencintai istrinya yang telah menyadarkannya dari perbuatan sesat.
soebandrio terdiam memikirkan isi artikel itu, ternyata artikel itu mirip sekali dengan masa lalunya, masa lalunya yang penuh dengan kesesatan dan telah membuatnya melupakan Tuhan. Sekarang soebandrio sudah bertaubat dan menjadi manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan supranatural lagi. Tiba-tiba soebandrio teringat dengan mendiang
istrinya, dimana semasa hidup istrinya itulah yang
telah menyadarkan dia dari perbuatan sesat. Sampai saat ini soebandrio memang tidak mungkin bisa melupakan kenangan manis saat bersama istrinya. Apalagi sesudah peristiwa belakangan ini, dimana sosok sang istri selalu datang menemuinya. Sungguh kehadiran sosok istrinya itu telah membangkitkan segala kerinduannya. sekarang soebandrio kembali memikirkan berbagai peristiwa aneh yang dialaminya. Hingga sekarang dia masih
dibuat bingung, dan dia tidak mengerti kenapa dirinya selalu dihantui oleh sosok sang Istri, bukankah seharusnya mendiang istrinya itu sudah berada di alamnya.
Mendadak soebandrio dikejutkan oleh kehadiran
martini yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya sambil menenteng sekeranjang bunga. "Yuk Ayah, kita berangkat sekarang!" ajak martini sambil duduk di bsebelah ayahnya. "I-iya Sayang... tapi sebentar, Ayah ganti baju dahulu ," jawab soebandrio sambil beranjak pergi. Tak lama
kemudian dia sudah kembali sambil menenteng ceret yang berisikan air mawar. sesudah mengunci pintu, mereka pun segera berangkat ke pemakaman dengan berjalan kaki. Letak pemakaman itu memang tidak begitu jauh, cuma makan waktu 16 menit untuk sampai ke sana.
Setibanya di pemakaman, martini langsung
bersimpuh di makam ibunya, sedangkan soebandrio tampak bersimpuh di sisi yang berlawanan. Hingga saat ini mereka masih saja bingung melihat makam itu selalu bersih, padahal selama ini soebandrio tidak pernah mengeluarkan uang untuk biaya perawatan.
Sekilas soebandrio mengarahkan pandangannya ke sebuah pohon yang agak jauh di belakang martini . Dan dia agak terkejut saat melihat seorang wanita tampak bersandar di pohon itu. Wajahnya tampak begitu pucat, sedang kedua matanya tampak mengawasi mereka dengan penuh misteri. Sejenak soebandrio memperhatikan wanita itu, kemudian
pandangannya segera beralih kepada martini yang terlihat masih menaburkan bunga-bunga di makam bibunya. "Hmm... siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa dia memperhatikan kami begitu rupa?" tanya soebandrio dalam hati. Kemudian pandangannya kembali beralih
ke arah pohon tadi. Dan betapa terkejut dia saat
mengetahui wanita tadi sudah tidak ada, raut
wajahnya pun berubah seperti orang kebingungan. martini yang melihat wajah ayahnya seperti itu
merasa heran, "Hmm... apa yang sedang dilihat Ayah di belakangku?" tanyanya dalam hati. Lalu dengan serta-merta gadis itu menoleh ke belakang, dan ternyata dia tidak melihat sesuatu pun yang mencurigakan. sekarang gadis itu kembali memperhatikan ayahnya yang sedang merapikan bunga-bunga yang telah ditaburinya. "Ada apa, Ayah? Kok tadi Ayah seperti orang bingung?" tanyanya kepada soebandrio .
"O, ti-tidak ada apa-apa, Sayang..." jawab
soebandrio sengaja merahasiakan apa yang dilihatnya. Kemudian dia segera mengambil ceret yang berisi air mawar dan langsung menyiramkannya ke makam martini . sesudah itu dia mengajak martini untuk berdoa bersama.
sekarang keduanya tampak berdoa dengan begitu
khusuk, memohon kepada Tuhan agar arwah orang yang mereka cintai diterima di sisi-Nya. Baru saja keduanya selesai berdoa, tiba-tiba soebandrio dikejutkan oleh sosok istrinya yang mendadak hadir. Dilihatnya sosok sang istri sedang berdiri di belakang martini sambil menatapnya dengan pandangan yang begitu
dingin. Jantung soebandrio langsung berdegup kencang, bersamaan dengan itu hawa dingin terasa merasuki tubuhnya. Lalu dengan serta-merta dia mengalihkan pandangannya ke arah martini yang saat itu dilihatnya sedang memeluk makam ibunya sambil menangis sedih. "Ibu…! martini sayang sama Ibu. Sebenarnya martini ingin sekali memeluk Ibu. Namun karena dunia
kita berbeda, martini cuma bisa memeluk makam Ibu. martini mohon, Ibu tidak akan lupa sama martini , dan martini akan terus berdoa untuk Ibu," kata martini sambil terus terisak. Saat itu soebandrio ikut hanyut dalam kesedihan,
kemudian dia kembali melihat sosok istrinya yang
masih saja berdiri di belakang martini . Dia melihat sosok sang istri tampak membelai-belai kepala martini dengan wajah begitu sedih. soebandrio pun segera memegang tangan martini dan menatapnya dengan penuh prihatin.
"Sudahlah martini … kau jangan terlalu bersedih, Nak! Ibumu pasti akan sedih jika melihatmu seperti ini," katanya kepada martini yang masih saja menangis. Kemudian dia kembali melihat ke belakang martini , "Hmm... ke mana dia?" tanyanya dalam hati sambil mencari-cari sosok istrinya itu, kedua matanya tampak
menatap hampir ke semua penjuru pemakaman.
"Ada apa, Ayah?" tanya martini dengan mata masih berlinang.
soebandrio tidak menjawab, dia justru mengajak
martini untuk menuju ke makam orang tua martini —kakek dan nenek martini . Kebetulan makam itu memang tidak begitu jauh. sesudah menaburkan bunga dan berdoa di makam tersebut, keduanya pun segera beranjak pulang. Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan seorang kakek berpeci hitam, di tangannya tergenggam tongkat kayu yang berukir. sekarang kakek itu
tengah menatap mereka sambil tersenyum ramah.
Pada saat yang sama, martini tampak membalas
tersenyum sang Kakek sambil terus berlalu.
"Siapa dia, Nak?" tanya soebandrio sambil
memandang ke arah kakek yang sudah kian menjauh. b"Kalau tidak salah, dia itu penjaga makam-makam tadi, Ayah," jawab martini .
"Dari mana kau tahu?" tanya soebandrio lagi.
"Waktu itu—sewaktu berziarah di makam kakek
dan nenek, martini sempat diberi tahu sama Ibu," jelas martini . "O... begitu," kata soebandrio sambil mengangguk-angguk. Tiba-tiba kedua matanya tampak tertuju ke langit, "Wah, sepertinya hari ini akan turun hujan," kata soebandrio lagi sesudah melihat Awan hitam tampak mulai menyelimuti angkasa.
Menyadari apa yang akan terjadi, mereka pun
segera mempercepat langkah—menyusuri jalan
setapak yang bergelombang. Setibanya di rumah,
soebandrio langsung duduk di kursi teras untuk melepas lelah, sedangkan martini tampak pergi ke dapur untuk menyimpan ceret yang tadi dibawanya. sekarang gadis itu sedang berbaring di tempat tidur sambil melamunkan sang Pujaan hati, serta mengenang kembali akan masa-masa indah bersamanya. Saat itu, wajahnya yang cantik tampak begitu berseri-seri. Pada saat yang sama, soebandrio tampak masih asyik bersantai. saat hendak menyalakan sebatang rokok, tiba-tiba "Braaaan...!" dari samping rumah terdengar suara wanita memanggil. "Siapa?" tanya soebandrio sambil beranjak memeriksa, dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui di samping rumah tidak ada siapa-siapa. "Hmm... siapakah yang memanggilku barusan?"
tanya lelaki itu dalam hati. "Braaaan...!" tiba-tiba panggilan itu kembali terdengar. Lagi-lagi soebandrio terkejut, kemudian dengan
segera dia mencari orang yang memanggilnya.
"Aneh. tidak ada siapa-siapa. Apakah itu martini?" tanya lelaki itu dalam hati. sekarang soebandrio sudah tidak menghiraukannya, dia kembali duduk dan menikmati asap rokoknya. saat
lelaki itu memandang ke arah jalan, tiba-tiba dia
melihat sosok wanita berbaju merah yang tadi pagi datang bertamu. Wanita itu tampak berdiri di tepi jalan sambil memandangnya dengan tersenyum simpul. Rambutnya yang panjang tampak tergerai menutupi sebagian gaun merah yang dikenakannya. soebandrio tampak mengucek kedua matanya, kemudian dia kembali memperhatikan sosok wanita tadi. Semula dia tidak percaya dengan penglihatannya, namun sekarang dia yakin betul kalau wanita itu memang yang tadi pagi datang bertamu.
"Hmm.. tidak salah lagi, wanita itu memang dia. Kalau begitu, aku akan segera menghampirinya," kata soebandrio dalam hati.Namun belum sempat dia beranjak, tiba-tiba hujan gerimis mulai turun menyiram bumi. Bersamaan
dengan itu, wanita tadi segera menghampiri soebandrio . "Selamat siang, Pak!" katanya sambil tersenyum manis. "Siang Nona…! Mari, silakan duduk!" tawar soebandrio ramah.
Wanita itu pun segera duduk di sebelah soebandrio , bersamaan dengan itu senyumannya yang manis kembali tersungging. Belum sempat soebandrio membalas senyuman itu,
tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya, disertai dengan halilintar yang menggelegar keras. Saat itu soebandrio tersentak kaget lantaran mendengar suara guntur yang begitu kerasnya, namun dia agak heran saat melihat wanita yang bersamanya tampak biasa-biasa saja. Karena itulah, keinginannya untuk lebih mengenal wanita itu pun timbul. "Eng... kalau boleh saya tahu, siapa namamu?’ tanya soebandrio sopan.
Wanita itu tidak menjawab, dia terlihat hanya
tersenyum ramah. "Emm… Tolong perkenalkan dirimu, Nona! Dan tolong katakan maksud dan tujuanmu kemari!" pinta soebandrio dengan nada lembut. Belum sempat soebandrio mendapat jawaban, tiba-tiba saja wajah wanita itu berubah menjadi wajah martini . Tak ayal, soebandrio pun langsung terkejut bukan
kepalang, dadanya berdegup kencang, dan hawa
dingin terasa merasuki tubuhnya. "Ya-martini ! Ke-
kenapa kau selalu menggangguku?" tanyanya dengan terbata-bata. martini tidak menjawab, dia terlihat memandang soebandrio dengan tatapan yang begitu dingin. Dan tiba-tiba saja sebuah senyuman dingin tampak tersungging
di bibirnya yang pucat. Saat itu soebandrio merasa serba salah, "Ya-martini ... a-aku…" Belum sempat soebandrio melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba saja lelaki itu mendengar suara jeritan keras yang berasal dari
dalam rumah. "martini ...?" kata soebandrio dalam hati saat menyadari kalau itu suara jeritan martini , lalu dengan serta-merta lelaki itu bergegas menemuinya. "Ada apa, Sayang...?" tanya soebandrio panik. "martini bermimpi, Yah, " jawab martini sambil mengusap-usap lututnya yang sakit karena terjatuh dari tempat tidur.
"O, jadi kau jatuh karena bermimpi," kata soebandrio sambil memegang lutut putrinya.
"Aduh, sakiiit... Ayah," rintih martini .
"O… rupanya kakimu terkilir, Nak. Kalau begitu,
Ayah akan menggosoknya dengan minyak tawon,"
kata soebandrio sambil mengangkat putrinya dan membaringkannya di atas tempat tidur.
sekarang lelaki itu tampak sibuk mencari minyak tawon yang biasa digunakannya untuk mengobati cidera seperti itu. sesudah menemukan apa yang dicarinya, soebandrio segera mengoleskan minyak itu ke kaki martini yang terkilir, juga ke lutut martini yang terlihat memar. "Nah, sekarang istirahatlah! Nanti juga akan sembuh," kata soebandrio sambil mengecup kening
putrinya. "Terima kasih, Ayah!" kata martini sambil tersenyum. Tiba-tiba soebandrio teringat dengan sosok istrinya yang sedang berada di teras muka, kemudian dia bergegas untuk menemuinya. saat lelaki baru saja keluar kamar, tiba-tiba "Auu... Ayaaah!" teriak martini
kesakitan. soebandrio pun terkejut dan segera
menghampirinya. "Ada apa, Nak?" tanyanya khawatir. martini tidak menjawab, dia segera beranjak dari tempat tidur dan langsung memeluk ayahnya dengan isak tangis yang cukup memilukan. "Ada apa, Sayang...?" tanya soebandrio lagi. "Ka-kaki martini , Ayah," jawab martini terisak. "Kenapa kakimu? Bukankah tadi sudah diobati," tanya soebandrio bingung.
"Entahlah... sepertinya tadi ada yang memegang
kaki martini , Ayah," jawab martini dengan raut wajah yang tampak ketakutan. "Auh! Aduh, sakiiit!" tiba-tiba martini menjerit.
soebandrio agak panik melihat keadaan putrinya
seperti itu, "Sabar, Nak! Kakimu pasti sembuh," kata soebandrio menenangkan.
"Tolong Ayah, tolong…! Aduh sakiiit." martini terus
merintih, merasakan sakit yang luar biasa. Dia terus menangis , hingga air matanya tampak
membasahi pipi. soebandrio sangat kasihan melihat keadaan putrinya, namun dia tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu dia cuma bisa membelai-belai kepala martini dengan penuh
kasih sayang. Tak lama kemudian, martini mulai tenang, rasa sakit di kakinya sedikit demi sedikit mulai berkurang. Melihat itu, soebandrio merasa lega. Kemudian dia segera menyelimutinya dengan selimut yang hangat. "Istirahatlah, Sayang...! Ayah akan menemanimu di
sini," katanya sambil membelai rambut putrinya.
martini tampak tersenyum. Saat itu dia pun
merasakan kakinya mulai berangsur sembuh. "Ayah, sekarang kaki martini sudah tidak terasa sakit lagi," jelasnya kepada soebandrio .
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Padahal, tadi
Ayah begitu mengkhawatirkanmu," kata soebandrio merasa senang mendengar pernyataan putrinya. Sementara itu di sudut ruangan, sosok martini tampak sedang memandang wajah putrinya. Parasnya
yang cantik tampak begitu pucat, namun senyum di bibirnya memperlihatkan kebahagiaan. Pada saat itu soebandrio masih terduduk di sisi tempat tidur, dia terus menemani putrinya sampai tertidur pulas. sesudah tahu putrinya terlelap, soebandrio segera keluar kamar dan duduk di kursi tamu. sekarang dia sedang termenung di tempat itu, memikirkan semua peristiwa
yang telah dia alami. Sementara itu di luar rumah,
hujan lebat masih saja mengguyur Bumi. Sesekali kilat membias dengan diiringi bunyi halilintar yang menggelegar. saat hari sudah menjelang sore, soebandrio segera beranjak dari duduknya dan bergegas mengontrol semua ruangan. sekarang dia sedang berada di dapur untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Dan saat baru saja meneguk segelas air bening, tiba-tiba dia mendengar suara langkah
seseorang di belakang rumahnya. soebandrio segera membuka pintu belakang dan memeriksa suara itu. "Hmm... tidak ada siapa-siapa.
Lalu tadi itu langkah siapa?" tanya soebandrio sambil menoleh kiri-kanan. soebandrio benar-benar telah dibuat bingung, padahal tadi dia memang mendengar suara langkah kaki yang berjalan di belakang rumahnya. "Hmm... mungkinkah itu martini yang sengaja ingin
menggangguku, tapi kenapa dia berbuat begitu?"
tanya soebandrio lagi sambil melangkah masuk.
Hingga sekarang soebandrio masih belum mengerti dengan kehadiran sosok martini , dan dia mulai merasa terganggu dengan kehadirannya. sesudah mengunci pintu rapat-rapat, soebandrio segera melangkah ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. sekarang dia sedang memikirkan martini , memikirkan perihal kehadirannya yang masih penuh misteri. Sementara itu, sosok yang sedang dipikirkan soebandrio sudah
berada diruangan itu, dia berdiri di sisi soebandrio dengan tidak menampakkan diri. Saat itu dia hanya memperhatikan soebandrio yang dilihatnya masih saja termenung. Tiba-tiba, di samping sosok wanita itu telah berdiri
sesosok hitam yang sekarang sedang memandangnya. "Sekarang kau ikut aku! Aku akan mengajarkan bagaimana caranya agar kau memiliki kekuatan lebih guna berinteraksi dengan mereka," ajak sosok hitam itu. Sosok wanita itu pun menurut, kemudian dia tampak melesat pergi mengikuti sosok hitam yang dilihatnya berkelebat ke arah makam. Besok siangnya, cuaca tampak cerah. Namun kecerahan itu tidak berarti apa-apa bagi seorang gadis SMU yang sekarang sedang duduk termenung di dalam kelas. Wajahnya yang cantik terlihat begitu murung, sedangkan tatapannya tampak kosong memandang ke arah taman. Sepertinya dia sedang dilanda kekecewaan, dan kekecewaan itu membuat segalanya menjadi tidak bermakna. "Hai…martini ! Kok melamun saja!" sapa seorang gadis tiba-tiba.
martini terkejut dan langsung menoleh ke belakang. "Eh! Kau Lin," katanya sambil mencoba tersenyum. "Memangnya ada apa sih?" tanya Linda teman sekelas martini . "Ah, tidak. Tidak ada apa-apa kok," jawab martini . "Ikut aku ke kantin yuk!" ajak Linda. "Kau dahulu an deh! Nanti aku menyusul." "Oke deh. Kalau begitu, aku dahulu an ya," pamit Linda. martini mengangguk, kemudian dia memperhatikan kepergian teman sekelasnya itu. Tak lama kemudian dia sudah termenung kembali, "Kenapa latif tidak jadi
datang? Padahal aku sudah sangat merindukannya. Apa benar yang dikatakannya semalam, kalau jadwal penerbangannya telah ditunda. O ya, di sana kan memang sedang musim dingin, dan hal itu mungkin saja terjadi. Tapi... ah sudahlah. Yang penting kan dia
sudah berjanji kalau lusa akan datang." sekarang gadis itu membayangkan wajah kekasihnya. Lama juga dia melamunkan sang pujaan hati, hingga akhirnya dia teringat akan ajakan temannya. Lantas dengan segera Gadis itu bangkit dan bergegas ke Kantin. Setibanya di tempat itu dia agak kecewa, ternyata temannya yang bernama Linda sudah tidak ada. Kantin pun sudah mulai sepi, sebagian siswa-siswi sudah pindah ke taman sekolah untuk bercengkerama sesama teman maupun ngobrol dengan pacar di tempat-tempat yang strategis. Cuma ada segelintir siswa yang masih tetap bertahan,
mereka tampak berbicara dengan pacarnya masing-masing. sekarang martini sedang duduk sendirian, dia tampak menikmati segelas jus yang baru dipesannya. Mendadak matanya tertuju ke arah areal parkir yang tak jauh dari tempat itu, dilihatnya sebuah sedan mewah tampak sedang memasuki pelataran parkir.
martini memperhatikannya sejenak, kemudian
pandangannya segera beralih ke tempat lain. sekarang pikirannya menerawang jauh mengingat masa-masa indah bersama kekasihnya. Sementara itu di areal parkir, seorang pemuda baru saja turun dari sedan mewah yang dilihat martini . sekarang dia sedang menghampiri martini yang tanpa sengaja
telah dilihatnya saat masih di dalam mobil. "Hallo,
Sayang...!" sapanya mesra. martini tersentak sambil menoleh ke asal suara, dan betapa terkejut dia saat mengetahui pemuda yang
menyapanya. "latif -latif ii!" serunya sambil memeluk pemuda itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Sungguh dia sangat bahagia sekali berjumpa dengan kekasihnya, sang kekasih yang selama ini begitu dirindukan. Mereka terus berpelukan saling melepas rindu, tak lama kemudian mereka sudah melepaskan pelukan
masing-masing. sekarang mereka saling berpandangan dengan mata yang berbinar-binar. Di bibir keduanya tersungging senyum keceriaan, sebuah ekspresi yang menandakan keduanya sangat berbahagia. "Bagaimana kabarmu, Sayang...?" tanya latif . "Aku baik-baik saja, latif ," jawab martini sambil kembali duduk di kursinya. "Mbak, teh botolnya satu!" pesan latif sambil duduk berhadapan dengan martini .
"latif , kenapa kau membohongiku! Kau telah
membuatku sedih." "Maaf, Sayang...! Sebenarnya aku cuma bercanda. Maksudku ingin memberi kejutan, begitu" "Kau jahat. Tahu tidak, saat kaubilang tidak jadi datang aku begitu sedih. Padahal aku sudah begitu membayangkan kehadiranmu." "Maaf, Sayang...! Aku tidak bermaksud begitu. Yang penting sekarang aku sudah berada di hadapanmu, dan kita sudah saling melepas rindu. Sudahlah, Sayang...! Kita tidak perlu membahas masalah ini lebih jauh, sebaiknya sekarang kita bicarakan yang lain saja!" martini tampak tersenyum, kemudian keduanya kembali berbincang-bincang untuk mencurahkan segenap perasaan mereka yang selama ini terpendam.
“martini ... sudah lama juga ya kita tidak bertemu.
Apakah selama ini kau selalu merindukanku?" tanya latif lagi. "Tentu saja, latif ! Aku sangat merindukanmu, setiap saat aku selalu memikirkanmu, dan saat kaudatang tadi, aku pun sedang memikirkanmu," jawab martini dengan wajah bersemu merah. "A-apakah kau juga
merindukanku?" martini balik bertanya.
latif bukannya menjawab, tapi malah balik
bertanya. "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar
ayahmu?" tanyanya seakan tidak peduli dengan
pertanyaan martini . martini terdiam, saat itu dia masih penasaran ingin mengetahui jawaban latif atas pertanyaannya tadi. "Kau belum menjawab pertanyaanku, latif ," katanya pelan.
"Iya… aku merindukanmu, Sayang… makanya
aku langsung menemuimu di sini," jawab latif . "O
ya, Aku punya kejutan untukmu," sambungnya
kemudian. "Kejutan…? Apa itu, latif ?" tanya martini penasaran. "Nanti saja ya, sepulang sekolah," jawab latif . "Nah... sekarang kaujawab pertanyaanku tadi, bagaimana kabar ayahmu?"
"Beliau baik-baik saja, latif ," jawab martini singkat. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Selang beberapa saat, para siswa-siswi terlihat mulai memasuki kelasnya masing-masing.
"Wah, sudah waktunya masuk. Kalau begitu kau
tunggu di sini ya!" pinta martini .
latif tidak berkata apa-apa—dia cuma
mengangguk sambil tersenyum simpul. sekarang martini tampak memandang latif dengan tatapan yang seakan berat untuk meninggalkannya. "latif .. kau jangan ke mana-mana ya!" pinta martini lagi sambil beranjak dari tempat duduknya. Kemudian dia segera melangkah untuk membayar apa yang sudah dipesannya tadi, sekaligus dengan minuman yang baru dipesan oleh kekasihnya. "Tunggu aku ya, latif !" serunya sambil berlari ke kelas. sekarang latif duduk sendirian. Di kantin sudah benar-benar sepi, yang ada hanyalah para wanita yang sedang berjualan di tempat itu. Mereka memandangnya dengan penuh rasa kagum. Menurut pandangan mereka, latif begitu gagah, wajahnya pun tampan, sungguh membuat mereka tak jemu-jemu untuk memandang.
"Cowok Indo bukan?" tanya seorang pedagang
kepada temannya. "Tidak tahu," jawab temannya itu. Tiba-tiba saja latif memandang ke arah mereka, "Mbak! Tolong teh botolnya satu lagi!" serunya memesan. Dengan agak tergesa-gesa, wanita pedagang itu segera mengambilkan minuman untuk latif . Dan tak lama kemudian, "Ini minumannya, Den. Silakan!" katanya ramah.
latif tampak menyambut botol yang diberikan oleh
wanita itu, "O ya, Mbak. Botolnya saya bawa ke mobil ya!" pintanya kemudian.
"O, silakan Den," kata si wanita sambil tersenyum.
latif segera melangkah ke mobil dan duduk
menyalakan tape mobilnya. sekarang dia sedang bersantai, menikmati minuman sambil mendengarkan tembang manis yang mengalun merdu. sesudah lama menunggu, akhirnya bel pulang berbunyi. Tak lama kemudian, para siswa-siswi terlihat berhamburan keluar. Pada saat itu, latif melihat martini yang sedang berlari ke arah kantin. "martini … aku di sini!" teriaknya
memanggil. martini yang mendengar teriakan itu segera menoleh, kemudian bergegas menghampiri latif . "Aduh, latif ! Maaf ya! Kau pasti lama menunggu,’ katanya sambil menyandarkan lengannya di pintu mobil. "Ah tidak apa-apa, Sayang… lagi pula, selama menunggumu aku mendengarkan musik kok. Jadi, tidak terasa begitu lama," jelas latif . Tiba-tiba martini melihat sebuah botol kosong yang tergeletak di dashboard mobil. "O ya, minumannya
sudah dibayar belum?" tanyanya mengingatkan.
"Ups…!" kata latif sambil tersenyum.
Begitu latif hendak mengeluarkan dompetnya,
tiba-tiba, "Biar...! Biar aku saja yang bayar, latif ..." tahan martini sambil mengambil botol kosong itu dan langsung bergegas ke kantin.
Tak lama kemudian, martini sudah kembali. sekarang dia sedang masuk ke dalam mobil dan duduk di sisi kekasihnya. Pada saat itu, latif tampak memandangnya dengan mata berbinar. "Kau cantik sekali, Sayang..." puji latif sambil mengecup kening kekasihnya. "Terima kasih, latif !" kata martini dengan wajah bersemu merah. sekarang sedan mewah yang mereka tumpangi mulai melaju meninggalkan sekolah. Di tengah perjalanan, martini selalu memandangi wajah latif yang tampan, perasaan rindunya seakan belum terlepaskan. "Kenapa kau memandangku terus, Sayang…?" suara latif tiba-tiba terdengar di telinganya. martini tersipu dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Ngomong-ngomong, kau baru ganti mobil ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Benar, Sayang… di kota semacet Jakarta ini,
menurutku lebih enak mengendarai mobil yang
bertransmisi otomatis. Karena itulah aku mengganti mobilku," jelas latif panjang lebar.
"O… begitu," martini tampak mengangguk-angguk.
"O ya, Sayang... sebenarnya..." Belum sempat
latif menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba dia
mendengar nada HP-nya berbunyi. Lalu, dengan
segera dia menerimanya, "Ya, hallo!" sapanya kepada lawan bicaranya. "Maaf, Sayang...! Aku tidak bisa.Sekarang banyak pekerjaan yang harus
kuselesaikan," jawab latif yang tiba-tiba berbicara
dengan bahasa Jepang. martini yang sejak tadi memperhatikannya agak heran saat melihat raut wajah latif tampak sedikit gugup. Melihat itu, latif berusaha tersenyum seperti hendak menutupi kegugupannya. "Sudah ya, nanti akan kutelepon balik," katanya sambil mematikan
sambungan HP. "Siapa, latif ?" tanya martini yang memang tidak mengerti pembicaraan itu.
"O, dia temanku di Jepang," jawab latif .
"Laki-laki?" tanya martini lagi. latif mengangguk, dan anggukkan itu dilihat martini seperti sebuah kebohongan. Namun martini berusaha
untuk tidak membahas masalah itu lebih lanjut, dia berusaha berprasangka baik kepada kekasihnya. Sementara itu, latif terus mengemudikan mobilnya menelusuri jalan raya. Sekilas matanya tertuju pada sebuah restoran yang terletak di seberang jalan. "Kita makan dahulu yuk!" ajaknya sambil melihat ke arah
martini . martini tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Mengetahui itu, latif langsung memutar mobilnya menuju ke restoran yang dilihatnya tadi. Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi sudah diparkir tak jauh dari pintu masuk. sekarang latif tampak
sedang membuka sabuk pengaman sambil menatap martini yang dilihatnya sedang bengong.
"Kita sudah sampai, Sayang..." katanya pelan.
martini tersadar dan langsung menatap ke arah
restoran. Di dalamnya terlihat banyak pengunjung
yang sedang menikmati santap siang. "Kok makan di sini, latif ?" tanyanya sambil membuka sabuk
pengaman. "Ini tempat favoritku yang baru. Masakan di sini enak sekali loh. Kau pasti menyukainya," jawab latif . martini menatap latif sambil tersenyum manis. Melihat itu, latif langsung menggenggam kedua tangan kekasihnya dengan lembut. sekarang mereka
terhanyut dalam perasaan cinta yang menggelora,
bola mata keduanya tampak saling memperhatikan satu sama lain. saat keduanya hendak berciuman, tiba-tiba terdengar bunyi klakson yang cukup keras, berasal dari mobil yang parkir di sebelah kanan mereka. Kedua pasangan itu serentak kaget, bersamaan dengan martini yang segera menarik tangannya dari genggaman latif . Saat itu latif langsung menoleh ke asal suara, "Huh, usil sekali sih. Tidak boleh ada orang senang sedikit," keluhnya merasa kesal.
"Sudahlah, latif ! Mungkin orang di mobil itu tidak
sengaja." "Tidak mungkin. Aku rasa orang itu iri melihat kita," komentar latif sambil keluar dari mobil dan melihat ke dalam mobil di sebelahnya. Karena kaca mobil itu agak gelap, latif berusaha melihatnya lebih bdekat lagi. "Aneh... tidak ada siapa-siapa? Lalu kenapa tadi klaksonnya berbunyi?" latif tampak begitu heran.
Dengan pikiran yang masih dipenuhi tanda tanya,
latif bergegas membukakan pintu untuk martini . "Aneh
sekali, Sayang… ternyata di mobil itu tidak ada orang,"
katanya memberitahu.
"Masa..." kata martini seakan tidak percaya,
kemudian dia segera keluar dan melangkah
mendekati mobil itu. "Kau benar, latif . Hmm... apa
mungkin orang itu sudah pergi tanpa sepengetahuan
kita. Bukankah tadi kita tidak terlalu
memperhatikannya," sambungnya kemudian.
"Hmm… Mungkin saja. Tapi... kenapa cepat
sekali? Ah, sudahlah! Kalau begitu, yuk kita masuk!
Terus terang, aku sudah lapar sekali," ajak latif
sambil menggandeng martini memasuki restoran.
Udara di dalam restoran itu terasa begitu sejuk,
dekorasi ruangannya pun tampak begitu mewah. martini
agak asing berada di ruangan itu, dan dia merasa
canggung karena tampil dengan seragam sekolah.
sekarang mereka sudah duduk di sudut ruangan dekat
jendela, pemandangan dari tempat itu terlihat cukup
bagus sehingga menciptakan kesan tersendiri buat
keduanya. Selang beberapa saat, seorang pelayan
wanita berparas cantik datang menghampiri dan
langsung memberikan dua buah daftar menu.
"Kau ingin makan apa, Sayang...?" tanya latif
kepada kekasihnya.
"Aduh, aku bingung, latif ! Makanan di sini aneh-
aneh," kata martini sambil terus melihat-lihat daftar
menu.
"Kalau begitu, biar aku saja yang pilihkan ya?"
"Iya, latif . Apa saja deh," kata martini sambil menatap
latif yang juga tengah melihat-lihat daftar menu.
latif segera memesan makanan dan minuman
yang menurutnya enak. Sementara itu, martini tampak
memandang ke luar jendela. Tak lama kemudian, latif
yang sudah selesai memilih menu tampak menatap
martini , dia terus memperhatikan wajah cantik yang
masih menatap ke luar jendela. Wajah itu benar-benar
cantik dan tak pernah membuatnya jemu.
"Kau sedang melihat apa, Sayang...? Kok dari tadi
diam saja?" tanya latif tiba-tiba.
martini mengarahkan pandangannya ke arah latif ,
ditatapnya wajah pemuda itu dengan tanpa berkata
apa-apa.
"Ada apa, Sayang...?" tanya latif penasaran.
"Aku khawatir, latif ," jawab martini .
"Khawatir...? Apa maksudmu, Sayang...?" tanya
latif dengan kening berkerut.
"Eng... sebenarnya siapa orang yang
meneleponmu tadi? Kok saat berbicara kau tampak
kelihatan gugup," martini justru balik bertanya.
latif tersenyum sambil memegang tangan martini
dengan lembut. "Kau curiga?" tanyanya menebak.
"Eng... aku cuma khawatir, latif . Terus terang, aku
takut kalau kau…" martini tidak melanjutkan
perkataannya, dia merasa berat untuk mengatakan isi
hatinya. Sebab, dia sendiri memang masih ragu
dengan semua itu.
"Maksudmu, kau khawatir kalau aku punya pacar
di Tokyo kan. Atau... kau khawatir kalau aku sudah
menikah dengan wanita Jepang, begitu?" lagi-lagi latif
mencoba menebak.
martini tidak bersuara, dia cuma menganggukkan
kepalanya dengan agak tersipu. Pada saat yang
sama, dua orang pelayan tampak menghampiri
mereka dengan membawa makanan yang telah
dipesan tadi. sesudah menata makanan itu di atas
meja, kedua pelayan tadi tampak bergegas pergi.
Pada saat yang sama, latif tampak mengambil pisau
dan garpu sambil memandang wajah kekasihnya.
"Jadi benar, kau mengkhawatirkan hal itu?" tanya
latif melanjutkan pembicaraannya.
martini mengangguk sambil mengambil pisau dan
garpu yang tergeletak di hadapannya. Pada saat itu
latif tampak tertawa geli.
"Kenapa, latif ? Kenapa kau malah tertawa?" tanya
martini heran.
"Tentu saja, Sayang... bagaimana aku tidak
merasa lucu, kecurigaanmu itu sama sekali tidak
beralasan. Rasanya tidak mungkin kalau aku bisa
berpaling dari gadis secantik kamu, apalagi dengan
gadis yang sebaik kamu. Percayalah...! Aku tidak
mungkin bisa berpaling darimu. Buktinya, sekarang aku datang menemuimu karena begitu
merindukanmu. Terus terang... kaulah satu-satunya
wanita yang paling kucintai," jelas latif meyakinkan.
martini mengerutkan keningnya, "Kau yakin… kalau
aku akan percaya dengan kataanmu itu?" tanya gadis
itu santai. "Soalnya, menurut cerita teman-temanku di
sekolah, pria itu memang suka berpaling jika jauh
dengan kekasihnya."
"Terus... apa yang harus kulakukan biar kau
percaya?" tanya latif pasrah.
"Tidak tahu…" jawab martini polos.
"O ya, tadi kan aku bilang mau memberi kejutan
untukmu. Nah... kalau begitu, sekaranglah saatnya,"
kata latif sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil
dari dalam sakunya.
"Apa itu, latif ?" tanya martini penasaran.
"Ini adalah bukti bahwa aku memang benar-benar
mencintaimu," kata latif sambil membuka kotak itu
dan memberikannya kepada martini .
Saat itu mata martini langsung terbebelalak. "Hah!
Bukankah ini cincin berlian, latif ? Eng... A-apakah ini
berlian asli, latif ?" tanya martini seakan tak percaya.
"Tentu saja asli… masa aku memberikanmu yang
imitasi, ya tidak mungkinlah," jawab latif meyakinkan.
"Cincin ini bagus sekali, latif . Tapi... aku tidak bisa
menerimanya. Terus terang, ini terlalu bagus untukku.
Rasanya, belum saatnya aku menerima yang seperti
ini," tolak martini .
"Sudahlah, terima saja! Ini adalah pelambang
cinta abadi kita."
"Tapi..."
"Sudahlah...! Mari kupakaikan."
latif pun segera memakaikan cincin itu di jari
manis martini , sedangkan martini tampak menatapnya
dengan mata berbinar-binar. Sungguh dia bahagia
sekali karena latif benar-benar mencintainya.
Buktinya, tanda cinta abadi itu sekarang telah melingkar di
jarinya. "Terima kasih ya, latif ! Maaf, kalau tadi aku
sempat mencurigaimu!" katanya lembut.
Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian
keduanya kembali menyantap makanan masing-
masing.
Masih di hari yang sama. Di sebuah
ruangan perkantoran terdapat delapan
buah meja kerja yang tertata rapi. Di atas meja-meja
itu terdapat sebuah komputer, pesawat telepon, dan
beberapa keperluan tulis-menulis. Di salah satu sudut
ruangan itu terlihat dua buah cabinet yang berdiri
kokoh, sedangkan di sudut yang lain terdapat sebuah
mesin foto copy yang berdampingan dengan sebuah
mesin Fax.
sekarang di ruangan itu hanya terlihat tiga orang
pegawai yang sedang menyelesaikan tugas-tugasnya.
Salah satunya adalah soebandrio yang sedang sibuk
menyiapkan laporan. Tak lama kemudian, sekretaris
Pak untung yang bernama Bu Siska terlihat memasuki
ruangan. Dia langsung menghampiri soebandrio yang
terlihat masih saja sibuk. "Maaf, Pak! Tolong disusun
berkas-berkas ini!" pintanya sambil menyodorkan
beberapa buah map kepada soebandrio .
soebandrio yang agak terkejut dengan kedatangan
Bu Siska tampak mengatur posisi duduknya,
kemudian dengan segera dia mengambil map-map
yang disodorkan itu.
"Saya harap besok sudah selesai, Pak!" sambung
Bu Siska berharap.
soebandrio tidak berkata apa-apa, dia tampak
membaca tulisan yang tertera di muka map itu.
"Maaf, Bu! Bukankah berkas-berkas ini
seharusnya diserahkan ke Pak untung ," kata soebandrio
sopan.
"Iya, saya tahu. Tapi Pak untung sendiri yang
menyuruh saya menyerahkannya ke Bapak. Kalau
Bapak tidak mau, ya tidak usah dikerjakan! Tapi ingat,
Bapak akan menanggung segala akibatnya," kata Bu
Siska mengancam.
"Oh, kalau begitu! Baiklah Bu, saya akan
mengerjakannya secepat mungkin," janji soebandrio sambil mengatur kembali map-map itu dan
meletakkannya di atas meja.
"Jangan lupa! Besok kau sendiri yang
menyerahkannya kepada saya!"
"Tapi, Bu..." Belum sempat soebandrio
menyelesaikan kalimatnya, Bu Siska langsung
memotong. "Maaf! Sekarang saya tidak punya banyak
waktu, permisi!" pamit wanita itu sambil beranjak pergi
dengan sikap berjalan yang begitu angkuh.
soebandrio tampak geleng-geleng kepala sambil
bersandar di kursinya, sedangkan kedua matanya
terus memperhatikan kepergian Bu Siska. saat
soebandrio akan memulai bekerja kembali, tiba-tiba HP-
nya yang tergeletak diatas meja berdering.
“Hmm… ini nomor siapa?” tanya soebandrio heran.
Lantas dengan segera dia mengangkat telepon itu,
"Ya, hallo!" sapanya.
"Ayah!" suara martini tiba-tiba terdengar di seberang
sana.
"O, kau, Nak. Ayah kira siapa. Ngomong-
ngomong, kau pakai HP siapa?” tanya soebandrio .
“HP teman, Yah. Soalnya HP martini lagi lowbat.”
“O begitu… O ya, ngomong-nomong… kau lagi di
mana, Sayang...?" tanya soebandrio lagi.
"martini lagi di Restoran. Sama teman, Yah," jawab
martini .
"O ya, sebenarnya siapa temanmu itu?" tanya
soebandrio menyelidik.
"Pokoknya teman," jawab martini singkat.
"Ya sudah… ngomong-ngomong, kapan kau
pulang?"
"Yaaa... mungkin sebentar lagi. Tapi, martini tidak
langsung pulang ke rumah. martini mau menjemput
Ayah."
"Tidak usah, Sayang...! Ayah bisa pulang sendiri.
Lagi pula, bukankah kau lelah. Sebaiknya kau
langsung pulang saja!"
"Tidak, Ayah! Pokoknya martini mau jemput Ayah,"
kata martini berkeras.
"Baiklah kalau begitu... Ayah akan menunggumu,"
kata soebandrio mengalah.
"Terima kasih, Ayah! Kalau begitu, sudah dahulu ya!
Sampai nanti," kata martini sambil memutuskan
sambungan.
sekarang martini tampak memandang latif sambil
tersenyum manis, "Ini, latif . Terima kasih ya!" katanya
sambil menyerahkan HP milik pemuda itu.
"Bagaimana, jadi menjemput ayahmu?" tanya latif
sambil menanggapi HP-nya dan langsung
menyimpannya di saku.
martini mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak latif
sambil bangkit dari duduknya dan langsung
menggandeng martini .
Tak lama kemudian, kedua muda-mudi itu sudah
keluar Restoran. sekarang mereka sedang menuju ke mobil
yang diparkir tak jauh dari pintu masuk. Setibanya di
mobil, latif langsung membukakan pintu untuk
kekasihnya. sesudah itu, dia pun bergegas masuk dan
langsung memacu mobilnya menuju ke kantor
soebandrio .
Di perjalanan, martini tampak senyam-senyum
sendirian. Dia sangat gembira karena akan
menjemput ayahnya bersama sang Pujaan hati,
sedangkan latif terus memperhatikan jalan dan
sekali-kali menatap wajah martini yang masih saja
terlihat ceria. "Kau tampak senang sekali, Sayang..."
komentarnya atas keceriaan itu.
"Tentu saja, aku sudah membayangkan
bagaimana bahagianya Ayah saat melihatmu nanti."
"O… begitu," kata latif mengangguk-angguk.
Sedan mewah yang dikemudikan latif terus
melaju menyusuri jalan raya. saat sampai di
pertengahan jalan, tiba-tiba latif membelokkan
mobilnya ke sebuah jalan alternatif.
"Kok lewat sini, latif …" tanya martini bingung.
"Tenang… Aku cuma mau menghindari
kemacetan. Aku hafal benar dengan seluk-beluk jalan
di sini, nanti kita juga akan kembali lagi ke jalan
utama," jelas latif .
"O… begitu, Syukurlah! Itu artinya kita bisa
menjemput Ayah lebih cepat," kata martini senang.
Tiba-tiba, mobil mewah itu berhenti di depan
sebuah penginapan. Mengetahui itu, martini langsung
bereaksi, "Kenapa berhenti di sini, latif ?" tanyanya
heran.
"Sebentar ya! Aku mau menemui seseorang yang
menginap di sini," jawab latif .
martini tampak berpikir, kemudian menatap
kekasihnya sambil tersenyum. "Jangan lama-lama ya,
latif !" pesannya kemudian.
"Aku Janji," kata latif sambil mengacungkan
kedua jarinya. sesudah itu dia segera melangkah
memasuki penginapan.
Benar saja. Beberapa menit kemudian latif sudah
kembali, kemudian dia langsung duduk di sisi
kekasihnya. "Tidak lama, kan?" tanyanya sambil
tersenyum.
martini tampak mengangguk, "Memangnya siapa
sih, latif ?" tanyanya kemudian.
"Rekan bisnis ayahku. Tadi pagi, Ayah memintaku
untuk menyampaikan sebuah amanat. Tapi, karena
tadi pagi orang itu ada kesibukan, akhirnya dia
memintaku untuk menemuinya di sini, pada waktu ini."
martini tidak bertanya-tanya lagi, dia percaya dengan
semua kataan kekasihnya. Tak lama kemudian,
sedan mewah yang mereka tumpangi sudah kembali
ke jalan utama.
latif terus mengemudikan mobilnya, sejenak dia
melirik ke arah martini . Dilihatnya wajah gadis itu
tampak begitu mempesona. Dalam hati dia berkata,
"Kau benar-benar cantik, Sayang... Malam ini kau
pasti tidak mungkin bisa menolak keinginanku.
Soalnya, obat perangsang yang kudapat dari temanku
tadi sangat manjur."
Pemuda itu terus memikirkan niat jahatnya.
Sementara itu, sedan mewah yang mereka tumpangi
terus melaju, merayap dalam kemacetan yang
memang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota. sesudah
menempuh perjalanan yang cukup melelahkan,
akhirnya sedan mewah itu tiba di kantor soebandrio .
saat latif baru memarkir mobilnya, tiba-tiba
terdengar nada lagu ‘Pretty Woman’ dari HP yang ada di saku bajunya. Pada saat itu martini tampak
memandang wajah latif dengan penuh tanda tanya,
sebab nada kali ini berbeda dengan nada yang
sebelumnya pernah didengar. "Hmm... siapa sih yang
menelepon latif dengan nada spesial ini," tanyanya
dalam hati.
latif tampak memandang martini dengan sedikit
gugup, kemudian dia segera menerima telepon yang
masuk itu.
"Hallo, latif !" terdengar suara seorang gadis yang
ternyata teman sekelasnya saat masih di SMA dahulu .
"Kau sedang apa? Apakah aku mengganggumu?"
tanya gadis itu kemudian.
"Oh, tidak. …kau sama sekali tidak
menggangguku. Saat ini aku sedang bersama martini ,
menunggu ayahnya pulang," jawab latif .
"Bagaimana kabarmu?" latif balik bertanya.
"Aku baik-baik saja," jawab gadis itu.
Saat itu martini memandang latif dengan penuh
curiga, sedangkan latif tampak meliriknya sambil
tersenyum.
"Iya-iya.…" Suara latif kembali terdengar. "Baik-
baik," katanya kemudian.
"O ya, bagaimana kabar sepupumu itu?" tanya
gadis itu lagi.
"Baik juga," jawab latif singkat.
"O ya, sampaikan salamku untuknya, ya!"
"Iya, akan kusampaikan."
"Oke deh… thanks ya! Bye..." kata gadis itu
mengakhiri pembicaraan.
"Bye..." balas latif sambil memutuskan
sambungan dan menyimpan HP-nya kembali.
"Siapa sih?" tanya martini tiba-tiba.
"Teman lama," jawab latif singkat.
"Wanita?"
latif mengangguk. "O ya, tadi dia titip salam
untukmu," katanya kemudian.
"Lho, apa dia mengenalku?"
"Tentu saja, selama ini aku kan selalu jujur pada
siapa saja, termasuk pada temanku itu. Waktu itu dia
pernah melihat kita jalan berdua, lalu aku
memberitahunya kalau kau adalah pacarku yang
paling kusayang," jelas latif .
martini tersipu mendengar perkataan latif barusan,
kemudian dia memandang ke arah pintu kantor
memperhatikan pegawai yang keluar-masuk.
"Biasanya ayahmu keluar pukul berapa?" tanya
latif .
"Biasanya pukul segini beliau sudah keluar kok,"
jawab martini .
Keduanya terus menunggu sambil berbincang-
bincang. Sementara itu di ruang kantor, soebandrio
terlihat sedang menyimpan berkas kerjanya di laci
meja bagian bawah. saat baru menutup laci itu, tiba-
tiba dia dikejutkan oleh sepasang kaki wanita yang
dilihatnya tengah berdiri di depan meja kerjanya.
Sepasang kaki itu mengenakan selop hitam yang
terbuat dari kulit buaya.
Perlahan soebandrio mengangkat kepala untuk
melihat wanita yang berdiri di hadapannya. Ternyata
wanita itu sudah berusia separuh baya,
penampilannya terlihat begitu rapi dan tampak
berwibawa. Dengan segera soebandrio berdiri tegak di
hadapan wanita itu, "Selamat sore, Bu!" katanya
sopan. Rupanya soebandrio sedang berhadapan dengan
atasannya yang selama ini paling dihormati.
"Bapak belum pulang?" tanya sang Atasan.
"Sebentar lagi, Bu. Saat ini saya masih sibuk
beres-beres," jawab soebandrio .
sekarang sang Atasan tampak mengambil sebuah Map
berwarna hijau yang masih tergeletak di atas meja
kerja soebandrio , kemudian memperhatikan tulisan di
muka map dan melihat isinya. "Loh... kenapa ini ada di
sini?" tanya atasannya heran.
"Saya akan menyelesaikannya di rumah, Bu, "
jawab soebandrio .
"Bukan, bukan itu maksudku. Lihat ini! Ini kan
berkas yang saya tugaskan kepada Pak untung . Kenapa
berkas ini bisa ada padamu?"
"Aduh, Bu. Saya mohon maaf! Bu Siska yang
menyuruh saya untuk mengerjakannya," jawab
soebandrio terus terang.
"Sekarang di mana Bu Siska?" tanya atasannya
yang terlihat agak marah.
"Sudah pulang, Bu!" jawab soebandrio .
Sang Atasan tampak mengerutkan kening,
kemudian kembali berkata. "Kau tahu, sebenarnya
berkas ini tidak boleh diketahui oleh pegawai
sepertimu. Tapi tidak apalah, sudah terlanjur. Kau
kerjakan saja berkas ini dengan baik, besok langsung
kau serahkan padaku. O ya, sekalian tolong bilang
sama Bu Siska agar menemui saya besok, pukul
sepuluh!"
"Ba-Baik Bu," jawab soebandrio gugup.
"Kalau begitu, sekarang saya pergi. Selamat
sore!" pamit wanita itu.
"Selamat sore, Bu!" kata soebandrio sambil
memperhatikan atasannya melangkah pergi.
sekarang soebandrio tampak gelisah. Di benaknya
terlintas berbagai hal yang akan dihadapinya besok.
“Aduh, hampir saja aku lupa,” kata soebandrio tiba-tiba
teringat dengan putrinya yang akan datang
menjemput, "Hmm... mungkin saat ini martini sedang
menungguku. Kalau begitu, aku harus cepat-cepat
menemuinya,” gumam soebandrio sambil membereskan
map-map di atas meja dan memasukkannya ke dalam
tas kantor, kemudian dengan terburu-buru dia
melangkah ke luar.
Sementara itu di dalam mobil, martini tampak
gelisah, dia terus memikirkan ayahnya. "Apa yang
sedang beliau lakukan di ruang kerjanya, ya?" tanya
gadis itu dalam hati.
Namun saat melihat sang Ayah keluar gedung,
martini pun langsung gembira. "Itu ayahku, latif ," katanya
riang.
Kemudian dengan segera gadis itu keluar mobil
dan berlari menghampiri ayahnya. sekarang keduanya
sudah saling bertatap muka. "Ayah, kok lama sekali
sih?" tanya martini sambil menggandeng lengan
ayahnya.
"O, tadi masih ada pekerjaan yang mesti Ayah
selesaikan," jawab soebandrio . "O ya, kau ke sini dengan
siapa?" tanyanya kemudian.
martini tidak menjawab, dia terus menggandeng
lengan ayahnya menuju ke mobil. sesudah mereka
mendekat, latif tampak keluar dari mobil dan
melangkah menghampiri mereka. "Selamat Sore,
Pak!" kata latif sambil mengulurkan tangannya untuk
berjabatan.
"latif -latif …! Kau latif kan? Ha ha ha…! Apa kabar,
Nak?" tanya soebandrio sambil berjabatan tangan
dengan pemuda itu.
"Baik, Pak," jawab latif sambil melepaskan
jabatan tangannya.
soebandrio benar-benar mendapat kejutan dengan
hadirnya pemuda itu, dan dia tidak menyangka kalau
latif -lah yang akan datang bersama putrinya. sekarang
soebandrio menatap latif dengan segala kerinduannya,
kemudian keduanya tampak saling berpandangan
dengan senyum di bibir masing-masing.
Tak lama kemudian, latif tampak membukakan
pintu belakang untuk soebandrio . "Silakan, Pak!"
katanya ramah. sesudah itu, dia tampak membukakan
pintu depan untuk martini . sesudah gadis itu masuk, latif pun bergegas masuk. sekarang dia sudah duduk di depan
kemudi sambil tersenyum kepada gadis yang duduk di
sampingnya. Pada saat itu, martini tampak tersipu
dibuatnya. Akhirnya, sedan mewah yang mereka
tumpangi segera melaju ke rumah soebandrio .
Setibanya di tempat tujuan, latif tampak memarkir
mobilnya di pekarangan dan bergegas membukakan
pintu mobil untuk soebandrio . Tanpa menunggu
dibukakan, martini segera keluar mobil dan bergegas
membuka pintu rumahnya. Tak lama kemudian,
ketiganya tampak sudah memasuki rumah.
sekarang soebandrio dan latif sudah duduk di ruang tamu,
mereka tampak berbincang-bincang dengan
akrabnya. Pada saat itu, martini sedang berada di dapur
untuk membuatkan minum.
"O ya, Nak latif . Bagaimana kuliahmu di Tokyo?"
tanya soebandrio .
"Kuliah saya lancar, Pak," jawab latif .
"Kapan selesainya?"
"Kira-kira satu tahun lagi, Pak."
"O…" soebandrio menatap latif dengan bangga.
Pada saat yang sama, martini sudah kembali
dengan membawa baki yang berisi dua gelas
minuman dan beberapa makanan kecil, kemudian
menyuguhkannya kepada mereka. "Ini tehnya, Ayah!"
katanya kepada soebandrio . "Silakan, latif !" katanya
kepada latif . Lalu, dari bibir gadis itu tampak tersebar
senyum kehangatan.
latif menatap martini sejenak, kemudian tersenyum
kepadanya. "Terima kasih, Sayang…!" katanya
kemudian.
"Sebentar ya, latif ! Aku ganti baju dahulu ," kata martini
sambil melangkah pergi.
Sejenak latif memperhatikan kepergiannya,
kemudian dia kembali memandang ke arah soebandrio .
"O ya, Pak. Apa kebun Bapak masih menghasilkan?"
tanya latif perihal kebun yang ada di belakang rumah.
"Waaah! Sekarang hasilnya sedikit, soalnya saya
sudah jarang mengurus. Sekarang yang ada cuma
tinggal pohon pepaya dan singkong, hasilnya pun
cuma untuk makan sendiri," jelas soebandrio . "O ya,
Nak. Silakan tehnya diminum! Makanannya juga coba
dicicipi!" sambungnya kemudian.
latif segera meneguk minumannya, kemudian
disusul dengan mencicipi makanan ringan yang
sebenarnya tidak dia sukai. Pada saat yang sama,
martini tampak sudah kembali dengan membawa
segelas minuman untuk dirinya sendiri. sekarang dia sudah
duduk di sebelah latif dan mengajaknya berbincang-
bincang. Sementara itu, soebandrio tampak memandang
keduanya dengan perasaan bahagia. Menurut dia,
keduanya tampak begitu serasi.
saat soebandrio sedang memperhatikan keduanya,
mendadak dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang
tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang kedua muda-
mudi itu. Dia tampak mengenakan gaun putih polos
dengan rambut panjang yang tergerai, sedangkan
wajahnya yang pucat tampak begitu marah. Saat itu
soebandrio terlihat kebingungan, dia benar-benar tidak
mengerti kenapa sosok istrinya tiba-tiba muncul
dengan wajah semarah itu.
"Ada apa, Ayah?" tanya martini yang melihat wajah
ayahnya tampak begitu tegang.
soebandrio tidak menjawab, dia terus menatap
sosok istrinya yang masih berdiri dengan tangan
terkepal. Saat itu martini langsung menoleh ke
belakang, melihat apa yang sedang ditatap ayahnya.
Namun, dia tidak melihat sesuatu pun yang
mencurigakan.
Tiba-tiba soebandrio beranjak dari tempat duduknya,
kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. latif
yang melihat soebandrio seperti itu tampak mengerutkan
kening. "Kenapa dengan ayahmu, Sayang?" tanya
pemuda itu heran.
Saat itu martini tidak menjawab, dia tampak
memperhatikan ayahnya yang sedang melangkah ke
ruang tengah. "Sebentar ya..!" katanya sambil
bergegas menyusul sang Ayah.
Setibanya di ruang tengah. "Hmm... Ayah ke mana
ya?" tanya gadis itu dalam hati sambil terus
celingukan, mencari-cari sang Ayah.
sekarang gadis itu sedang melangkah ke kamar
ayahnya. "Yah! Ayah!" panggilnya sambil mengetuk
pintu kamar yang tampak tertutup rapat.
Karena tak juga mendengar jawaban, akhirnya
martini membuka pintu kamar, dan ternyata sang Ayah
juga tidak ada di ruangan itu. "Hmm... Ayah ke mana
sih?" gumamnya sambil melangkah pergi.
"Yah! Ayah…! Ayah di mana...?" martini kembali
memanggil-manggil ayahnya, suaranya semakin keras
terdengar.
martini merasakan ada sesuatu yang tidak beres
dengan ayahnya, kemudian dia segera mencarinya
hampir ke semua ruangan. saat tiba di dapur, dia
melihat pintu belakang tampak terbuka lebar. Melihat
itu, martini pun segera keluar dan berteriak-teriak
memanggil ayahnya. Teriakannya terdengar keras
bagai anak ayam yang kehilangan induknya.
Sementara itu, latif tampak sedang termenung di
ruang tamu. "Hmm... apakah setan telah memberikan
kesempatan untuk memulai segala rencanaku?
Baiklah kalau begitu, sekarang juga aku akan
memanfaatkan kesempatan ini," katanya dalam hati
sambil menuangkan obat perangsang ke dalam
minuman martini . sesudah itu dia kembali menunggu.
sesudah lama menunggu, kesabarannya pun mulai
habis. "Hmm… Kenapa martini belum juga kembali?
Kalau begitu, sebaiknya kususul saja," gumamnya
sambil beranjak pergi.
Bersamaan dengan itu, martini baru saja kembali
dari mencari ayahnya. sekarang dia sedang berada di dapur
sambil menangis sedih, saat itu dia benar-benar
sudah kehilangan dan mengkhawatirkan ayahnya.
martini terus menangis dan menangis, air matanya tak
kunjung berhenti membasahi pipi.
"martini !" seru latif tiba-tiba sambil menghampiri
kekasihnya. sekarang dia tampak memegang kedua bahu
martini dan menatapnya dengan hangat. "Apa yang telah
terjadi, Sayang...?" tanya pemuda itu kemudian.
martini tidak menjawab, dia membalas tatapan latif
sambil terus menangis, lalu dengan serta-merta dia
memeluknya erat.
"Sebenarnya ada apa, Sayang...?" tanya latif lagi.
martini masih tidak menjawab, dia terus saja
menangis di pelukan kekasihnya. Sementara itu di
pemakaman, soebandrio tampak sedang memohon-
mohon di pusara makam istrinya. "Jangan kauganggu
dia martini … jangan! Aku mohon… janganlah kau
mengganggu dia! Dia itu anak kita. Apakah kau tidak
sayang padanya? Padahal, masih jelas terbayang di
benakku akan masa-masa indah bersamamu, masa-
masa indah dimana kau begitu menyayanginya, dan
pada saat itu kulihat martini begitu bahagia mendapat
belaian lembut dari seorang ibu yang begitu
mencintainya. Tapi kenapa? Kenapa sekarang kau
mau mengganggu ketentramannya, kenapa kauhadir
di dunia yang seharusnya bukan tempatmu,
kenapa...? Aku mohon, janganlah kau mengganggu
dia martini . Jangan...!" pinta soebandrio berkali-kali sambil
terus menangis di pusara makam istrinya.
soebandrio terus bersimpuh sambil memeluk makam
istrinya. Sementara itu di ruang dapur, martini masih
saja menangis di pelukan latif , sedangkan latif
tampak membelainya dengan penuh kasih sayang.
"Sudahlah Sayang… tabahkan hatimu!" kata pemuda
itu sambil mengecup kening martini .
Tiba-tiba ’Braaaakk…!!!’ Mereka serentak
kaget saat mendengar daun pintu yang ditutup
dengan kerasnya.
Saat itu martini tampak ketakutan, bulu kuduknya
sesaat berdiri, dan jantungnya langsung berdebar
kencang. sekarang dia semakin merapatkan pelukannya ke
tubuh sang kekasih tercinta. latif yang juga merasa
takut berusaha untuk tetap tenang, dia tidak mau rasa
takutnya itu diketahui oleh martini . "Tenanglah,
Sayang...! Tadi itu paling cuma angin yang bertiup
kencang," katanya sambil kembali mengecup kening
kekasihnya.
Pada saat yang sama, tiba-tiba pintu yang tertutup
tadi kembali terbuka lebar, disusul dengan angin
kencang yang berhembus memasuki ruangan.
Suaranya terdengar menderu-deru dan membuat
keduanya semakin ketakutan.
Sambil tetap mendekap martini , pemuda yang
bernama latif itu segera menutup pintu dan
menguncinya rapat-rapat. "Nah... benar kan, tadi itu
cuma angin. Kalau sudah terkunci seperti sekarang,
pintu itu tidak mungkin bisa terbuka lagi," katanya
sambil menatap martini dengan hangat.
martini tampak lega, lalu dia tersenyum sambil
menyadarkan kepalanya di dada sang Kekasih.
Mendadak benda-benda yang ada di ruangan itu
tampak bergerak-gerak, kemudian disusul dengan
pecahnya gelas dan piring yang berhamburan ke
lantai. Pintu yang tadi telah terkunci mendadak
terbuka lagi, bersamaan dengan hembusan angin
yang kembali masuk dengan suaranya yang kian
menderu-deru.
Saat itu martini langsung menjerit histeris sambil
menutup kedua telinganya, kemudian segera berlari
meninggalkan ruangan itu. latif yang juga sangat
ketakutan segera berlari mengikuti kekasihnya ke
ruang tamu. Tak lama kemudian, keduanya sudah
berada di ruang itu.
martini yang masih sangat ketakutan segera
memeluk latif dengan erat, dia memeluknya seakan
tak mau melepaskannya lagi. latif sendiri masih terus
diselimuti ketakutan, sungguh dia tidak menduga akan
mengalami kejadian itu, namun lagi-lagi dia berusaha
untuk tetap tenang.
sekarang pemuda itu mencoba untuk menenangkan
kekasinya, "Tenanglah, Sayang...! Mungkin tadi itu
cuma gempa ringan. Selama di Jepang, aku juga
sering mengalami gempa yang seperti barusan,"
jelasnya sambil mengusap-usap punggung martini .
"Tapi, latif ... kenapa hal itu cuma terjadi di dapur.
Kau lihat sendiri kan, di ruangan ini sama sekali tidak
apa-apa."
latif tidak bisa menjelaskan hal itu, namun dia
tetap berusaha untuk membuat martini menjadi tenang.
"Sudahlah Sayang...! Sekarang kau duduk dahulu !" kata
latif sambil membantu kekasihnya untuk duduk di
sofa. "Nah, sekarang sebaiknya kauminum dahulu !"
katanya lagi sambil mengambil minuman milik martini
yang telah diberi obat perangsang.
Pada saat yang sama, tiba-tiba gelas yang berada
di genggaman latif seperti ada yang menepis. Tak
ayal, gelas itu langsung jatuh ke lantai dan hancur
berkeping-keping.
Saat itu martini langsung kaget dibuatnya, "Ada apa,
latif ...?" tanyanya dengan suara yang terdengar parau.
"Entahlah… aku tidak mengerti," jawab latif
sambil menatap ke lantai, melihat pecahan gelas yang
tampak berserakan.
Mengetahui itu, latif segera mengambil sapu yang
tersandar di balik pintu dan mencoba untuk
membersihkannya.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi, latif ?" tanya
martini lagi sambil bangkit dari tempat duduknya.
latif tidak segera menjawab, dia tampak
menghampiri martini dan menatapnya dengan penuh
rasa cemas. "Sayang… sepertinya ada sesuatu yang
tidak beres di rumah ini," kata pemuda itu datar.
"Apa maksudmu, latif ?" tanya martini penasaran.
"Aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepertinya
semua ini ulah tukang sihir yang tidak menyukai
keberadaan kita," jawab latif sambil melihat ke
sekelilingnya.
"Ka-kau jangan membuatku semakin takut, latif ...!"
martini berharap.
Belum sempat latif berkata-kata, tiba-tiba
“BRAKKK!!!” pintu depan tampak terbuka lebar
dengan disertai angin yang terus berhembus kencang.
Sesaat latif dan martini menatap ke arah pintu,
saat itu mata mereka tampak memicing menahan
hembusan angin yang begitu kencang, rambut
mereka pun tampak terumbai-umbai diterpa angin
yang semakin membesar.
sekarang keduanya semakin merapatkan pelukan.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba semua lampu di
rumah itu mendadak padam. Saat itu martini langsung
menjerit histeris, dia tampak ketakutan di dalam gelap
yang mencekam. Sementara itu, latif berusaha
mengendalikan rasa takutnya, "Ayo kita segera keluar,
Sayang...!" ajaknya sambil menggandeng lengan
martini .
sekarang keduanya melangkah menuju teras sambil
terus bergandengan tangan, mereka terus melangkah
melawan arus angin yang semakin kencang. Dan
setibanya di teras depan, "Kau tunggu di sini,
Sayang...!" pinta latif sambil menyuruh martini untuk
berpegangan pada pilar penyangga.
martini menurut, dia segera berpegangan pada pilar
penyangga dan berusaha keras agar tidak terbawa
arus angin. Pada saat yang sama, latif mulai
melangkah melawan arus angin yang terus
menerpanya, dia berniat masuk ke mobil untuk
mengambil alat penerangan yang tersimpan di laci.
latif terus berusaha mendekati mobilnya dengan
berjuang keras melawan arus angin yang semakin
keras menerpa. Saat itu, tangan kanannya tampak
menyiku—melindungi kedua matanya. sekarang pemuda itu
sudah berhasil menempuh separo jalan, dan dia
masih terus melangkah melawan arus angin yang
seakan mendorongnya agar tidak mendekati mobil.
Sementara itu, martini hanya bisa mengawasinya
sambil terus berpegangan pada pilar penyangga.
Tiba-tiba saja gadis itu terpekik, dilihatnya sang
kekasih mendadak jatuh dan terseret di atas tanah.
Melihat itu, sesaat martini menggigit bibirnya, kedua alisnya tampak merapat cemas. sekarang gadis itu melihat
kekasihnya sedang berusaha bangkit, sayup-sayup
terdengar rintihan kesakitan, akibat cidera yang
diderita pemuda itu.
Suasana semakin menakutkan dan kian
mencekam. Dengan perasaan takut dan kecemasan
yang semakin menjadi-jadi, martini terus memperhatikan
kekasihnya. Sementara itu, latif sudah melangkah
kembali dengan mengerahkan segala
kemampuannya. latif terus berusaha dan berusaha
mendekati mobilnya yang sekarang sudah tidak begitu jauh
lagi. Saat itu, dilihatnya mobil itu tampak bergoyang-
goyang tertiup angin.
sesudah berusaha keras, akhirnya latif berhasil
menggapai pintu mobil dan segera masuk. Keadaan di
dalam agak gelap, dan entah kenapa lampu kabinnya
tidak bisa dinyalakan. sekarang latif sedang berusaha
mencari alat penerangan yang tersimpan di laci,
dengan tangan kirinya pemuda itu tampak meraba isi
laci satu per satu. sesudah menemukan apa yang
dicarinya, pemuda itu segera kembali ke tempat martini
berada. Saat itu, latif tampak kelelahan dan berjalan
dengan terhuyung-huyung. Namun belum sampai dia
mendekati martini , tiba-tiba saja sebuah bayangan putih
melesat cepat dan menabraknya dengan keras sekali.
Tak ayal, tubuh pemuda itu langsung terhempas ke
tanah dan menimpa sebuah benda keras. Suara
teriakannya terdengar keras bersamaan dengan
jeritan martini yang ketakutan menyaksikan kejadian itu.
martini terus memperhatikan latif dan merasa
khawatir dengan keadaannya. sekarang dilihatnya pemuda
itu tampak berusaha bangkit kembali, dan sesekali
terdengar rintihan kesakitan dari bibirnya yang tipis.
Rupanya pemuda itu mengalami cidera di punggung
lantaran tulang belakangnya sempat terbentur sebuah
batu saat terjatuh tadi. Tak lama kemudian, dia
sudah melangkah kembali. Bersamaan dengan itu,
tiba-tiba angin kencang berhenti dengan sendirinya,
kemudian disusul dengan menyalanya lampu-lampu di
semua ruangan. sekarang latif sudah berdiri di hadapan
martini sambil tertunduk lemas.
"Kau tidak apa-apa, latif …?" tanya martini khawatir.
latif tidak menjawab, dia cuma memandang martini
dengan wajah yang begitu tegang. Saat itu martini
melihat bibir pemuda itu tampak mengeluarkan darah.
Lalu, dengan serta-merta gadis itu mencoba
membersihkannya. saat martini hendak menyentuh
luka itu, tiba-tiba latif menepisnya dengan keras
sekali sambil mundur selangkah.
Sesaat martini tersentak, dia benar-benar terkejut
akan perlakuan itu. "Ada apa denganmu, latif ? Kenapa
kau seperti itu?" tanya gadis itu lirih.
latif tidak menjawab, dia tampak mengangkat
kepalanya dengan sangat perlahan, kemudian
menatap martini dengan penuh curiga. "Di mana
ayahmu???" tanya pemuda itu dengan nada
membentak.
Lagi-lagi martini tersentak, sungguh dia tidak
menyangka kalau latif telah bicara kasar padanya.
"Kenapa, latif ? Kenapa kau marah kepadaku?" tanya
gadis itu sambil menatap mata latif dengan penuh
tanda tanya.
latif tidak menjawab, dia malah menatap martini
dengan sorot mata yang penuh kebencian. Melihat itu,
martini pun langsung menangis sedih, kemudian dengan
segera gadis itu berbalik dan langsung berlari ke
kamarnya. sekarang gadis itu sedang bersandar di daun
pintu dengan tubuh gemetar dan hati yang tersayat-
sayat. martini terus menangis dan menangis. Sungguh
dia tidak menduga kalau kekasihnya akan bersikap
sekasar itu.
Di teras depan, latif masih berdiri sambil menatap
ke dalam rumah, kemudian dia melangkah memasuki
ruang tamu. sekarang dia tampak berdiri di tengah-tengah
ruangan itu dengan penuh amarah, kedua bola
matanya tampak liar memandang ke segala arah.
Pada saat yang sama, soebandrio baru saja pulang, dia
tampak memperhatikan latif yang berdiri terpaku
sambil menatap ke luar rumah. "latif !" panggil
soebandrio sambil menghampiri pemuda itu.
latif segera memalingkan pandangannya ke arah
soebandrio , kemudian menatapnya dengan sorot mata
yang berapi-api. soebandrio yang melihat latif seperti itu
tampak keheranan. "Aneh… Kenapa dengan anak ini?
Kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti itu? Jangan-
jangan..." soebandrio tampak berpikir keras.
latif masih menatap soebandrio , kedua matanya tak
bergeming dari pandangan soebandrio yang sekarang juga
mulai berapi-api. Sementara itu, martini yang
mendengar suara ayahnya segera keluar kamar. sekarang
dia tampak melangkah ke ruang tamu dengan
perlahan. Betapa terkejutnya dia saat melihat ayah
dan kekasihnya tampak saling bertatapan, kemudian
dengan cemas gadis itu segera bersembunyi di balik
dinding.
Sambil bersandar, gadis itu tampak
menengadah—menarik nafas panjang, kemudian
menghembuskannya dengan cepat sekali. "Huff! Apa
sebenarnya yang sedang terjadi? Kenapa dengan
mereka?" martini membatin. Kemudian martini kembali
memperhatikan mereka, dilihatnya keadaan masih
seperti semula—mereka masih terpaku dan saling
berpandangan.
Tiba-tiba soebandrio berteriak dengan kerasnya,
"Keluaaar!" usir soebandrio kepada mendiang istrinya
yang diduga bersemayam di tubuh latif . Kerasnya
suara teriakan itu membuat martini terkejut bukan
kepalang, ketakutannya pun semakin menjadi-jadi.
"Keluaaarrr…keluaaarrr…!" teriak soebandrio
berulang-ulang.
latif yang menerima perlakuan itu merasa
semakin marah, dadanya pun terasa panas membara.
Ingin rasanya dia menghajar lelaki yang masih saja
melotot kepadanya itu, kemudian membuatnya
bertekuk lutut untuk memohon ampun atas
penghinaan yang dilakukannya. Tapi latif memang
seorang pengecut, dia tidak bemartini menghadapi lelaki
yang dikenalnya pernah berurusan dengan dunia gaib.
Saat itu dia justru merasa lelaki itu akan membuatnya
binasa, atau menyihirnya menjadi seekor anak ayam
yang kemudian diberikan kepada musang yang
sedang kelaparan. Karena itulah, akhirnya latif berlari
ke mobil dan bergegas meninggalkan tempat itu.
"Ayah!" panggil martini sambil menghampiri
ayahnya.
"martini !" kata soebandrio sambil memandang
putrinya.
"latif -latif kenapa, Ayah? Kenapa Ayah
mengusirnya?" tanya martini kepada ayahnya.
"Tidak… Ayah tidak bermaksud mengusir. Ayah
cuma…" soebandrio tidak melanjutkan kata-katanya, dia
tampak berpikir dengan keras. "Apakah aku harus
mengatakan hal yang sebenarnya? Tidak, martini tidak
boleh mengetahui kalau ibunyalah yang telah
menyebabkan semua ini," katanya dalam hati. Karena
takut sesuatu yang buruk akan menimpa putrinya,
akhirnya soebandrio tetap merahasiakan.
"Kenapa, Ayah? Kenapa?" martini kembali bertanya.
soebandrio tampak menatap martini sambil memegang
kedua bahunya. "Maaf, Sayang...! Ayah tidak bisa
menjelaskannya padamu," jawab soebandrio menutup
keingintahuan putrinya.
Sejenak soebandrio melihat keluar, kemudian
meminta putrinya agar masuk ke kamar dan
hal 2
beristirahat. soebandrio sendiri segera melangkah ke
teras muka dan duduk merenung di tempat itu. Pada
saat yang sama, martini sudah berada di kamarnya, sekarang
dia sedang menangis di atas tempat tidur. Sungguh
dia benar-benar tidak mengerti kenapa ayahnya tega
mengusir latif , dan dia pun mulai berprasangka yang
tidak-tidak mengenai hal itu.
"Hmm... apakah semua kejadian tadi perbuatan
Ayah yang ingin memisahkan aku dengan latif ? Tapi
kenapa? Padahal, semula beliau sangat gembira
bertemu dengannya. Aku benar-benar tidak mengerti,
apa sebenarnya yang beliau inginkan?"
martini terus bertanya-tanya, sedangkan air matanya
tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya yang
pucat. Sementara itu di sebuah jalan yang gelap dan
sepi, sebuah sedan mewah tampak melaju dengan
kecepatan tinggi. Di kiri-kanannya tampak berjajar
pepohonan rindang yang membuat jalan itu kian
bertambah seram. latif , si pengemudi mobil mewah
itu tampak kalut, pikirannya masih terbayang peristiwa
di rumah martini .
"Hmm... mungkinkah soebandrio tahu kalau aku
akan berbuat jahat? Kalau begitu, benar juga kata si
Burhan kalau soebandrio itu memang memiliki ilmu
sihir. Tidak mustahil kalau dia bisa membaca
pikiranku. Padahal, pada mulanya aku tidak percaya
sama sekali kalau soebandrio itu orang yang demikian.
Selama ini dia tampak begitu baik, dan tidak ada
sedikitpun yang membuatnya tampak sebagai
penyihir. Namun, sekarang aku yakin sekali, kalau dia
memang memiliki ilmu sihir. Sebab, aku sendiri
sudah merasakannya. Kurang ajar soebandrio !
Bemartini nya dia menjauhkanku dari martini !!!" makinya
setengah berteriak.
"Bukan dia, latif …." tiba-tiba terdengar suara parau
dari latif k belakang.
Sesaat latif melirik ke kaca spion tengah.
Betapa terkejutnya dia saat melihat seorang wanita
cantik dengan wajah yang begitu pucat tampak
sedang duduk menyeringai. latif pun merinding
sambil menginjak pedal rem dalam-dalam, akibatnya
mobil yang dikemudikannya hampir saja tergelincir
hingga keluar jalan raya. sekarang pemuda itu sudah
bersiap-siap untuk melarikan diri. Namun saat dia
menoleh ke belakang, ternyata wanita tadi sudah
menghilang.
latif tampak menarik nafas panjang, "Huff!
syukurlah... mungkin tadi itu cuma hayalanku saja,"
gumamnya merasa lega. Begitu pandangannya
kembali ke depan, pemuda itu tampak terkejut bukan
kepalang. Dilihatnya sosok wanita tadi tampak berdiri
di depan mobilnya dengan gaun putih yang berkibar-
kibar. Sosok wanita itu menatap latif . Wajahnya yang
pucat tampak begitu menyeramkan. Sebagian
wajahnya yang pucat itu tertutup oleh darah yang
mengering, dan sebelah bola matanya tampak
mencuat ke luar.
Melihat itu latif tampak ketakutan, kemudian
dengan segera pemuda itu mencoba menghidupkan
mesin mobilnya. Namun sungguh disayangkan, mesin
mobilnya tak kunjung hidup. Berkali-kali dia mencoba,
namun tetap gagal. Sementara itu, sosok wanita
menyeramkan tadi tampak mulai menghampiri.
Melihat itu, latif semakin panik, lalu dengan segera
dia keluar mobil dan berlari tunggang-langgang.
latif terus berlari dan berlari, hingga akhirnya dia
melihat sebuah rumah yang cukup megah. Sungguh
betapa senangnya dia saat itu. Lantas, dengan nafas
yang masih terengah-engah, pemuda itu segera
berlari menghampiri.
sekarang pemuda itu sedang membuka pintu gerbang
yang ternyata tidak dikunci, kemudian dengan segera
dia berlari memasuki pekarangan. Saat itu hatinya
betul-betul lega, karena tak lama lagi dia sudah bisa
meminta bantuan. Namun sungguh disayangkan,
saat sudah hampir tiba di teras, tiba-tiba kaki
pemuda itu tersandung sesuatu. Tak ayal, pemuda itu
langsung tersungkur mencium tanah. “Aggh…!” latif
tampak meringis kesakitan, sebagian tubuhnya
dirasakan nyeri dan ngilu.
sekarang pemuda itu mencoba menengadah ke arah
rumah yang dilihatnya tadi. "A-apa!!!" serunya dengan
matanya terbelalak dan mulut yang menganga lebar.
Ternyata rumah yang dilihatnya tadi, sekarang sudah
menghilang, dan yang ada di hadapannya sekarang
adalah sebuah makam dengan nisan yang persis di
depan matanya. "Di-di-di mana rumah tadi? Bu-bu-
bukankah tadi berada di depanku," kata pemuda itu
terbata sambil membaca tulisan yang ada di nisan
tersebut. "Ya-martini …!" serunya terkejut.
latif mengucek-ngucek kedua matanya, kemudian
kembali memperhatikan nisan itu sekali lagi. "Tidak
salah lagi. Ini memang nisan martini ," katanya seakan
tidak percaya.
Sesaat latif merinding, sungguh dia tidak
menduga kalau dirinya ternyata sedang tertelungkup
di depan makam martini . sekarang pemuda itu tampak
memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dan betapa
terkejutnya dia saat menyadari sedang berada di
tengah-tengah pemakaman umum yang begitu sepi
dan menyeramkan. Tak ayal, saat itu wajahnya
langsung pucat dengan tubuh yang gemetar hebat.
Lantas dengan terus diselimuti rasa takut, pemuda
itu berusaha bangkit. Dan tak lama kemudian dia
sudah berdiri tegak dan siap melangkah pergi. Namun
baru saja dia membalikkan badan, tiba-tiba
dihadapannya sudah berdiri sesosok tubuh wanita
yang sedang menyeringai seram. Saat itu, wajah
wanita itu tampak begitu pucat dan menyeramkan,
bahkan dari tubuhnya tercium bau busuk yang begitu
menyengat. sekarang sosok wanita itu tampak menatap
latif dengan penuh kebencian. Melihat itu, latif
langsung terpekik dengan tubuh yang terasa lemas.
Hingga akhirnya, dia pun jatuh duduk tak berdaya
sama sekali.
"Jangan kau permainkan dia latif oo...!!!" seru sosok
wanita itu dengan suara serak.
"A-a-apa, ma-ma-maksudmu? Bu-bu-bukankah
selama ini a-aku begitu menyayangi putrimu," kata
latif dengan terbata-bata.
"Jangan bohong, latif !!! Aku tahu kau telah
memiliki istri di Tokyo," kata sosok wanita itu
dengan nada marah.
"Ja-ja-jadi kau tahu... ba-ba-bahwa aku su-su-
sudah memiliki istri?"
"Kau benar, latif ! Masih ingatkah saat kaubicara
lewat HP di ruang tunggu terminal? Waktu itu aku
sempat mendengarkan pembicaraanmu," cerita martini
mengingatkan kembali akan peristiwa yang telah
lewat. "Waktu itu saat hendak menemuimu, aku
sempat mendengar kau yang menyebut kata ‘istri’.
Dan karena penasaran, aku pun mendengarkan
percakapan itu lebih lanjut. Hingga akhirnya aku bisa
mengetahui siapa dirimu sebenarnya. Ternyata kau
telah memiliki istri di Tokyo," lanjut martini
menjelaskan.
Sesaat latif teringat dengan kata-katanya waktu
itu, yaitu saat dia sedang berbicara dengan istrinya.
"Kau ini bagaimana, sih? Aku kan sudah bilang akan
pulang secepatnya. Kaupikir di Jakarta ini aku sedang
main-main, di sini aku sedang mengurusi perusahaan
ayahku, dan aku baru bisa kembali ke Tokyo besok
pagi. Dengar, Sayang...! Jika kau ingin tetap menjadi
istriku, kau harus bisa memahami hal itu." Dan kalimat
itulah yang terus terngiang di telinga martini hingga
akhir hayatnya.
"Bagaimana, latif ?" tanya martini lagi.
"Ba-ba-baiklah! A-a-aku akan me-me-menjauhi
putrimu," janji latif dengan suara yang masih saja
terbata-bata.
"Pegang kataanmu itu, latif !" kata martini sambil
melesat pergi.
latif tidak berkata apa-apa, dia cuma
mengangguk penuh ketakutan, bahkan dari celananya
tampak mengalir air seni yang cukup banyak. sekarang
pemuda itu berusaha bangkit, kemudian dengan kaki
yang terpincang-pincang pemuda itu bergegas ke
mobilnya.
Saat itu latif benar-benar tidak habis pikir, kenapa
dia bisa mengarahkan mobilnya ke daerah dekat
pemakaman? Padahal pada mulanya, dia yakin sekali
kalau telah mengemudikan mobil pada jalan yang
benar. Sungguh saat itu latif telah dibuat bingung oleh
kejadian yang baru dialaminya.
sesudah mesin dihidupkan, latif segera memacu
mobilnya meninggalkan tempat tersebut. Sementara
itu di tempat lain, soebandrio masih saja termenung di
teras depan rumahnya. Wajahnya yang kusut terlihat
begitu murung, sedangkan kedua matanya tampak
berkaca-kaca. "Sebenarnya apa yang telah terjadi?
Kenapa martini tega merusak kebahagiaan martini ? Apa
yang sebenarnya dia inginkan?" tanya soebandrio dalam
hati.
Namun belum sempat lelaki itu berpikir lebih jauh,
tiba-tiba angin yang sangat kencang berhembus di
tempat itu. Suaranya terdengar menderu-deru.
Bersamaan dengan itu, daun-daun dan debu tampak
berterbangan. Lalu dari samping rumah terdengar
gemeretak dahan pohon yang patah, kemudian
disusul dengan derak suara pohon yang tumbang.
Saat itu soebandrio tampak heran dibuatnya. Belum
hilang rasa herannya, tiba-tiba dia melihat seorang
wanita yang sedang berdiri di muka rumah. sekarang wanita
itu sedang berjalan menghapirinya. Pada saat yang
sama, soebandrio tampak berdiri dan maju selangkah,
kedua matanya tampak memperhatikan wanita itu
dengan seksama. Betapa terkejutnya dia saat
mengetahui bahwa wanita itu adalah sosok istrinya
yang sudah meninggal hampir sebulan yang lalu.
Wanita itu terus melangkah mendekati soebandrio ,
sedangkan soebandrio tampak sedikit gugup melihat
sosok istrinya sudah kian mendekat. Namun begitu,
dia mencoba untuk tetap tenang. sekarang sosok wanita itu
sudah berdiri di hadapan soebandrio , sedangkan
soebandrio sudah siap untuk meluapkan amarahnya
yang sudah sejak tadi terpendam. Lantas, dengan
tajam dia menatap mata wanita itu sambil berkata
lantang, "martini !!!" serunya kepada sosok mendiang
istrinya itu. "Kenapa kau mengganggu latif , Yan?
Kenapa??? Apakah kau tidak senang melihat putri kita
bahagia bersamanya? Jawablah, martini ...! Jawab!!!"
"Kau tidak mengerti Braannn…" kata sosok
istrinya dengan suara yang terdengar parau.
Belum tuntas sosok wanita itu menjawab, tiba-tiba
"Ayah… Ayah….!" terdengar teriakan martini
memanggil.
Sesaat soebandrio menoleh ke arah pintu,
dilihatnya martini tengah berlari menghampirinya. "Ayah!
Apakah Ayah mendengar suara-suara tadi?" tanyanya
penuh ketakutan.
soebandrio tidak menjawab, dia malah menoleh ke
tempat sosok martini berdiri. Saat itu sosok martini itu
sudah menghilang. sekarang soebandrio menghampiri martini
yang terlihat sangat ketakutan, kemudian memeluknya
erat. "Iya Sayang... Ayah juga mendengarnya. Tapi
kau tidak perlu takut, tadi itu cuma suara pohon
tumbang yang tertiup angin besar barusan," jelas
soebandrio sambil membelai rambut putrinya.
"Angin besar?" tanya martini sambil melepaskan diri
dari pelukan ayahnya.
"Iya, Sayang... barusan memang ada angin yang
begitu besar," jelas soebandrio lagi.
"Itu juga yang terjadi saat martini dan latif sedang
berada di ruang tamu, Yah. Jadi, bukan Ayah yang
melakukannya?" tanya martini sambil menatap mata
ayahnya.
soebandrio memegang bahu putrinya, kemudian
menatapnya dengan prihatin, "Bukan, Sayang... bukan
Ayah yang melakukannya. Itu semua ulah…" soebandrio
tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ulah siapa, Ayah?" tanya martini penasaran.
"Sebaiknya kita masuk saja, Sayang...! Udara di
sini cukup dingin." Ajak soebandrio yang tidak mau
menjawab pertanyaan putrinya.
Akhirnya keduanya segera melangkah masuk dan
beristirahat di kamar masing-masing. sekarang martini
tampak sedang berbaring di tempat tidurnya, dia
masih saja memikirkan kejadian barusan. "Jangan-
jangan, Ayah sengaja menciptakan peristiwa barusan
cuma untuk menutupi perbuatannya. Seakan-akan,
peristiwa yang waktu itu aku dan latif alami bukanlah
perbuatannya?" martini menduga-duga.
sekarang martini teringat saat ayahnya pernah
mempelajari ilmu sihir guna mencari kekayaan. Waktu
itu usia martini masih 12 tahun. sesudah ayahnya
bertobat dan meninggalkan semua kekayaan yang
didapat dari cara yang tidak halal, mereka pun pindah
ke sebuah rumah yang sederhana. Sejak saat itulah
soebandrio bercocok tanam sampai akhirnya dia
mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan.
Hingga akhirnya dia bisa kembali hidup mapan seperti
sekarang.
"Hmm... apakah Ayah memang masih memiliki
ilmu itu? Jika benar demikian, kenapa beliau
menggunakannya untuk memisahkan hubungan
kami?" martini terus bertanya-tanya, hingga akhirnya
dia terlelap karena kantuk yang tak tertahankan.
Sehari sesudah kejadian itu. Teman latif yang
bernama Yuli terlihat baru saja keluar dari
pintu Mal sambil menenteng banyak belanjaan. Dialah
gadis yang waktu itu menelepon latif saat berada di
halaman parkir kantor soebandrio . sekarang gadis itu sedang
melangkah ke mobil yang diparkir tak jauh dari pintu
masuk. Dalam waktu singkat dia sudah tiba di mobil
dan langsung membuka bagasinya. saat hendak
memasukkan barang belanjaannya, tiba-tiba sebuah
bungkusan yang dibawanya terjatuh. Menyadari itu,
Yuli pun segera berlatif ngkok. "Apa itu?" tanya Yuli
dalam hati saat melihat sebuah benda mengkilat
tampak tergeletak persis di sebelah bungkusan
miliknya.
Yuli segera memungut benda itu, kemudian
memperhatikannya dengan seksama. Sebuah koin
emas yang sudah tidak mulus lagi tampak berkilau di telapak tangannya, pada permukaannya melingkar
tulisan kuno dengan Huruf Palawa. "Hmm...
sepertinya ini koin kuno. Tapi kenapa koin ini bisa ada
di sini? Apa mungkin seseorang telah
menjatuhkannya?" tanya Yuli dalam hati sambil
memasukkan koin itu ke dalam saku celananya,
kemudian bergegas mengambil bungkusan yang
terjatuh tadi dan meletakkannya ke dalam bagasi.
saat hendak menutup pintu bagasi, tiba-tiba dia
melihat latif sedang memasuki pintu utama. Pemuda
itu tampak mengenakan T-Shirt hitam dengan jeans
warna putih. "latif ii!!!" teriak Yuli sambil menutup
bagasi dan bergegas mengejar pemuda itu.
sekarang Yuli sudah berada di dalam Mal dan sedang
mencari-cari latif , kedua matanya tampak menatap
hampir ke segala arah. "Aduuuh! Ke mana sih dia?"
tanya Yuli dalam hati.
"Anda mencari siapa?" tiba-tiba terdengar seorang
bertanya dengan suara yang berat.
Yuli segera berpaling. Betapa terkejutnya dia
saat menyadari kalau orang yang bertanya itu
adalah seorang satpam yang terlihat angker. Pada pipi
kirinya terlihat bekas luka yang cukup parah,
kumisnya pun tampak tebal dan hampir menutupi
sebagian bibir atasnya, sedangkan kedua matanya
tampak besar dan menatap dengan tajam.
"Ma-maaf, Pak! Sa-saya mencari teman saya,"
jawab Yuli tergagap.
Satpam itu tersenyum, "Begini Nona, sebaiknya
Nona langsung ke bagian informasi. Di sana petugas
kami akan memanggilnya lewat pengeras suara,"
saran Pak Satpam itu ramah.
Yuli tidak menduga akan perkataan itu, sebuah
perkataan yang dianggapnya sangat kontras dengan
tampangnya yang angker.
"Terima kasih, Pak!" kata gadis itu sambil berlari
ke bagian informasi yang tidak begitu jauh.
Usai menyampaikan pesan, Yuli segera
melangkah ke pintu utama dan menunggu latif di
tempat itu. Lama dia menunggu, namun pemuda itu
tak kunjung tiba. sekarang gadis itu mulai sedikit resah,
dalam hati dia ingin sekali pergi, namun keinginannya
untuk berjumpa latif membuatnya tetap bersabar.
Kemudian sambil mendengar tembang cinta yang
mengalun merdu, gadis itu tetap setia menunggu dan
berharap latif akan segera muncul. Benar saja, dalam
waktu singkat latif sudah menampakkan batang
hidungnya. Melihat itu, Yuli pun tampak senang sekali.
Kemudian dengan segera dia berlari menghampiri
latif dan memeluknya erat.
"latif , aku kangen sekali, sudah lama ya kita tidak
bertemu," kata Yuli dengan wajah berseri-seri sambil
melepaskan pelukannya.
"Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... kau
mau belanja atau sudah belanja?" tanya latif .
"Sebenarnya aku sudah mau pulang. Tapi saat
melihatmu memasuki pintu utama, aku pun berniat
menemuimu," jawab Yuli.
"Benarkah! Kalau begitu, lebih baik kita ngobrol di
cafetaria saja! Terus terang aku masih kangen
denganmu," ajak latif .
Tak lama kemudian, keduanya tampak menuju ke
sebuah kafetaria untuk berbincang-bincang di tempat
itu sambil menikmati es teler yang menyegarkan.
Di sebuah ruang perkantoran, seorang pria
tampak sibuk di depan meja kerjanya. Dialah soebandrio
yang sekarang sedang serius menyelesaikan tugas-
tugasnya. Tak lama kemudian, seorang rekan
wanitanya datang menghampiri. "Permisi, Pak! Ini ada
surat buat Bapak," katanya sambil menyerahkan
sepucuk surat kepada soebandrio .
"O, terima kasih, Bu!" kata soebandrio sambil
mengambil surat itu dan mengamatinya.
"Kalau begitu saya permisi dahulu , Pak!" pamit
rekannya.
"O, silakan!" kata soebandrio .
sesudah rekannya pergi, soebandrio pun segera
membaca isi surat itu.
Rahasia perusahaan, keputusan direktur utama
No:xxx/22.B3/kep/Dir.utama/dokumen.
Kabar Gembira: Sesuai dengan kerja keras dan
kejujuran Bapak Banden selama ini, kami dari pihak
perusahaan telah memutuskan untuk memberikan
kenaikan gaji kepada saudara dan akan diperbarui
mulai bulan ini, terhitung sejak dikeluarkannya surat
keputusan ini. Keputusan ini adalah sah dan sangat
rahasia, tentunya demi kepuasan saudara sebagai
pegawai kami, terima kasih.
soebandrio sangat gembira mengetahui hal itu.
Ternyata kerja keras dan kejujurannya selama ini
telah membuahkan hasil sehingga perusahaan
memberikan penghargaan atas semua jerih-
payahnya. Sejenak dia menoleh ke arah rekan-
rekannya yang masih tampak serius dengan
pekerjaannya masing-masing.
sesudah menyimpan surat tadi, soebandrio kembali
bekerja dengan penuh semangat. Tak lama
kemudian, Bu Siska datang menghampiri. sekarang dia
sudah berdiri di depan meja kerja soebandrio sambil
bertolak pinggang. soebandrio yang saat itu sedang
serius membaca sebuah berkas sama-sekali tidak
menyadari kedatangannya.
"Ahem…!" kata wanita itu tiba-tiba.
soebandrio tersentak sambil mengangkat kepalanya,
betapa terkejutnya dia saat melihat Bu Siska tampak
memandangnya dengan sorot mata yang berapi-api.
"A-ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya soebandrio
tergagap.
Bu Siska tidak menjawab, dia justru balik
bertanya. "Kenapa Bapak bemartini berbuat lancang?"
tanya wanita itu dengan nada marah.
"Ma-maaf, Bu! Saya tidak mengerti maksud Ibu,"
jawab soebandrio sopan.
"Alaaah… Bapak kan yang melaporkan perihal
berkas itu kepada Ibu Direktur," tuduh Bu Siska
kecewa.
"Apa!" seru soebandrio kaget. Kemudian dia berdiri
sambil menatap mata wanita itu, "Sumpah, Bu. Saya
sama sekali tidak melapor. Beliau sendiri yang
mengetahuinya," kata soebandrio sungguh-sungguh.
"Lho, bukankah Bapak yang tadi memberitahukan
saya untuk menghadap Ibu direktur."
"Itu memang benar, Bu. Tapi... itu kan atas
permintaan beliau."
"Sudahlah, anda tidak usah berkelit! Tidak
mungkin beliau tahu jika anda tidak melapor," tuduh
Bu Siska lagi. "Asal Bapak tahu saja, di ruangan
beliau saya dimarahi habis-habisan, dan beliau telah
memberikan peringatan keras kepada saya," jelas Bu
Siska geram.
"Sungguh, Bu… Saya sama sekali tidak
melaporkan hal itu."
"Lalu siapa… kan cuma anda yang saya tugasi,"
kata Bu Siska ketus.
"Baiklah, sekarang akan saya jelaskan duduk
perkaranya. Kalau begitu silakan duduk dahulu !" tawar
soebandrio ramah.
"Tidak perlu! Sekarang juga saya akan
melaporkan masalah ini kepada Pak untung . Permisi!"
pamit Bu Siska sambil melangkah pergi dengan
amarah yang meluap-luap.
Saat itu soebandrio cuma terpaku memperhatikan
kepergiannya, kemudian dia segera duduk kembali.
Karena konsentrasinya terganggu, soebandrio merasa
kesulitan untuk melanjutkan pekerjaan. sekarang dia cuma
bisa termenung sambil terus memikirkan kejadian
yang baru dialaminya. Sementara itu, Rekan-rekannya
yang berada di ruangan itu tampak saling
berpandangan, mereka tampak prihatin melihat
soebandrio diperlakukan seperti itu. sekarang mereka kembali
melanjutkan pekerjaannya masing-masing,
tampaknya mereka tidak mau turut campur dengan
persoalan yang dihadapi pria itu.
Sejenak soebandrio memperhatikan rekan-rekannya,
dia benar-benar merasa malu atas peristiwa tadi.
saat soebandrio memandang ke sudut ruangan, tiba-
tiba dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang berdiri di
tempat itu. Dia melihat sosok wanita itu sedang
memandangnya sambil tersenyum tipis.
"martini aa!" seru soebandrio dengan suara yang agak
keras.
Mendengar itu, rekan-rekannya spontan
memperhatikan soebandrio , saat itu mereka benar-benar
heran dengan kataan soebandrio yang memanggil nama
istrinya. Pada saat yang sama, sosok martini sudah
berdiri di hadapan soebandrio dan sedang bercakap-
cakap dengannya. "Kau harus tetap bersabar,
soebandrio !" kata sosok istrinya itu.
"martini … apakah kau…" belum sempat soebandrio
menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sosok istrinya itu
menghilang dari pandangan.
soebandrio terkejut sambil menatap ke penjuru
ruangan, kepalanya tampak menoleh kiri-kanan
mencari-cari sosok sang Istri. Sementara itu, rekan-
rekannya yang melihat tingkah-laku soebandrio saat itu
semakin heran, lalu salah seorang dari mereka segera
datang menghampiri. "Ada apa, Pak? Kalau boleh
saya tahu, sebenarnya Bapak sedang mencari apa?"
tanya rekan soebandrio prihatin.
"Eh, sa-saya sedang… eh, tidak. Tidak ada apa-
apa kok," jawab soebandrio tergagap.
Rekan kerja soebandrio tampak mengerutkan
kening, "Bapak yakin tidak ada apa-apa?" tanyanya
kemudian.
"Benar kok, tidak ada apa-apa. Saya cuma sedikit
lelah," jawab soebandrio meyakinkan.
Sejenak rekan kerjanya itu memperhatikan
soebandrio , kemudian dengan segera dia kembali ke
meja kerjanya. Sementara itu di ruangan lain, sosok
wanita berpakaian putih tampak sedang
memperhatikan Bu Siska yang saat ini sedang
menerima telepon. sekarang sosok wanita itu tampak
menghampirinya, wajah yang pucat tampak begitu
marah. Pada saat yang sama, atasan Bu Siska yang
bernama Pak untung sedang sibuk di meja kerjanya.
"Aduh!" teriak Bu Siska sambil menoleh ke arah
Pak untung . "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Bu
Siska sambil menatap Pak untung yang masih bingung karena teriakan sekretarisnya.
"Apa! Aku tidak melakukan apa-apa. Aku justru
mau bertanya, kenapa tiba-tiba saja kau berteriak?"
"Sudahlah, Pak. Mengaku saja! Lagi pula, saya
tidak mungkin marah sama Bapak. Saya tahu Bapak
lagi pusing, dan semua ini memang gara-gara
kesalahan saya," kata Bu Siska sambil menghampiri
Pak untung dan duduk di depan meja kerjanya.
"Kau ini bicara apa, Sis? Aku benar-benar jadi
tambah bingung."
"Ya sudah, kalau begitu kita lupakan saja! Eh,
Pak. Ngomong-ngomong, kenapa Pak soebandrio bemartini
memberitahukan hal ini ke pada Ibu Direktur ya?" kata
Bu Siska dengan nada kecewa.
"Entahlah, Sis.... Mungkin soebandrio memang telah
berkata jujur kalau Ibu Direktur tanpa sengaja telah
mengetahuinya," ujar Pak untung .
"Ah, tidak mungkin, Pak! Setahu saya, Beliau
hampir tidak pernah ke tempat kerjanya. Aku rasa,
soebandrio memang sengaja mengadukan hal itu karena
ingin cari muka. O ya, Pak. Saya dengar dia baru
menerima kenaikan gaji, bukankah itu suatu bukti,"
tuduh Bu Siska dengan raut wajah yang begitu kesal.
"Kamu tahu dari siapa?" tanya Pak untung .
"Ratna yang memberitahuku," jelas Bu Siska.
"O, Ratna sahabatmu yang di bagian keuangan
itu?"
Bu Siska mengangguk, kemudian dia kembali
bicara. "Pak, saya benar-benar kecewa dengan
soebandrio . Karena ulahnya, saya sempat ditegur oleh
Ibu Direktur," keluhnya sambil bangkit dari tempat
duduk. "Pak, di sini kan kedudukan Bapak lebih tinggi,
sebaiknya Bapak segera bertindak!" sarannya dengan
semangat yang berapi-api.
"Lalu... apa yang harus saya lakukan?" tanya Pak
untung sambil merapatkan kedua alisnya.
"Hmm… apa ya?" Bu Siska tampak berpikir keras,
kemudian dia mulai berjalan berputar-putar. "Nah...
saya punya ide yang bisa membuat soebandrio
menyesali perbuatannya," katanya lagi sambil duduk
di atas meja kerja atasannya dengan mata yang
berbinar-binar.
"Maksudmu?" tanya Pak untung sambil menatap
sekretarisnya yang sekarang tampak tersenyum.
"Begini, Pak… Saya akan berusaha
menggagalkan laporan periklanan satu semester yang
dipersiapkan soebandrio . Saya akan melakukannya
berturut-turut selama tiga semester. Dengan demikian
reputasinya akan menjadi buruk, dan
kemungkinannya dia pasti akan dipecat. Untuk
mewujudkan rencana ini, Bapak harus bemartini
menggunakan wewenang Bapak diluar ketentuan
yang berlaku. Demi reputasi kita, Pak," jelas Bu Siska
sambil kembali duduk di kursi yang ada di depan meja
kerja atasannya.
"Kau jangan gila, kalau ada yang tahu justru kita
yang bisa dipecat," kata Pak untung khawatir.
"Jangan khawatir, Pak! Saya akan
mengerjakannya dengan sebersih mungkin, dan saya
yakin, tidak seorang pun yang akan mengetahuinya,"
kata Bu Siska penuh keyakinan.
"Kalau begitu… baiklah. Kita akan atur rencana
itu. Tapi ingat, jangan sampai Pak Santoso
mengetahui hal ini! Jika beliau sampai
mengetahuinya, tentu beliau tidak akan terima. Dan
yang pasti, beliau akan marah besar karena kita
sudah mengaduk-aduk pekerjaan anak buahnya,"
jelas Pak untung .
"Baik, Pak. Saya akan berhati-hati. Pak Santoso
pasti tidak akan menyadarinya," kata Bu Siska sambil
tersenyum puas.
"Kapan kau akan menjalankan rencana itu?" tanya
Pak untung .
"Tentu saja sesudah Bapak memberitahu saya
tentang hasil rapat para manajer nanti. Kalau tidak
salah, minggu depan kan?" tanya Bu Siska sambil
berdiri dari tempat duduknya.
"Ya, itu Betul. Kalau begitu, minggu depan saya
akan memberitahukan hasilnya. O ya, sekarang tolong
kau atur jadwal saya untuk besok!" pinta Pak untung
sambil membuka sebuah map yang berada
dihadapannya.
"Baik, Pak," kata Bu Siska sambil berjalan ke
meja kerjanya.
sekarang keduanya sudah kembali sibuk dengan tugas
masing-masing. Sementara itu, sosok martini tampak
begitu marah, sorot matanya terlihat tajam
memperhatikan kedua orang itu. Akhirnya sosok
waniti tu pergi dari ruangan sesudah menjatuhkan
sebuah vas bunga yang ada di atas kabinet.
Di tempat terpisah, Yuli baru saja tiba di rumah.
sekarang dia sedang memarkir mobilnya di depan garasi.
Tak lama kemudian, dia tampak keluar mobil dan
bergegas membuka pintu bagasi. "Mang!" teriaknya
memanggil si Pembantu yang baru saja menutup pintu
gerbang.
Mendengar itu, si Pembantu pun buru-buru
menghampiri, "Iya Non… ada apa?" tanyanya sopan.
"Eh, malah pakai tanya-tanya! Cepat kaubawa
masuk semua barang-barang ini!" perintah Yuli
dengan mata melotot.
Melihat wajah tuannya yang tampak begitu galak,
si Pembantu segera melaksanakan perintah itu. Dia
tampak mengangkat semua barang-barang itu
sekaligus. Namun baru saja dia hendak melangkah,
tiba-tiba, "Sebentar, Mang! Ada lagi nih," tahan Yuli
sambil menambah tumpukan itu dengan sebuah
bungkusan berpita merah yang baru diambilnya dari
latif k belakang.
"Apa masih ada lagi, Non?" tanya si pembantu
menunggu.
"Sudah, sudah semuanya. Sekarang cepat kau
bawa masuk!"
"Baik, Non..." kata si pembantu sambil
melangkah pergi.
sekarang Yuli tampak mengambil majalah yang masih
tergeletak di latif k depan mobilnya. sesudah itu, dia
segera melangkah masuk. Sementara itu di ruang
tengah, si pembantu terlihat baru saja meletakkan
barang-barang yang dibawanya di atas meja panjang.
"Aduuuh, pasti habis deh barang-barang di Mal,"
celoteh si pembantu sambil geleng-geleng kepala,
melihat belanjaan yang baginya tampak begitu
banyak.
"Bawel! Ini cuma sedikit tahu," celetuk Yuli yang
tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya.
Si Pembantu tampak terkejut, "I-ini banyak Non…"
katanya tergagap. Kemudian dia tampak garuk-garuk
kepala, "Me-memangnya habis ngeborong di mana,
Non?" tanyanya kemudian.
"Aaah... sudahlah! Tidak usah tanya-tanya! Sana
ambilkan aku minum!" perintah Yuli sambil duduk di
sofa dan mulai membuka-buka majalahnya.
Sementara itu, si Pembantu langsung bergegas ke
dapur. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan
membawa segelas sirup berwarna merah. "Ini Non
minumannya," katanya ramah.
"Terima kasih, Mang!" kata Yuli sambil meneguk
minuman itu. Sesaat dia merasakan sirup manis
yang begitu segar mulai membasahi
kerongkongannya. "Hmm... nikmat sekali," katanya
dalam hati sambil meletakkan gelas yang
dipegangnya ke atas meja. "Mang, tolong bantu aku
membuka bungkusan-bungkusan ini!" pintanya
kemudian.
sekarang mereka mulai membuka bungkusan-
bungkusan itu satu per satu. Pada saat yang sama,
Yuli tampak mengamatinya dengan seksama. "Mang,
yang ini tolong dibawa ke kamar!" pintanya sambil
menyerahkan dua stel pakaian yang sedang
dipegangnya.
Si Pembantu menurut, dia segera membawanya
ke kamar. Tak lama kemudian dia sudah kembali dan
siap menjalankan perintah selanjutnya.
"Nah... Mang. Sekarang bawa semua barang-
barang ini ke kamar!" pinta Yuli.
Kali ini si Pembantu tidak segera melaksanakan
perintah itu, dia tampak masih berdiri dengan wajah
mesam-mesem. Melihat itu, Yuli tampak begitu kesal.
"Eh, kok masih berdiri di situ?" tanyanya dengan alis
yang tampak merapat.
"Maaf Non...! Kok dibawa ke kamar semua,
bagian saya mana, Non?" tanya si pembantu dengan
wajah yang masih saja mesam-mesem.
Yuli tidak menjawab, dia malah berdiri dengan
santainya, kemudian menatap si Pembantu dengan
mata melotot. "Eh… kalau tidak bisa diam, nanti akan
kujahit mulutmu. Sekarang cepat bawa barang-barang
itu ke kamar!" seru Yuli marah. "O ya, sesudah itu
tolong siapkan air hangat di bak mandi! Jangan lupa
dengan aroma terapinya! " lanjutnya kemudian.
Tanpa menunggu lagi, si pembantu segera
membawa barang-barang itu, sedangkan Yuli tampak
sudah duduk kembali dan mulai membaca
majalahnya. "Maaf, Mang! Selama ini aku selalu
berkata kasar padamu, habis kau selalu membuatku
kesal sih," kata Yuli dalam hati.
Sesaat gadis itu teringat dengan koin emas yang
ditemukannya, lalu dengan serta-merta gadis itu
mengamatinya dengan penuh seksama. "Hmm... apa
ya arti tulisan ini? Kalau dilihat dari hurufnya,
sepertinya menggunakan huruf palawa? Dan
sepertinya berasal dari jaman Kerajaan. Tapi,
Kerajaan apa ya?"
Yuli terus memperhatikan koin itu, "Hmm... apa
sebaiknya hal ini kutanyakan pada kakekku?
Bukankah dia paham betul dengan hal-hal yang
seperti ini. Baiklah, Besok pagi aku akan berangkat
menemuinya." sesudah berkata begitu, Yuli segera
menyimpan koinnya, kemudian bergegas ke kamar
mandi dan berendam menikmati aroma terapi.
Malam harinya, sekitar pukul sembilan, di dalam
sebuah kamar yang bersih dan tertata rapi. Seorang
wanita baru saja mengenakan pakaian tidurnya.
Dialah sekretaris Pak untung yang bernama Bu Siska.
sekarang dia tampak memandang ke arah lukisan yang
tergantung di dinding, sepertinya dia benar-benar
mengagumi keindahannya yang begitu menyejukkan
mata. Lukisan dengan objek wanita cantik itu memang
belum lama dia beli, dan dia sangat bangga
memilikinya. Wanita di lukisan itu mengenakan gaun
hijau dan memakai perhiasan yang begitu cantik, dia
sedang tersenyum sambil memegang setangkai
mawar merah.
sesudah puas menikmati lukisan itu, Bu Siska
langsung duduk di depan meja rias yang dipenuhi
dengan peralatan make up dan produk perawatan
kulit. sekarang dia mulai berkaca sambil mengenakan
cream malam yang berguna untuk menjaga
kelembapan kulit, sesudah itu merebahkan diri di
tempat tidur untuk melepaskan segala rasa letihnya.
Tempat tidurnya sangat indah, modelnya berbentuk
klasik dengan sentuhan warna emas yang menawan.
Baru saja Bu Siska memejamkan mata, tiba-tiba
terdengar alunan nada indah yang dimainkan begitu
apik, iramanya pun terdengar sangat menyayat hati.
Rupanya suara merdu denting piano itu terdengar dari
ruang tengah rumahnya. "Hmm... siapa yang bermain
piano seindah ini, apakah Bapak yang
memainkannya?" tanya Bu Siska dalam hati.
Kemudian wanita itu duduk di tepi tempat tidurnya.
"Hmm... bukankah Bapak akan kembali besok.
Tapi, kenapa sekarang sudah kembali?" Bu Siska
kembali bertanya. Kemudian wanita itu segera berdiri
dan melangkah ke pintu kamar.
saat baru membuka pintu, mendadak alunan
nada yang terdengar merdu itu berhenti. Betapa
terkejutnya Bu Siska saat melihat di depan piano
tidak ada siapa-siapa. "Pak! …Pak!" Panggilnya
dengan suara yang agak keras. Bu Siska tampak
mencari suaminya sampai ke semua ruangan, namun
dia tidak menjumpainya.
sekarang wanita itu duduk di sofa ruang tengah dengan
wajah yang sedikit bingung. "Aku heran, siapa
sebenarnya yang memainkan piano tadi?" tanya Bu
Siska dalam hati.
Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba lampu di
ruangan itu tampak bergoyang-goyang. Bu Siska pun
segera memalingkan pandangannya ke arah bola
lampu yang sekarang semakin keras bergoyang. Bu Siska
tampak terpaku—wajahnya yang cantik tampak begitu
tegang. "A-ada apa ini. Kenapa dengan lampu itu?"
tanyanya penuh keheranan.
Tiba-tiba suara piano kembali berbunyi, kemudian
diikuti dengan bergeraknya benda-benda yang ada di
ruangan itu. Tak ayal, Bu Siska ketakutan bukan
kepalang, kemudian berteriak histeris sambil menutup
kedua telinganya. Tak lama kemudian, suasana
menjadi tenang kembali. Pada saat yang sama, Bu
Siska segera berlari memasuki kamar dan mengunci
pintunya rapat-rapat.
sekarang Bu Siska tampak bersandar di daun pintu
sambil menarik nafas panjang, kemudian
menghembuskan dengan sangat cepat. Baru saja
ketegangannya mereda, tiba-tiba lukisan wanita cantik
yang tergantung di kamarnya tampak bergerak-gerak.
Sesaat Bu Siska terkejut sambil memandang ke
arah lukisan itu, kemudian lukisan itu mendadak
kembali terdiam. Lantas dengan penuh rasa
penasaran, Bu Siska melangkah mendekati lukisan
itu.
Dengan perasaan was-was, Bu Siska terus
melangkah. Dan saat dia sudah bengitu mendekat,
tiba-tiba lukisan itu berbicara kepadanya. "Siskaaa,
kenapa kau tegaaa?" tanya wanita di lukisan itu
dengan suara yang terdengar begitu parau.
Lagi-lagi Bu Siska terkejut bukan kepalang,
sesaat itu juga bulu kuduknya langsung berdiri.
Kantas dengan serta-merta dia berlari ke pintu dan
langsung memutar anak kuncinya. Namun saat
hendel pintu ditarik, ternyata pintu itu tak bisa dibuka.
Mengetahui itu, Bu Siska langsung panik, dia pun
berusaha menariknya dengan sekuat tenaga. Tapi
sayangnya perbuatan itu sia-sia belaka, pintu tersebut
tetap tidak bisa dibuka.
sekarang Bu Siska kembali bersandar di daun pintu,
matanya kembali memandang ke arah lukisan. Pada
saat itu, tiba-tiba saja wanita yang ada di lukisan tadi
kembali bicara, "Siskaaa... kenapa kau begitu jahat?"
tanyanya dengan suara yang lebih keras, dan tiba-tiba
semua benda yang ada di ruangan itu tampak mulai
bergerak-gerak.
Tak ayal, saat itu wajah Bu Siska tampak semakin
pucat, bibirnya bergetar dan jantung kian berdegup
kencang. "Si-si-siapa kau?" tanya Bu Siska dengan
terbata-bata.
"Aku martini aa Sisss, aku martini —istri Brandeeen."
"Ja-ja-jadi ka-ka-kau, martini ?" Bu Siska tampak
semakin ketakutan, dia benar-benar tidak menyangka
kalau yang sedang berbicara kepadanya adalah
martini —mendiang istri pria yang ingin ia celakai. Saat
itu juga tubuh Bu Siska langsung lemas, dia terduduk
di lantai dengan tubuh masih bersandar di daun pintu.
"Siska, ketahuilah! Aku datang cuma untuk
memperingatkanmu. Jika kau masih meneruskan niat
jahatmu itu, aku tidak segan-segan untuk
membunuhmu," ancam martini tidak main-main.
Bu Siska tidak berkata-kata, dia tampak diam
seribu bahasa. Tak lama kemudian, lukisan itu
kembali seperti wujudnya semula. Suasana di kamar
itu pun akhirnya mulai tenang kembali. Pada saat itu,
Bu Siska tampak belum juga bangkit dari duduknya,
dia masih tak kuasa untuk berdiri, semua
persendiannya terasa lemas dan tak bertenaga.
Sementara itu di tempat lain, Pak untung tampak
sedang sendirian di rumahnya. Dia sedang beristirahat
di ruang tengah sambil menyaksikan pertandingan
sepak bola. Sejenak lelaku itu melirik ke arah jam
dinding, dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul
11.00 WIB. Tak lama kemudian, dia sudah kembali
menyaksikan pertandingan yang tampaknya begitu
seru.
saat sedang seru-serunya menyaksikan
pertandingan antara Intermilan melawan Manchester
United, tiba-tiba lampu di ruangan itu tampak
berkedip-kedip, seperti mau putus. Pak untung agak
merasa terganggu dengan kejadian itu, matanya
tampak memperhatikan bola lampu yang sekarang masih
saja berkedip-kedip. Tak lama kemudian, lampu itu
menyala seperti sediakala. sekarang mata Pak untung
kembali tertuju ke layar televisi.
"Goaaal, goaaal…" teriaknya, menyoraki sang
bintang favorit yang mempecundangi pertahanan
lawan dengan tendangan yang begitu indah.
Di layar kaca, sang Bintang favorit tampak berlari
ke tepi lapangan dan bergaya atas keberhasilannya
itu. Sorak-sorai penonton tampak riuh menyambutnya
dengan suka-cita. Saat itu Pak untung begitu gembira
akan keberhasilan tim favoritnya yang sudah
menduduki score 2-1. Tayangan gerak lambat pun
segera diputar—disaat sang bintang beraksi saat
menjebol pertahanan lawan. Namun saat sedang
menyaksikan detik-detik indahnya sang Bintang
beraksi, tiba-tiba televisinya padam dengan
sendirinya. Pak untung merasa kesal sekali, dia
menduga yang baru saja terjadi dikarenakan sleep
mode yang dalam keadaan aktif. Lalu dengan segera
dia mengambil remote untuk menyalakannya kembali.
Namun saat tombol power ditekan, ternyata
televisinya masih tidak mau menyala. Pak untung
semakin kesal, dia tampak menekan tombol itu
berkali-kali. Namun sayangnya usaha itu sia-sia
belaka, televisinya tak kunjung bisa menyala.
sekarang Pak untung melangkah mendekati televisi dan
menekan tombol power-nya, namun televisi itu masih
juga tak mau menyala. "Sial... kenapa dengan
televisiku?" gerutunya kesal sambil kembali ke tempat
duduk.
Begitu dia hendak duduk, tiba-tiba lampu di
ruangan itu kembali berkedip-kedip. Sesaat Pak
untung berpaling, memperhatikan bola lampu yang
masih berkedip-kedip. "Hmm… Ada apa ya? Apakah
bola lampu itu memang sudah mau putus?" tanya
lelaki itu dalam hati sambil melangkah untuk
melihatnya dari dekat.
saat sedang mengamatinya, mendadak bola
lampu itu menyala terang dan semakin terang.
Sampai akhirnya bola lampu itu meledak dengan
diiringi suara yang cukup keras, sebagian pecahannya
tampak mengenai wajah Pak untung .
Saat itu Pak untung sangat terkejut, dan tiba-tiba
saja dia merasakan perih di wajahnya. Lantas dengan
segera dirabanya bagian wajah yang terasa perih itu,
"Oh tidak, wajahku..." kata Pak untung yang melihat
darah tampak menempel di telapak tangannya.
Mengetahui itu, Pak untung buru-buru ke kamar
mandi. sekarang dia sedang bercermin, mengamati luka-
lukanya yang tampak tidak begitu parah. Beberapa
goresan kecil tampak menghiasi wajahnya yang putih
bersih. saat sedang serius mengamati luka-lukanya,
tiba-tiba saja sesosok wajah mengerikan tampak
muncul di cermin tersebut. Wajah itu tampak begitu
pucat, kedua matanya tampak melotot disertai gigi
runcing yang menyeringai kepadanya. Tak ayal,
sesaat itu juga Pak untung langsung mundur ke
belakang, jantungnya berdebar kencang, bersamaan
dengan bulu kuduknya yang berdiri sesaat . Tiba-tiba
wajah menyeramkan itu kembali menghilang. sekarang Pak
untung hanya melihat dirinya sendiri yang tampak begitu
tegang.
"A-apakah yang kulihat tadi itu hantu? Atau itu
cuma hayalanku saja?" tanya Pak untung sambil terus
memandang ke cermin dan sesekali mengucek-
ngucek kedua matanya.
"Hmm... mungkin itu memang cuma hayalanku
saja. Semua ini akibat aku terlalu banyak nonton film
horror," duga Pak untung sambil kembali maju ke depan
cermin dan mulai membasuh wajahnya di wastafel.
Bersamaan dengan itu, air yang sejuk terasa
meredakan ketegangannya.
Pak untung terus membasuh wajahnya, hingga
akhirnya, "Da-da-darah…" katanya penuh ketakutan.
Saat itu air yang digunakannya tiba-tiba telah berubah
menjadi darah yang begitu kental.
Tak ayal, jantung Pak untung kembali berdegup
kencang, nafasnya pun tampak tersengal-sengal.
"Tidak, ini bukan hayalan, ini benar-benar nyata," kata
lelaki itu sambil berlari ke arah pintu dan
membukanya lebar-lebar.
saat daun pintu itu terbuka lebar, dilihatnya
sesosok wanita yang tadi ada di cermin sekarang tengah
menghadang jalannya. Saat itu Pak untung tampak
terpaku, matanya terbelalak dengan mulut yang
menganga lebar. Sungguh dia tidak mengerti dengan
apa yang ada dihadapannya.
sekarang sosok wanita itu tampak memandangnya
dengan penuh amarah, giginya yang runcing tampak
menyeringai seram. Tak ayal, saat itu tubuh Pak untung
langsung gemetar menyaksikan sosok menyeramkan
yang sekarang mulai menghampirinya.
"Pak untung uu!" seru sosok menyeramkan itu
dengan suara yang begitu parau.
"Ti-ti-tidaaak!!! Pergi kau!" teriak Pak untung sambil
melangkah mundur.
Sosok menyeramkan itu terus melangkah
mendekati Pak untung , sedangkan kedua tangannya
tampak dijulurkan ke depan. Saat itu Pak untung terus
mundur hingga ke dalam kamar mandi, namun sosok
wanita menyeramkan itu terus mengikutinya. Hingga
akhirnya, Pak untung sudah tidak bisa kemana-mana,
langkahnya sudah terhalang oleh tembok kamar
mandi.
"Ke-ke-kenapa kauganggu aku? Si-si-siapa kau
sebenarnya?" tanya Pak untung dengan suara yang
terbata-bata.
"Aku martini ... istri soebandrio yang sudah meninggal
dunia. Aku kemari untuk memperingatimu agar
menghentikan niat jahatmu itu," jelas martini dengan
suara serak yang datar.
Sesaat Pak untung merasakan hawa dingin di
sekujur tubuhnya, lalu dari celananya tampak mengalir
air seni yang membasahi lantai. "Ba-ba-baik, a-a-aku
tidak akan melaksanakan niat ja-ja-jahatku ke-ke-
kepada soebandrio ," janjinya dengan kataan yang kian
terbata-bata dan dengan wajah yang tampak begitu
pucat.
sesudah Pak untung berjanji, sosok wanita itu
mendadak lenyap dari pandangan. Pada saat itu, Pak
untung tampak masih terduduk di lantai, tubuhnya
terasa lemas dengan nafas yang tak beraturan.
"Kenapa jadi begini!!!" teriaknya penuh penyesalan. Besok harinya, martini yang baru pulang sekolah
tampak memasuki pekarangan rumahnya
dengan agak tergesa-gesa. Maklumlah, cuaca
memang terasa cukup panas, sinar matahari yang
tidak bersahabat terasa begitu menyengat kulit. Hal
itulah yang membuat gadis itu ingin cepat tiba di
rumah, berada di bawah naungan atapnya yang teduh.
sekarang gadis itu sudah berada di ruang tamu, kakinya
yang semampai tampak diselonlatif rkan di atas meja,
santai sekali. martini terus melepas lelah sambil
menikmati es kelapa muda yang dibelinya di warung
Bu Ijah. sesudah rasa lelahnya hilang, martini pun segera
ke ruang makan untuk menikmati makan siang yang
dibelinya dari rumah makan langganannya.
Selesai makan, martini tampak kembali ke ruang
tamu. sekarang dia sedang duduk di tempat itu sambil
membaca sebuah majalah. Beberapa menit
kemudian, dia tampak melangkah ke kamar ayahnya.
saat sedang membersihkan dan merapikan ruangan
itu, tiba-tiba saja matanya tertuju pada sepucuk surat
berwarna biru yang tergeletak di atas meja kecil. Lalu
dengan serta-merta diambilnya surat itu dan diamati
dengan penuh seksama. Surat itu sama sekali tidak
mencantumkan identitas pengirim. Selain itu, surat
tersebut juga tidak menggunakan prangko.
"Aneh!" kata martini dalam hati sambil
mengeluarkan isi surat itu. Tak lama kemudian, dia
sudah duduk di tepi tempat tidur sambil mulai
membacanya. "Jangan takut… aku bukan mau
mengganggumu. Aku cuma mau memberitahumu
perihal latif . Begini Sayang... sebenarnya pemuda
yang kau bangga-bangga itu tak lebih hanya pemuda
busuk yang seharusnya mati di tanganku. Tapi aku
tidak melakukan itu, aku cuma memberinya pelajaran
dan memperingatinya agar tidak mendekati martini lagi.
Seandainya dia bemartini coba-coba untuk melanggar,
aku tidak segan-segan untuk membunuhnya. Mulai
sekarang, awasi putrimu itu dan jangan biarkan dia
menemui latif ."
Begitulah isi surat yang dibaca martini . Dan hal itu
membuatnya merinding ketakutan. Dengan perasaan
yang masih diselimuti rasa takut, martini segera
memasukkan surat itu ke amplopnya lagi, kemudian
meletakkannya kembali di atas meja.
Sejenak martini menatap surat itu, lalu dengan
segera beranjak ke teras depan. sekarang dia merasa takut
jika harus berada di dalam rumah. Hal itu dikarenakan
surat yang baru dibacanya, ditambah lagi dengan
bayang-bayang kejadian dua hari yang lalu—
serentetan peristiwa yang selalu membuat martini
merinding bila mengingatnya.
sekarang gadis itu sudah duduk di kursi teras sambil
memikirkan isi surat yang baru dibacanya, kemudian
mencoba menghubungkannya dengan peristiwa
malam itu. "Hmm... apakah kejadian malam itu ulah
orang yang mengirim surat pada Ayah? Sebenarnya
siapa dia, kenapa dia menyuruh ayahku untuk
menjauhkanku dari latif ? Apakah dia wanita yang
waktu itu menemui Ayah? Hmm... mungkinkah Ayah
memiliki hubungan khusus dengannya? Kalau
begitu, benar juga yang dikatakan latif waktu itu. Tapi
kenapa...?" martini terus bertanya-tanya dalam hati.
sekarang martini teringat saat latif mengatakan perihal
sesuatu yang tidak beres di rumahnya, dan semua itu
karena ulah tukang sihir yang tidak mau menghendaki
hubungan mereka. martini tampak semakin bingung, dia
terus berpikir di dalam rasa takut yang kian
menyelimuti. Sesekali dia menatap ke sekelilingnya,
bahkan dia sudah siap lari jika terjadi sesuatu di
rumah itu.
martini masih memikirkan semua peristiwa yang
membingungkan itu, hingga akhirnya dia mendengar
langkah kaki di dalam rumahnya. Lantas dengan
serta-merta dia memusatkan pendengarannya, namun
suara itu tak terdengar lagi. Karena penasaran, martini
segera mengitip ke dalam rumah melalui kaca depan
yang gordennya sedikit terbuka, kedua matanya
tampak dibuka lebar-lebar—mencari siapa yang ada di dalam.
"Hmm... sepertinya, tadi memang ada orang,"
gumam martini sambil terus memperhatikan ke dalam
rumah.
Mendadak dia melihat sekelebat bayangan putih
yang melayang cepat memasuki kamar ayahnya.
Mengetahui itu, sesaat bulu kuduk martini berdiri,
kemudian dengan serta-merta dia berlari ke jalan raya
tanpa bemartini menengok ke belakang sedikitpun.
sekarang gadis itu sudah berada di tepi jalan dengan
wajah yang sangat ketakutan, saat itu dia sudah tidak
bemartini kembali ke rumah. Pada saat yang sama,
sebuah angkot tampak melintas di jalan tersebut.
Melihat itu, wajah martini tampak berseri-seri, dia
menduga ayahnya pasti berada di angkot tersebut.
Namun dugaannya itu ternyata meleset, angkot itu
terus berlalu dan akhirnya menghilang di kejauhan.
"Kenapa Ayah belum pulang?" tanya martini sambil
membemartini kan diri memandang ke arah rumahnya
yang tampak begitu sepi. Saat itulah, tiba-tiba dia
merasakan sebuah sentuhan pada pundaknya. Tak
ayal, martini langsung terpekik sambil membalikkan
badannya. "Aduh, Ayah…! Ayah membuatku kaget
saja," kata martini sambil menepuk-nepuk dadanya
perlahan.
"Sedang apa kau di sini, Nak?" tanya sang Ayah.
martini tidak menjawab, dia tampak tersenyum lebar
karena ayahnya sudah pulang. "Ayah pulang jalan
kaki ya?" tanyanya kemudian.
"Tidak. Ayah pulang naik angkot."
"Angkot yang barusan lewat itu?"
"Iya... memangnya kenapa?"
"Kok martini tidak melihat Ayah."
"O... itu karena Ayah memang tidak turun di sini.
Tadi Ayah sengaja turun di depan warung Bu Ijah
untuk membeli rokok."
"O, begitu..." kata martini mengangguk-angguk.
Pada saat itu soebandrio tampak menggandeng
lengan martini , "Ayo, Nak. Kita masuk!" ajaknya
kemudian.
Saat itu martini tampak enggan, dia menatap
ayahnya dengan penuh rasa cemas, kemudian
pandangannya beralih ke arah rumah yang tampak
begitu sepi.
Mengetahui tingkah putrinya yang demikian,
soebandrio tampak heran, kemudian dia menduga pasti
yang tidak beres di rumah itu—sesuatu yang
membuat martini takut. Sejenak soebandrio menatap ke
arah rumahnya, melihat apa yang sedang diperhatikan
putrinya. "Hmm... tidak ada yang mencurigakan.
Sebenarnya apa yang membuatnya takut?" tanya
soebandrio dalam hati.
sekarang soebandrio tampak memperhatikan putrinya
yang sedang menatap ke ujung jalan. "Ayo martini .
Kenapa kau masih berdiri di situ? Bukankah
sebaiknya kita masuk ke dalam!" ajaknya sekali lagi.
martini menggeleng. "Biar martini di sini saja Ayah,"
katanya pelan.
"Kau ini bagaimana sih? Lihatlah! Hari sudah
semakin gelap. Apa kau mau terus berdiri di tempat
ini?" tanya soebandrio .
Lagi-lagi martini menggeleng.
"Nah, kalau begitu ayo kita masuk!" ajak soebandrio
lagi.
martini tampak menatap ayahnya. "Baiklah, Ayah.
Tapi, biarkan martini berjalan di belakang Ayah!"
pintanya berharap.
soebandrio setuju. Dia segera melangkah ke teras
dengan hati-hati, sementara itu martini tampak
mengekor di belakangnya.
sekarang lelaki itu sedang membuka pintu rumah
dengan sangat perlahan, kemudian melongok ke
dalam dengan was-was. "Hmm... tidak ada apa-apa,"
kata soebandrio dalam hati sambil mulai melangkah
masuk.
Sementara itu, martini yang masih mengekor di
belakangnya tampak mengamati ruangan itu dengan
penuh rasa cemas. "Ayah…!" serunya tiba-tiba.
soebandrio agak terkejut mendengar suara martini .
"Ada apa, Sayang...?" tanya lelaki itu sambil menoleh
ke belakang—memandang wajah putrinya yang
terlihat begitu cemas. "Sebenarnya ada apa
denganmu, Nak? Tidak biasanya kau seperti ini. "
"martini takut, Ayah. martini takut."
"Takut...?" soebandrio tampak mengerutkan
keningnya, kemudian duduk bersantai di sofa. "Ya
sudah, kalau begitu kenapa kau masih berdiri di situ?
Mari sini, duduk dekat Ayah!" sambungnya kemudian.
martini menurut, dia segera melangkah dan duduk di
sisi ayahnya. "Ayah, surat itu dari siapa?" tanya martini
tiba-tiba.
"Su-surat... surat yang mana?" tanya soebandrio
tidak mengerti.
"Itu, Yah… Surat yang tergeletak di meja kecil di
kamar Ayah," jelas martini .
"Ja-jadi kau sudah membacanya?’
martini mengangguk. "Ayo, Yah. Lekas katakan!"
desaknya kemudian.
soebandrio memandang putrinya, raut wajahnya
seperti sedang berpikir. "Tidak! Aku tidak boleh
mengatakannya, dia belum siap untuk mengetahui
semua hal yang telah terjadi di rumah ini," kata
soebandrio dalam hati.
"Siapa yang mengirim surat itu, Ayah…?" tanya
martini sekali lagi.
"Begini Sayang... sebaiknya kau lupakan saja
perihal surat itu. Ayah sendiri juga tidak tahu siapa
pengirimnya. Semula Ayah juga bingung saat
membacanya, apa lagi sampai membawa-bawa nama
latif segala. Tapi sekarang, Ayah sudah tidak
memikirkannya lagi. Ayah menganggap semua itu
merupakan pekerjaan orang iseng yang mau merusak
ketenteraman keluarga kita," jawab soebandrio . "O ya,
apa kau sudah makan?" tanya lelaki itu kemudian,
mencoba mengalihkan pembicaraan.
martini tidak menjawab, dia tampak menunduk
sambil meremas jemari di pangkuannya.
"O ya, bagaimana tentang latif . Apa kau sudah
bertemu dengannya?" tanya soebandrio lagi.
martini tetap membisu, dia tidak mau menjawab
pertanyaan ayahnya selama sang Ayah belum
menjawab pertanyaannya dengan jujur. Saat itu dia
menduga ayahnya telah berbohong, sehingga dia
tidak mau menerima penjelasan yang baginya
terkesan menutup-nutupi.
sekarang martini kembali melemparkan kalimat-kalimat
yang disangkanya bisa membuat sang Ayah
menyerah dan akhirnya mau menjelaskan semua
kejadian aneh yang selama ini dialaminya. Tapi martini
salah duga, ternyata sang Ayah selalu memberikan
jawaban yang sama. Karena tak juga mendapatkan
jawaban yang memuskan, akhirnya martini menyerah,
dia tampak melangkah ke teras depan dengan
perasaan kecewa. Pada saat yang sama, soebandrio
tampak beranjak bangun dan mengikutinya.
sekarang keduanya sudah duduk di kursi teras dan
saling membisu. sesudah cukup lama membisu,
akhirnya martini mulai bersuara, dia segera
menceritakan kejadian yang membuatnya bersikeras
ingin mengetahui penjelasan dari ayahnya.
"Ayah… Tadi, saat martini sedang membersihkan
kamar Ayah, martini melihat surat itu dan membaca
isinya. Isi surat itu telah membuat martini begitu
merinding. Orang yang menulis surat itu mengancam
akan membunuh latif jika dia berhubungan dengan
martini , dan saat martini sedang duduk memikirkan
masalah itu di sini, tiba-tiba martini mendengar langkah
kaki di dalam rumah. saat martini mengintip ke dalam,
martini sempat melihat ada sekelebat bayangan yang
melesat memasuki kamar Ayah. Kontan saja martini
ketakutan dan melarikan diri ke jalan raya," cerita martini
dengan sedikit takut karena mengingat kejadian yang
dialaminya.
sesudah mendengar cerita itu, soebandrio langsung
merenung. Di hatinya ada perasaan kecewa yang
sangat mendalam, kekecewaan terhadap sosok
istrinya yang selalu datang menghantui mereka.
Hingga saat ini soebandrio masih belum mengerti,
kenapa mendiang istrinya itu selalu datang
mengganggu martini , kenapa belakangan ini dia selalu
membebani pikiran putrinya dengan membuat
keganjilan-keganjilan di rumah itu. Walaupun
sebenarnya soebandrio masih kurang yakin kalau itu
adalah arwah istrinya, sebab baru-baru ini dia
mengetahui tentang adanya jin pendamping yang
biasanya suka menyerupai orang yang sudah
meninggal. Karenanyalah soebandrio masih saja
bingung dengan semua perkara itu sehingga dia tidak
bemartini memastikan apakah itu memang arwah martini
atau cuma Jin pendampingnya.
sekarang soebandrio menatap putrinya dengan penuh
perhatian, kemudian menggenggam tangannya
lembut. "O ya, Sayang. Tadi Ayah dapat surat dari
latif ," katanya sambil mengambil surat yang di
maksud dan memberikannya kepada martini .
"Terima kasih, Ayah!" kata martini senang karena
menerima surat dari kekasihnya. "O ya, Ayah. Apakah
Ayah berjumpa dengan dia?" tanya martini
bersemangat.
"Tidak, surat itu dititipkan lewat teman kerja Ayah."
martini tampak mengangguk-angguk. "O ya, Ayah.
Sekarang martini mau ke kamar untuk membaca surat
ini," katanya kemudian.
"Iya, Sayang..." kata soebandrio sambil
memperhatikan kepergian putrinya.
sekarang martini sudah berada di dalam kamarnya. Dia
sedang duduk di tepi tempat tidur sambil membuka
surat dari latif . Saat itu dia merasa begitu senang,
bahkan wajahnya yang semula murung sekarang tampak
berseri-seri, sepertinya dia sudah lupa dengan segala
kejadian yang telah membuatnya takut. Namun saat
dia membaca isi surat itu, mendadak raut wajahnya
berubah sedih. Kemudian di susul dengan air mata
yang berderai melewati pipinya yang mulus.
"latif kenapa kau tega memutuskanku. Apa benar
semua itu karena orang tuaku yang tidak merestui
hubungan kita?"
martini terus menangis dan menangis. Sungguh dia
sangat kecewa dengan keputusan itu dan tidak bisa
menerimanya begitu saja. sesudah meletakkan surat
yang baru dibacanya, martini segera beranjak bangun.
Kemudian melangkah ke sebuah meja kecil dan
mengambil foto latif yang terpajang di meja itu.
Sesaat dia pandangi foto itu dengan air mata yang
terus berderai.
sekarang gadis itu sudah kembali ke tempat tidur,
tubuhnya tampak tertelungkup dengan kedua tangan
yang memegang bingkai foto. Matanya yang basah
terus memandangi foto latif yang sedang tersenyum,
"latif …maafkan ayahku! Aku sama sekali tidak
mengerti mengapa Ayah tidak merestui hubungan
kita? Padahal, semula beliau sangat merestuinya.
Belakangan ini sikap beliau memang agak aneh,
sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
latif ... terus terang aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku
benar-benar menyesal karena kita harus berpisah
dengan cara seperti ini, dan yang aku sangat
sesalkan, semua ini adalah lantaran ulah ayahku.
Beliau pasti melakukannya atas permintaan orang
misterius yang hingga sekarang masih membuatku
bingung."
martini terus membatin dengan segala duka-laranya,
air matanya selalu berderai jikalau mengingat kembali
masa-masa indah bersama latif , sepertinya dia tidak
sanggup untuk berpisah dengan pria yang begitu
dicintainya.
martini membaca surat latif sekali lagi, kemudian
kembali memandangi foto kekasihnya dengan tangis
yang tak kunjung henti. Hingga akhirnya martini tertidur
sambil memegang foto latif di dadanya.
Esok harinya, martini seperti enggan ke sekolah.
Harapan akan masa depannya yang gemilang telah
sirna sesaat . Semenjak menerima surat itu, martini
memang tidak memiliki gairah untuk hidup.
Bahkan di benaknya terbayang sudah kehidupannya
yang terasa begitu hampa, sehingga dia pun merasa
tidak mungkin sanggup untuk melaluinya. Namun,
bisikan numartini nya terus meminta untuk melupakan
semua itu, memintanya untuk tetap menjalani
kehidupan seperti apa adanya. Hingga akhirnya, martini
mau mendengarkan kata hatinya itu. Walau terasa
berat, dia mau juga berangkat ke sekolah.
Di sekolah, martini masih saja terlihat murung.
Semua pelajaran sama sekali tak bisa diserapnya,
semua telah terkubur oleh kuatnya kekecewaan yang
mendalam. sesudah pulang sekolah, gadis itu tidak
langsung pulang ke rumah. Dengan berjalan kaki, dia
terus melangkah tanpa tujuan. Di benaknya terus
terbayang akan kemalangan yang telah menimpanya.
sesudah jauh melangkah, akhirnya martini sampai di
sebuah rel kereta api dua jalur. Tiba-tiba martini
menghentikan langkahnya, di kejauhan terlihat sebuah
KRL (kereta rel listrik) yang akan melintas.
martini tampak terpaku saat Ular besi itu melintas
di hadapannya, hembusan anginnya terasa keras
menerpa. Ular besi itu memang tampak perkasa,
kokoh dan begitu kuat. Berdiri di sampingnya saja
sudah sangat menggetarkan jiwa, apa lagi jika berada
dihadapannya. Begitulah yang ada di benak martini akan
keperkasaan si Ular besi, dan mendadak dia tersadar,
dilihatnya KRL sudah pergi menjauh. sekarang martini
melanjutkan langkahnya untuk menyeberang, namun
saat dia berada di tengah-tengah rel, tiba-tiba
langkahnya terhenti. sekarang segala keperkasaan tentang
si Ular besi kembali hadir di benaknya, kemudian
timbullah sebuah niat untuk melepaskan segala
penderitaannya.
Lantas dengan langkah gontai namun pasti, martini
mulai berjalan menyusuri rel kereta api, dia berjalan
searah dengan KRL yang baru saja melintas. martini
terus melangkah dan melangkah, sedang di hatinya
terus merasakan penderitaan yang teramat sangat.
Seolah pikirannya tak mau lepas dari bayang-bayang
masa lalu, masa-masa indah saat bersama sang
Kekasih, masa-masa yang tidak mungkin akan
terulang lagi.
martini terus melangkah menyusuri rel yang lurus.
Saat itu dia berharap sebuah KRL akan muncul di
belakangnya dan menabraknya hingga hancur
berkeping-keping, kemudian berakhirlah segala
penderitaannya yang teramat pedih. Berakhir dengan
cepat, secepat lepasnya nyawa dari raga. Tak lama
kemudian, sebuah KRL datang dari arah belakang,
klaksonnya terdengar meraung-raung—memperingati
akan keperkasaan si Ular besi yang tidak main-main
dengan segala yang ada di depannya. martini sadar
akan hal itu, tapi dia justru merasa senang karena
sebentar lagi semua penderitaannya akan berakhir
dengan cepat.
KRL terus melaju mendekati martini , hingga
akhirnya jarak kematian tinggal satu meter lagi. Di
saat detik-detik kematian itu, tiba-tiba sesosok tubuh
tegap melompat cepat dan menyambar tubuh martini
hingga akhirnya keduanya tampak bergulingan di atas
kerikil, sedangkan si Ular besi terus melintas dengan
segala keperkasaannya—dia terus menjauh seakan
tidak peduli dengan semua itu. Pada saat yang sama,
martini terlihat sudah berdiri sambil membersihkan
kotoran yang menempel di tubuhnya, sedangkan
orang yang mendorongnya tampak berdiri di
sampingnya dengan raut wajah yang begitu serius.
"Dasar manusia tidak berakal! Jika kau ingin mati
jangan di hadapan aku dong!" maki orang itu. "Terus
terang, aku sudah pernah melihat orang mati tertabrak
kereta. Tubuhnya hancur berkeping-keping, sungguh
mengenaskan. Aku tidak mau melihat hal seperti itu
untuk yang kedua kalinya," cerita orang itu dengan
nada marah.
martini tidak berkata-kata, dia hanya mendengarkan
orang itu terus berbicara, sedangkan kedua matanya
tampak menatap wajah tampan yang masih saja
terlihat serius. Dia benar-benar tidak menduga kalau
usahanya itu telah membuat pemuda itu begitu gusar.
"Paham kau?" tanya pemuda itu mengakhiri
omelannya.
"Maaf kalau tadi aku telah merepotkanmu!" kata
martini menyesal.
Mendengar itu, Pemuda tadi segera meredakan
nada bicaranya. "Kenapa kau ingin bunuh diri?"
tanyanya prihatin.
martini tidak menjawab, dia justru meneteskan air
matanya. Melihat itu, si pemuda kembali bicara, "Maaf
kalau pertanyaanku tadi membuatmu sedih! Terus
terang, sebenarnya aku tidak mau mencampuri
masalahmu. Namun karena perbuatanmu tadi,
rasanya aku perlu membantumu. Tapi kalau kau
merasa aku ini bukan orang yang pantas, aku tidak
akan memaksa. Aku sarankan, carilah orang yang
bisa membantumu untuk menyelesaikan masalahmu.
Bunuh diri bukanlah cara menyelesaikan masalah, hal
itu justru akan membuatmu semakin menderita di
alam sana. Mengerti?" tanya pemuda itu kepada martini
yang masih saja tertunduk sedih. "Baiklah... kalau
begitu aku pergi sekarang," pamit pemuda itu sambil
melangkah pergi.
"Tunggu, Kak!" tahan martini tiba-tiba.
Mendengar itu, si pemuda langsung menoleh dan
segera menghampiri martini . "Ada apa?" tanyanya
pelan.
"Begini Kak. Sebenarnya..." martini menggantung
kalimatnya.
Pemuda itu segera menggenggam tangan martini
sambil berkata, "Ayo katakan saja! Kau tidak perlu
sungkan padaku. Aku sungguh-sungguh akan
membantumu, percayalah!"
"Begini Kak. Se-sebenarnya aku sedang patah
hati. Aku merasa kehidupanku begitu berat dan penuh
dengan penderitaan, sepertinya aku sudah tidak
sanggup lagi hidup di dunia ini," cerita martini lirih.
"Hmm... begitu. Jadi kaupikir dengan bunuh diri
bisa menghilangkan penderitaanmu, begitu?"
martini mengangguk.
"O ya, kenalkan. Namaku ‘aidit ’. Siapa
namamu?" tanya pemuda itu lagi.
"Aku ‘martini ’."
"Hmm… ‘martini ’ nama yang bagus," puji aidit . "O
ya, bagaimana kalau kita bicara di warung itu? Di sana
kita bisa bicara sambil menikmati es kelapa muda."
martini tertunduk, sepertinya dia enggan mengikuti
keinginan pemuda itu.
"Ayolah! Kau tidak perlu sungkan. Bukankah akan
lebih enak kalau kita bicara sambil duduk dan minum
es kelapa muda," desak aidit .
martini menatap pemuda itu, lalu mengangguk
pelan. Tak lama kemudian, mereka sudah melangkah
ke warung yang dimaksud. sekarang mereka sedang duduk
di warung sambil menikmati es kelapa muda yang
begitu segar. Pada saat itu, aidit mulai menanyakan
kembali perihal keinginan martini untuk bunuh diri, kali
ini martini menceritakannya dengan lebih rinci.
"martini ... dengar ya! Sebenarnya bunuh diri itu tidak
akan mengakhiri penderitaanmu. Hal itu justru akan
membuatmu semakin menderita. Di akhirat nanti, kau
pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.
Ketahuilah, kalau setiap manusia yang hidup pasti
akan memiliki masalah, dan masalah itulah yang
akan membuatnya semakin mengerti akan arti
kehidupan. Sebagai manusia, kita dituntut untuk
menyelesaikan segala masalah dengan cara yang
baik, dan itulah hidup yang sesungguhnya. Kita
sebagai manusia sengaja dikaruniai perangkat yang
begitu kompleks karena untuk merasakan kehidupan.
Apalah jadinya jikalau hidup tanpa memiliki
masalah, tentunya akan terasa hambar bukan? Kita
merasa bahagia karena ada sedih, kita merasa
mudah karena ada susah. Coba renungkan,
seseorang yang ditinggal pergi oleh kekasihnya tentu
akan sedih sekali, namun begitu dia bertemu kembali,
kebahagiaan pun tak kan terelakkan. Satu lagi,
seseorang yang mendapat sesuatu dengan cara
bersusah payah pasti hasilnya akan dirasakan
berbeda jika dibandingkan dengan orang yang
mendapatkannya dengan cara mudah. Orang yang
bersusah payah akan mendapatkan kepuasan
tersendiri daripada yang mendapatkannya dengan
cara mudah. Sebenarnya masih banyak lagi liku-liku
kehidupan yang sebenarnya akan membuat kita lebih
menghargai hidup itu sendiri, dan itulah yang
dinamakan asam garam kehidupan yang akan
membuat kehidupan kita menjadi lebih nikmat," jelas
aidit panjang lebar.
martini terdiam, sepertinya dia sedang merenungi
segala kataan pemuda itu. Hingga akhirnya, martini pun
bisa menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya
memang salah, kenapa hanya karena ditinggal
kekasih dia menjadi lemah dan berpikir pendek begitu.
Bahkan dia merasa benar-benar bodoh lantaran telah
melakukan tindakan yang justru akan membuatnya
semakin menderita.
"Kau benar Kak, aku memang telah salah
bertindak!" kata martini menyesal. "Terus terang, aku
sangat berterima kasih karena kau telah
menyadarkanku!" sambungnya kemudian.
"Sudahlah...! Kau tidak perlu berterima kasih
padaku. Karena semua ini memang sudah kehendak-
Nya. O ya, bagaimana jika kau kuantar sampai ke
rumah?"
"Terima kasih Kak! Saya tidak mau merepotkan.
Lagi pula, saya bisa pulang sendiri kok," tolak martini .
"martini ... izinkanlah aku untuk mengantarmu! Aku
ingin memastikan kau tiba di rumah dengan selamat,"
desak aidit .
martini tidak menjawab. Dia memandang aidit
dengan pandangan yang penuh suka cita.
"Bagaimana...? Kau mau kan?" tanya aidit .
martini tersenyum, kemudian dia menganggukkan
kepalanya.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak aidit .
Tak lama kemudian, keduanya tampak melangkah
menuju ke sebuah sepeda motor besar yang di parkir
di samping warung. Ternyata sepeda motor itu
kepunyaan aidit yang memang sudah diparkir
sebelum peristiwa itu terjadi. sesudah menghidupkan
sepeda motornya, aidit segera memacunya
menyusuri jalan yang mulai macet. Dalam perjalanan,
mereka tampak asyik berbincang-bincang. Sesekali
aidit menghibur martini dengan banyolan-banyolan
yang membuat martini tertawa terpingkal-pingkal. Untuk
sesaat martini bisa melupakan segala kepedihannya,
wajahnya tampak begitu ceria. sesudah cukup lama
menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di
tempat tujuan.
martini yang baru saja turun dari motor tampak
tersenyum kepada aidit , "Ayo Kak, silakan mampir
dahulu !" tawarnya ramah.
"Terima kasih! Lain kali saja. Kali ini aku harus
cepat-cepat pulang," tolak aidit . "Sudah ya, aku
pergi sekarang!" pamitnya kemudian.
"O ya, Kak. Sekali lagi aku katakan banyak terima
kasih!"
"Sudahlah...!" kata aidit sambil tersenyum.
martini tersenyum, kemudian dia tampak
memperhatikan aidit yang kembali melaju dengan
sepeda motornya, tak lama kemudian sepeda motor
itu sudah tak terlihat lagi. Pada saat yang sama, martini
segera melangkah memasuki rumah. sekarang dia terlihat
sedang membersihkan diri dari segala kotoran yang
melekat, dan sesudah itu dia bergegas menuju ke
kamarnya.
Setibanya di kamar, martini langsung
menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. sekarang gadis
itu kembali teringat dengan latif , teringat akan
keputusan latif yang begitu menyakitkan, dan dia
menduga semua itu lantaran ulah ayahnya yang
mengusir latif malam itu. Dia ingat betul saat
ayahnya membentak latif dengan begitu kasar, dan
saat itu latif terlihat begitu gusar.
sekarang martini kembali murung, menghapus semua
keceriaan yang semula menghias wajahnya. Tiba-tiba
air matanya tampak berderai, mengalir melewati
pipinya yang mulus, kemudian menetes membasahi
bantalnya yang berwarna biru. martini terus menangis,
isak tangisnya terdengar begitu lirih. Selirih gesekan
dawai biola yang mengalun panjang.
Di tempat terpisah, di sebuah gedung
perkantoran. soebandrio tampak sibuk dengan tugas-
tugasnya. saat sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba
telepon yang ada di meja kerjanya berdering dengan
keras sekali. Lalu dengan segera lelaki itu
mengangkatnya, "Hallo!" sapa soebandrio kepada orang
yang menelepon.
"Hallo, Pak soebandrio ! Ini saya, Pak untung . Saya
mohon Bapak segera ke ruangan saya!"
"Baik, Pak. Secepatnya saya akan ke sana," kata
soebandrio sambil menutup telepon itu.
Dengan agak tergesa-gesa, soebandrio tampak
meninggalkan ruangannya. Tak lama kemudian, dia
sudah sampai di ruangan Pak untung . "Selamat sore,
Pak!" kata soebandrio sopan.
"Silakan duduk, Pak!" pinta Pak untung sambil
tersenyum.
"Terima kasih, Pak!" kata soebandrio sambil duduk
di hadapan Pak untung .
Di sudut lain, terlihat Bu Siska yang terus
memperhatikan soebandrio dari meja kerjanya.
"Sebenarnya ada apa, Pak?" tanya soebandrio
sopan.
"Begini, Pak... keperluan saya memanggil Bapak
adalah untuk meminta maaf," kata Pak untung berterus
terang.
"Mi-minta maaf? Maksud Bapak?" tanya soebandrio
heran.
"Saya mohon, Bapak mau memaafkan saya,"
kata Pak untung tulus.
"Pak, saya benar-benar tidak mengerti? Bapak
kan tidak punya salah sama saya?"
Tiba-tiba Bu Siska beranjak dari tempat duduknya,
kemudian dia melangkah menghampiri soebandrio .
"Saya juga minta maaf, Pak!" katanya tulus.
"O, jadi ini semua karena kejadian tempo hari.
Bukan begitu, Bu?"
Bu Siska tidak menjawab, dia tampak
menundukkan kepalanya. Melihat itu soebandrio kembali
bicara, "Sebenarnya kejadian tempo hari sudah saya
lupakan. Saya benar-benar maklum kalau saat itu Ibu
marah sama saya."
"Sebenarnya bukan cuma itu, Pak. Kami telah..."
Belum sempat Bu Siska menyelesaikan
kalimatnya, tiba-tiba soebandrio sudah memotong.
"Sudahlah Bu, lupakan saja peristiwa itu! Sebenarnya
saya sudah memaafkannya sejak lama. Kalau pun
ada kesalahan lain, Bapak dan Ibu sudah saya
maafkan," kata soebandrio terus terang.
Bu Siska dan Pak untung tampak saling
berpandangan. Kemudian Pak untung kembali bicara,
"Pak soebandrio , hati anda sangat mulia. Saya benar-
benar tidak menduga kalau Bapak akan berbesar hati
mau memaafkan kami. Kami sungguh menyesal
karena telah berlaku tidak layak terhadap Bapak, dan
kami sangat berterima kasih karena Bapak mau
memaafkan kami."
"Betul, Pak soebandrio . Kami sangat berterima kasih
atas kemuliaan hati Bapak yang mau memaafkan
kami," timpal Bu Siska.
soebandrio tidak berkata-kata. Dia memandang
wajah Pak untung dan sekretarisnya silih berganti.
"Sudahlah...! Bukankah sudah sepantasnya, kita
sesama manusia untuk saling memaafkan," katanya
sungguh-sungguh, "O ya, kalau Bapak sudah tidak
ada keperluan lagi, sebaiknya saya permisi dahulu .
Sebab, masih banyak pekerjaan yang harus saya
selesaikan," sambungnya kemudian.
"Kalau begitu, silakan Pak! Dan saya mohon maaf
karena sudah menyita waktu Bapak," kata Pak untung .
soebandrio tersenyum, kemudian dia segera
melangkah untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Dalam hati, soebandrio masih merasa bingung. Dia tidak
mengerti apa sebenarnya yang sudah diperbuat oleh
Pak untung dan Bu Siska terhadapnya. Jikalau Bu Siska
pernah mencaci-maki dirinya, hal itu dianggap hal
yang wajar bagi seorang pegawai rendahan seperti
dia. Namun permintaan maaf Pak untung dan Bu Siska
yang dinilainya agak berlebihan sempat membuatnya
sedikit penasaran. Pada akhirnya, sosok istrinya
datang dan menjelaskan semua hal yang
membuatnya penasaran, hingga akhirnya dia pun bisa
memaklumi keduanya.
Esok siangnya udara terasa panas sekali, teriknya
sinar mentari terasa begitu menyengat kulit. Di teras
sebuah rumah, seorang gadis berseragam abu-abu
tampak sedang membuka pintu depan dengan agak
tergesa-gesa. Dialah martini yang baru saja pulang
sekolah, saat itu dia terlihat begitu lelah.
sekarang martini sudah melangkah masuk dan sedang
meletakkan tasnya di atas meja, kemudian dia juga
meletakkan kantong plastik hitam berisi nasi bungkus
yang baru dibelinya. Dengan santai dia duduk di sofa,
kemudian melepaskan sepatu dan kaos kakinya.
Suasana di rumah itu tampak begitu hening, sehening
suasana makam di malam hari. Pada saat seperti
itulah segala bayang-bayang masa lalu selalu
menghantuinya, menteror dengan segala kenangan
manis yang semakin membuat hatinya kian tersayat-
sayat.
"Tidak! Aku tidak boleh memikirkan hal itu terus.
Sebab, semakin aku mengingatnya, semakin pedih
hati ini. Biar bagaimanapun, aku harus bisa
melupakannya," kata martini dalam hati sambil bangkit
dari tempat duduk dan segera melangkah ke dapur. Di
tangannya terlihat kantong plastik hitam yang
diambilnya dari atas meja.
Rupanya martini akan menyiapkan makan siangnya,
sekaligus mengambil minum untuk melegakan
kerongkongannya yang begitu kering. Belum sempat
gadis itu tiba di dapur, tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya. Saat itu, matanya memandang ke arah
dapur yang tampak begitu sepi. Sungguh suasana
saat itu telah membuatnya sedikit takut. Lalu dia pun
teringat dengan peristiwa waktu itu, dimana perabotan
yang berada ruang dapurnya bergerak sendiri,
kemudian disusul dengan pecahnya piring dan gelas
yang hancur berantakan. martini tampak menarik nafas
panjang untuk menenangkan diri, kemudian berusaha
untuk mengendalikan semua rasa takut yang telah
merasuki pikirannya. "Tidak! Aku tidak boleh takut, ini
kan rumahku sendiri," ungkapnya membemartini kan diri.
Keinginan untuk melepas dahaga semakin
membangkitkan kebemartini annya, kemudian dengan
mantap dia segera melangkah kembali. martini terus
melangkah, sedangkan jantungnya mulai berdegup
kencang. Tiba-tiba dia teringat kembali dengan
kejadian malam itu. Bersamaan dengan itu, lagi-lagi
martini menghentikan langkahnya.
sekarang gadis itu tampak berdiri di depan tirai yang
menjadi pemisah ruang dapur. Entah kenapa, tiba-tiba
dia merasakan suasana di rumah itu terasa kian
mencekam, bahkan jantungnya pun semakin berdebar
kencang. Namun begitu, martini berusaha
membemartini kan diri. Dengan perlahan dia mulai
menyibak tirai itu. Begitu tirai terbuka, tiba-tiba
sesosok tubuh hitam tampak melompat dari atas
sebuah lemari kecil. Melihat itu, sesaat martini terkejut
dan berteriak sejadi-jadinya.
Mendadak teriakan gadis itu terhenti, bersamaan
dengan seekor kucing yang dilihatnya sedang
mengeong-ngeong di dekat kakinya. Kucing itu terus
mengeong-ngeong, kemudian berputar di kaki martini
sambil mengeluskan tubuhnya.
"Aduh, kau mengagetkanku saja," kata martini
sambil menggendong kucing itu dan membelainya
dengan penuh kasih sayang. "Hmm... ini kucing siapa
ya?" tanyanya dalam hati. "Pus, kau lapar ya? Kasihan
sekali, rupanya tuanmu tidak memberimu makan ya?"
Lantas dengan santai martini membuka nasi
bungkusnya, kemudian mengambil kepala ikan dan
memberikan kepada si kucing. 6
martini kembali membelai kucing itu, saat itu hatinya
terasa betul-betul damai. Sejenak dia memperhatikan
si kucing yang tampak begitu rakus melahap kepala
ikan yang cukup besar. Sesekali dia menggeram,
takut jika makanannya diambil oleh martini . Saat itu martini
cuma tersenyum, menyaksikan prilaku hewan yang
tampaknya tidak tahu berterima kasih.
sekarang martini sedang menuang air bening ke dalam
gelas yang baru saja diambilnya, kemudian
meneguknya dengan segera. Sesaat rasa dingin
terasa melewati kerongkongannya, bersamaan
dengan itu rasa dahaganya pun sirna dengan
sendirinya. sesudah itu dia segera menyiapkan makan
siangnya. Pada saat yang sama, sosok mendiang
ibunya tampak sedang memperhatikan. Saat itu dia
ingin sekali menampakkan diri di hadapan martini ,
namun entah kenapa dia tak kuasa melakukannya.
martini yang baru saja selesai makan segera menuju
ke kamarnya, pada saat itu sosok mendiang ibunya
sudah melesat pergi. sekarang martini sedang memasuki
kamarnya. Betapa terkejutnya dia saat mengetahui
tempat tidurnya yang tadi pagi tidak sempat dia
dirapikan sekarang sudah tertata rapi. Bukan cuma itu,
buku-bukunya yang tidak sempat dirapikan juga telah
tertata rapi. Saat itu martini benar-benar sudah dibuat
bingung, "Hmm... siapa yang telah melakukan semua
ini?" tanya martini dalam hati. "Tidak mungkin Ayah yang
melakukannya? Tadi pagi kan aku bangun kesiangan,
dan saat aku sedang sarapan beliau justru sudah
berangkat lebih dahulu . Hmm... apa mungkin Ayah
kembali lagi sesudah aku pergi, beliau kembali karena
melupakan sesuatu. Ah, sepertinya itu juga tidak
mungkin. Selama ini justru akulah yang selalu
merapikan tempat tidurnya. Aneh… sebenarnya siapa
yang telah melakukan semua ini?"
Akhirnya martini memutuskan untuk tidak
mempedulikan semua itu, bahkan dia berusaha
berprasangka baik kalau ayahnyalah yang telah
melakukan semua itu. sekarang martini sedang melepas
pakaian sekolahnya, kemudian menggantinya dengan
pakaian santai yang diambilnya dari dalam lemari.
sesudah itu, dia segera melangkah ke kamar ayahnya.
Setibanya di dalam kamar, lagi-lagi martini terkejut.
Hal serupa yang terjadi di kamarnya juga terlihat di
ruangan itu, semuanya sudah benar-benar rapi.
Padahal, selama ini dialah yang biasanya merapikan
tempat itu sepulang sekolah.
Karena semua sudah benar-benar rapi, akhirnya
martini kembali ke kamarnya untuk beristirahat. sekarang
gadis itu sudah merebahkan diri di atas tempat tidur
dan sedang memejamkan kedua matanya. Karena
merasa lelah, akhirnya gadis itu tertidur pulas.
saat terjaga, martini tampak terkejut. Dilihatnya
sang Ayah sudah berada di sisi tempat tidur dan
sedang memandangnya. "Sayang… Ayah ingin
menyampaikan sesuatu tentang latif ," kata soebandrio
sambil terus memandang wajah putrinya.
"Apa itu, Ayah?" tanya martini penasaran.
"Sesuatu kebenaran tentang latif , Sayang…"
jawab soebandrio . "O ya, apakah selama ini kau masih
mengharapkan dia?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja, Ayah. martini kan sangat mencintainya,"
jawab martini terus terang.
"Sebaiknya kau lupakan dia, Sayang…!" pinta
soebandrio .
"Kenapa Ayah menghendaki demikian?" tanya
martini lagi dengan alis tampak merapat.
"Bu-bukan apa-apa, Sayang… sebenarnya selama
ini latif cuma mempermainkanmu. Dia sama sekali
tidak mencintaimu."
Mendengar itu, martini langsung duduk di atas
tempat tidurnya. "Bohong! Ayah bohong! Kenapa Ayah
tega berbuat begitu?" tanya martini sambil menatap
sang Ayah dengan mata yang berkaca-kaca.
soebandrio tak kuasa memandang wajah putrinya,
dia tampak memalingkan wajahnya ke arah pintu.
"Ayah tidak berbohong, Sayang... terus terang, Ayah
tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya padamu,"
kata soebandrio menyangkal.
"Kenapa, Yah? Kenapa waktu itu Ayah mengusir
latif ? Sebenarnya apa salah latif sehingga Ayah tidak
menyetujui hubungan kami? Jawab, Ayah. Jawab!"
desak martini lirih.
"Kau salah paham, Sayang... semua itu karena..."
soebandrio tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak
bingung dan tidak tahu harus berkata apa untuk
menjelaskan kejadian waktu itu. kemudian dia kembali
berkata, "Nak, sebaiknya sekarang kau mandi, lalu
sesudah itu kita makan sama-sama!" saran soebandrio
sambil membelai kepala martini dan mengecupnya
dengan penuh kasih sayang. sesudah itu dia tampak
melangkah ke kamarnya sendiri.
sekarang soebandrio sudah berada di dalam kamar dan
sedang mengganti pakaiannya. saat baru saja
selesai, tiba-tiba "Bagaimana, Bran?" terdengar suara
orang yang bertanya kepadanya.
"Ya-martini …!" seru soebandrio kaget saat melihat
sosok martini yang sudah berdiri di sampingnya.
"Bagaimana, Bran? Apa kau sudah
menceritakannya?" tanya sosok martini lagi.
"Belum sepenuhnya, Sayang... saat itu martini sama
sekali tidak mempercayaiku. Aku sendiri bingung,
bagaimana caranya agar dia mau percaya," jawab
soebandrio . "O ya, bagaimana kalau kita cari orang yang
bisa menjelaskan siapa latif sebenarnya!" sarannya
kemudian.
"Baiklah kalau begitu, aku tahu siapa orang yang
bisa menyampaikannya," jelas sosok martini .
"Siapa?" tanya soebandrio .
"latif sendiri," kata sosok martini sambil
menghilang dari pandangan.
soebandrio agak kecewa dengan kepergian sosok
martini yang begitu tiba-tiba, padahal dia masih ingin
berbicara banyak dengan mendiang istrinya itu.
Lantas dengan perasaan yang masih kecewa,
soebandrio segera pergi ke meja makan untuk
menikmati makan malam bersama putrinya.
Be sok paginya mentari bercahaya dengan
cerahnya, sinarnya yang hangat tampak
membias menerangi seantero kota. Sementara itu di
sepanjang jalan raya tampak lalu-lalang kendaraan
yang merambat pelan, terjebak dalam kemacetan
yang memang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota. Pada
saat yang sama, di sebuah perempatan lampu merah,
para pedagang asongan tampak ramai menjajakan
dagangannya. Beberapa orang polantas tampak sibuk
mengatur lalu lintas di tempat itu.
Lampu lalu lintas silih berganti berubah warna,
namun lampu itu tidak berguna sama sekali karena
petugas polantaslah yang menggantikannya. Petugas
polantas itu lebih mengutamakan antrian kendaraan
dari jalur yang lebih padat untuk jalan lebih dahulu , sedangkan dari jalur yang tampak sepi dibiarkan
menunggu agak lama.
Yuli yang sedang duduk di depan kemudi tampak
kesal, sebab gilirannya melaju terasa begitu lama.
Suara bising terus terdengar dari mesin-mesin
kendaraan yang meraung-raung menunggu giliran,
hal. 3
sekaligus membuang energinya dengan percuma.
Yuli masih terus menunggu. Sesaat dia
memperhatikan seorang gadis kecil yang berdiri di
samping mobilnya, pakaian tampak kumal dan begitu
lusuh. Rambutnya pun tampak kotor dan begitu kusut,
menutupi sebagian wajahnya yang masih tampak
polos.
sekarang gadis kecil itu tampak membunyikan
kecrekannya yang terbuat dari tutup minuman,
kemudian disusul dengan suaranya yang terdengar
sumbang. Melihat itu, Yuli merasa iba, lalu dengan
segera dia membuka kaca mobil dan menyodorkan
selembar uang lima ribuan. Sesaat nyanyian gadis
kecil itu terhenti, bersamaan dengan jemari mungil
yang bimbang meraih uang itu. Si Gadis kecil tampak
ragu, baru kali ini dia disodorkan uang sebesar itu.
"Maaf Kak! Saya tidak punya uang kembaliannya,"
katanya polos.
"Terimalah! Semuanya untukmu," kata Yuli
meyakinkan.
Gadis kecil itu tampak begitu senang, kemudian
dia segera mengambil uang itu dan memasukkannya
ke dalam saku roknya yang lusuh. "Terima kasih,
Kak!" katanya pelan.
sekarang gadis kecil itu tampak tersenyum kepada Yuli
yang dianggapnya sebagai bidadari cantik yang baik
hati. Yuli pun membalas senyuman itu, kedua
matanya tak berpaling—terus memperhatikan si gadis
kecil yang sekarang sudah melangkah ke mobil yang ada di
belakangnya. Dalam hati Yuli membatin, "Aku tidak
habis pikir, kenapa anak sekecil itu bergelut dengan
kerasnya Ibu Kota, seharusnya kan gadis sekecil itu
sedang menikmati masa kecilnya—bermain dan
belajar."
sekarang Yuli kembali memperhatikan petugas polantas
yang masih juga belum mengizinkannya melaju.
saat menengok ke samping, dilihatnya seorang
pedagang asongan tampak sedang berdiri menjajakan
dagangannya, "Permen, Non?" tawarnya sambil
menyodorkan sebungkus permen ukuran sedang.
Yuli segera mengambil permen itu dan
membayarnya dengan uang sepuluh ribuan. saat si
pedagang sedang menyiapkan uang kembaliannya,
tiba-tiba Pak Polantas sudah mengizinkannya untuk
melaju. Melihat itu, Yuli segera menurunkan rem
tangan dan mulai melaju bersama mobilnya.
"Tunggu, Non! Ini kembaliannya," tahan si
pedagang tiba-tiba.
"Ambil saja untukmu!" teriak Yuli sambil
mempercepat laju mobilnya.
Yuli terus melaju. Hari ini dia berniat mengunjungi
kakek dan neneknya yang berada di luar kota,
tepatnya di daerah Sukabumi. sesudah menempuh
perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya dia tiba
di pekarangan rumah neneknya yang tampak begitu
asri.
Sejenak Yuli memperhatikan keadaan di sekitar
tempat itu, dipandangnya rumah mungil yang sudah
berumur puluhan tahun. Walau begitu, rumah itu tetap
terawat dengan baik. Kemudian dilihatnya sang nenek
yang lagi sibuk merajut di teras depan rumahnya.
Lantas dengan segera Yuli keluar mobil dan
menghampiri sang Nenek.
Sang nenek yang mengetahui kedatangannya
tampak begitu senang, dia segera berdiri dan
memeluknya dengan penuh kerinduan. "Aduh, cucu
nenek semakin cantik saja," pujinya sambil mengecup
kening Yuli dengan penuh kasih sayang. "Ayo...
masuk, Cu!" ajaknya kemudian.
Yuli menuruti ajakan neneknya, dia melangkah
masuk mengikuti sang Nenek yang masuk lebih dahulu .
sekarang Yuli sudah berada di ruang tamu sambil menatap
ke sekeliling ruangan dengan penuh rasa kagum,
matanya hampir tak berkedip memperhatikan setiap
bagian yang menjadi ornamen di rumah itu. Walaupun
sudah kelihatan tua, namun masih terlihat menarik,
semuanya begitu unik dan antik.
"Semuanya tidak berubah ya, Nek. Semuanya
Masih seperti dahulu ," kata Yuli mengomentari.
"Iya, Cu. Kakek dan nenek memang tidak mau
merubahnya, sebab semua ini merupakan sejarah
yang penuh dengan kenangan yang tiada ternilai
harganya," jelas sang Nenek. "O ya, Cu. Silakan
duduk! Nenek mau membuatkan minum dahulu ,"
lanjutnya kemudian.
Yuli segera duduk, sedangkan sang Nenek
tampak melangkah ke dapur hendak membuatkan
secangkir teh. Tak lama kemudian, Yuli beranjak
menyusul neneknya ke dapur. sekarang gadis itu sedang
berada di samping neneknya yang tampak sibuk
membuatkan minum, "Kakek ke mana, Nek?"
tanyanya kepada sang Nenek.
"Kakekmu lagi pergi. Nenek juga tidak tahu ke
mana perginya," jawab sang Nenek sambil terus
mengaduk gula yang baru dimasukkannya. "O ya, Cu.
Ngomong-ngomong... kenapa kau tidak kasih kabar
dahulu kalau mau datang kemari?" tanya sang Nenek
kemudian.
"Yuli sengaja, Nek. Soalnya, Yuli mau memberi
kejutan. O ya, Nek…" Yuli tampak berpikir, kemudian
dia mulai melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Kau mau ke mana, Cu?" tanya neneknya tiba-
tiba.
"Sebentar, Nek…! Aku akan kembali," jawab Yuli
sambil mempercepat langkah kakinya.
Sang Nenek tampak mengerutkan keningnya,
kemudian dia segera melangkah meninggalkan dapur.
Di tangannya terlihat secangkir teh yang dialasi piring
kecil bermotifkan bunga. Tak lama kemudian, sang
Nenek sudah tiba di ruangan tamu dan langsung
meletakkan teh yang dibawanya ke atas meja.
Sementara itu, Yuli sedang mengambil dua buah
bungkusan dari dalam mobilnya, kemudian dengan
segera dia membawanya masuk.
"Ini, Nek…! Yuli bawakan buat Nenek, dan yang
ini untuk Kakek," kata Yuli sambil menyerahkan
kedua bungkusan yang dibawanya.
Sang Nenek tampak mengambil bungkusan itu
dari tangan Yuli. "Apa ini, Cu?" tanya sang Nenek
sambil mengamati kedua bungkusan yang ada di
tangannya.
"Itu oleh-oleh dari Ibu Kota, Nek. Yuli yakin, Nenek
dan Kakek pasti suka," jawab Yuli sambil duduk di
kursi yang ada di ruangan itu.
Sang Nenek tampak tersenyum, kemudian ikut
duduk sambil meletakkan bungkusan yang ada di
tangannya. sesudah itu dia mengambil cangkir
minuman dan menyodorkannya kepada Yuli, "Ini
diminum tehnya, nanti keburu dingin!" kata sang
Nenek ramah.
Yuli segera menyambut minuman itu dan
meminumnya sedikit. "Enak sekali teh ini, Nek!" puji
Yuli sambil kembali menghirup teh itu sekali lagi.
"Itu teh spesial, Cu. Nenek sendiri yang
meraciknya. Di dalamnya bukan hanya pucuk teh, tapi
juga ada bunga-bungaan dan beberapa daun obat-
obatan," jelas sang Nenek.
"Pantas rasa teh ini lain sekali, dan yang pasti
betul-betul enak, Nek," puji Yuli sekali lagi sambil
meletakkan cangkir tehnya.
Sang Nenek tampak tersenyum mengetahui
cucunya suka dengan teh racikannya. Sementara itu
tak jauh dari rumah, sang Kakek terlihat sedang
mengendarai sepeda tuanya—menyusuri jalan tanah
yang menuju ke rumah. Walaupun sudah tua, sang
Kakek mampu mengayuhnya dengan begitu cekatan.
Tak lama kemudian, dia sampai di tempat tujuan.
sekarang sang Kakek sedang memperhatikan sedan
mewah yang diparkir di pekarangannya, "Wah, itu
pasti mobil menantuku. Dia pasti datang bersama
anak dan cucuku," duganya dengan raut wajah yang
begitu gembira.
Lalu tanpa buang waktu, sang Kakek segera
memarkir sepedanya dan melangkah masuk.
"Assalamu’alaikum…!" katanya sambil mengamati
orang-orang yang duduk di ruang tamu.
"Waaahhh… Yuliii...!" seru sang Kakek sambil
menghampiri cucunya tersayang.
Bersamaan dengan itu, Yuli segera berdiri dan
langsung memeluknya erat. sesudah itu sang Kekek
tampak memandangnya dengan penuh suka cita,
"Waduh-waduuuh... cucu kakek sudah jadi gadis
dewasa rupanya, tambah cantik lagi… you are so
beautiful and montok, you look pretty with this baju to,"
puji sang Kakek sambil terus memandangi wajah
cucunya.
Yuli hanya tersipu mendengarnya, apalagi sang
Kakek memujinya dengan bahasa Inggris yang
dicampur aduk. Sang Nenek cuma tersenyum saja
mendengar Kakek berbicara begitu, dan tak lama
kemudian Yuli sudah duduk kembali di kursinya.
Bersamaan dengan itu, sang Kakek ikut duduk di
sebelahnya.
Sementara itu, sang Nenek justru beranjak dari
tempat duduknya. "Kalian ngobrol saja dahulu ! Sekarang
Nenek mau menyiapkan makan siang," katanya
sambil melangkah pergi.
"Masak yang enak ya, Nek!" teriak sang Kakek,
kemudian dia mulai bicara kepada cucunya tersayang,
"Kau datang sendiri, Cu?" tanyanya agak kecewa.
"Iya, Kek," jawab Yuli singkat.
"Kenapa kedua orang tuamu tidak ikut ke mari?"
tanya sang Kakek lagi.
"Mereka sibuk, Kek," jawab Yuli singkat.
"Huh, dari dahulu mereka selalu begitu—terlalu sibuk
dengan urusan dunia. Mereka sama sekali tidak
peduli, kalau selama ini Kakek dan nenek sudah
sangat merindukan mereka."
"Kakek benar, Yuli juga kurang setuju dengan
sikap mereka. Selama ini, Yuli pun kurang
diperhatikan. Selama ini mereka cuma memanjakan
Yuli dengan materi, padahal bukan itu saja yang Yuli
butuhkan. Yuli kan juga butuh perhatian dan kasih
sayang, Kek."
"Sudahlah, Cu...! Sebenarnya mereka melakukan
itu dengan maksud ingin membahagiakanmu, namun
mereka tidak menyadari kalau hal itu justru
membuatmu kesepian. Sebagai anak, kau harus terus
berbakti kepada mereka, walaupun selama ini mereka
kurang memperhatikanmu. O ya, ngomong-ngomong
bagaimana kabar mereka?"
"Baik, Kek—mereka sehat-sehat saja."
"Baguslah kalau begitu, terus... bagaimana
dengan keadaan di sana?" tanya sang Kakek yang
ingin mengetahui perkembangan Jakarta.
"Yaaa... kehidupannya tambah keras saja, Kek.
Tidak seperti di sini, semua terasa sejuk dan damai,
sedangkan di sana... semakin panas, penuh polusi,
dan kejahatan pun semakin merajalela," jawab Yuli.
"O ya, masa sih," kata sang Kakek seakan tidak
percaya. "O ya, Cu. Ngomong-ngomong bagaimana
dengan kuliahmu?" tanyanya kemudian.
"Lancar, Kek," jawab Yuli singkat. " O ya, Kek.
Ngomong-ngomong, Kakek dari mana?" tanyanya
kemudian.
"Yes yes yes... Kakek is baru jalan-jalan and
looking-looking," jawab sang Kakek yang lagi-lagi sok
berbicara dengan bahasa Inggris.
"Ah kakek bercanda saja," kata Yuli dengan
wajah cemberut.
"Aduh, Cu. Kau jangan ngambek seperti itu dong,
nanti kau bisa cepat keriput kayak nenekmu. Masa
masih mudah sudah keriput, nanti tidak ada yang mau
loh."
"Habis... Kakek kalau ditanya serius selalu
menjawab asal. Bagaimana Yuli tidak kesal."
"Iya, Iya... sekarang akan kakek jawab dengan
serius. Begini, Cu... sebenarnya kakek baru pulang
dari pasar. Tadinya sih kakek mau beli burung, tapi
karena harganya terlalu mahal, kakek tidak jadi
membelinya. Karenanyalah Kakek terpaksa pulang
dengan tangan hampa," jawab sang Kakek polos.
"Memangnya Kakek ingin memelihara burung,
ya?" tanya Yuli.
"Tidak, kakek cuma mau memelihara monyet."
"Tuh kan, mulai lagi deh," keluh Yuli.
"Iya, anak Manis... tentu saja kakekmu ini mau
memelihara burung. Kan sebelumnya Kakek sudah
bilang mau beli burung, bukannya mau beli monyet.
Sebenarnya sih sudah lama Kakek ingin memelihara
burung. Tapi karena nenekmu pelit, terpaksa kakek
harus mencari uang sendiri untuk membelinya."
"Jadi, uang yang diberikan oleh ayah selama ini,
nenek yang pegang?"
Sang Kakek mengangguk, "Benar, Cu. Kata
nenekmu, uang itu cuma untuk keperluan sehari-hari.
Tapi Kakek tahu, bukan hal itu yang membuat
nenekmu jadi pelit, namun karena beliau tidak mau
aku memelihara burung. Kakek menduga, beliau takut
kalau Kakek akan kembali lagi dengan perbuatan
Kakek yang sudah lampau,"
"Memangnya perbuatan apa itu, Kek?’ tanya Yuli
penasaran.
"Begini, Cu... pada masa muda dahulu , kakekmu ini
adalah seorang yang gemar mencari ilmu kebatinan.
Sampai pada suatu saat , Kakek mendapat wangsit
yang mengharuskan memelihara burung tertentu.
Menurut wangsit, Kakek harus memelihara burung itu
hingga bersuara merdu, dan sesudah burung itu
bersuara merdu, Kakek diharuskan menelan hatinya
mentah-mentah. Dengan demikian, Kakek akan
memiliki suara yang merdu, semerdu suara burung
itu. Bukan cuma itu saja, Cu. Kakek pun akan
memiliki lidah yang setajam pedang, maksudnya
setiap yang berbicara dengan Kakek akan menjadi
luluh hatinya."
"Terus... apa yang terjadi kemudian? Kenapa
Nenek sampai tidak menyukainya?"
"Itulah, Cu. Karena ilmu tersebut, kakekmu ini
banyak yang menyukai. Terutama gadis-gadis cantik,
dan hal itu membuat nenekmu cemburu buta—beliau
mengancam akan meninggalkan Kakek, seandainya
Kakek masih memiliki ilmu tersebut. Karena Kakek
sangat mencintai nenekmu, makanya Kakek lebih
mengutamakan beliau dari pada ilmu tersebut, dan
akhirnya Kakek mencari orang pintar yang mampu
menghilangkan ilmu itu sampai tidak tersisa lagi."
"Kakek sih, bukannya mempelajari ilmu yang
bermanfaat untuk kepentingan orang banyak, tapi
justru memperlajari ilmu yang seperti itu."
"Iya, Cu. Kakek memang telah menyesali
perbuatan itu, dan sesudah mendapat bimbingan dari
orang pintar yang menolong Kakek itu, akhirnya
Kakek sadar, dan mulai sejak itu Kakek cuma mencari
ilmu yang berguna untuk kepentingan orang banyak.
Sekarang Kakek mau memelihara burung cuma untuk
mengisi waktu luang, sebagai hobi saja, Cu."
"Hmm... kalau begitu sih tidak apa-apa, Kek. O ya,
bagaimana kalau sekarang kita ke pasar untuk
membeli burung yang kakek inginkan itu!" Ajak Yuli
berniat membelikan burung yang diinginkan kakeknya.
"Terima kasih, Cu! Saat ini Kakek sudah terlalu
lelah, sekarang Kakek mau bersantai di rumah," jawab
sang Kakek menolak.
"Baiklah, Kek!" kata Yuli sambil mengeluarkan
beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam
dompetnya, kemudian uang itu segera diletakkan di
genggaman kakeknya. "Ini buat Kakek, dengan uang
ini Kakek bisa membeli burung yang Kakek inginkan
itu, dan Kakek bisa membelinya kapan saja Kakek
mau," jelasnya kemudian.
"Aduuuh, Cu. Ini kan banyak sekali," kata sang
Kakek enggan.
"Terima saja, Kek! Terus terang, Yuli ingin sekali
Kakek memiliki burung itu, dan Yuli akan merasa
senang kalau Kakek bisa mewujudkan keinginan itu,"
desak Yuli.
"Baiklah, Kakek akan menerimanya. Terus terang,
Kakek sangat bahagia dan sangat berterima kasih
karena kau sudah begitu peduli dengan kakekmu ini,"
kata sang Kakek merasa haru akan perhatian yang
telah diberikan oleh cucunya.
Pada saat itu, Yuli tampak tersenyum puas. Dia
benar-benar senang karena bisa membahagiakan
kakeknya yang sudah begitu banyak berjasa. Sejenak
Yuli memperhatikan kakeknya dengan penuh cinta,
kemudian di benaknya terbayang akan masa lalu yang
begitu penuh dengan asam garam kehidupan. Masa
itu adalah masa-masa kedua orang tua Yuli sedang
mengalami kesulitan, masa-masa dimana mereka
masih hidup miskin dan serba kekurangan. Pada saat
itu, kedua orang tua Yuli masih menumpang di rumah
orang tua mereka, yaitu kakek dan neneknya Yuli.
Waktu itu, usia Yuli masih lima tahun jalan.
Pada masa susah itu, sang Ayah berusaha keras
dengan berjualan hasil kebun di pasar tradisional,
namun hasil yang didapatnya sama sekali tidak
mencukupi. Hingga pada suatu saat , disaat Yuli
berusia 8 tahun. Sang Ayah membemartini kan diri untuk
mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, sedangkan sang
Ibu menggantikan pekerjaan suaminya sebagai
penjual hasil kebun di pasar tradisional. Selama sang
Ibu pergi ke pasar, Yuli terpaksa ditinggal di rumah
bersama kakek dan neneknya. Selama ditinggal,
kakek dan neneknya-lah yang selalu mengasuh dan
merawat Yuli dengan penuh kasih sayang. Sang
Kakek sering sekali mengajaknya pergi berburu ke
hutan maupun menjala ikan di sungai.
sekarang semua itu telah menjadi kenangan Yuli yang
tak mungkin dilupakan, dan karena kenangan itu pula
Yuli menjadi lebih peduli kepada orang-orang yang
hidup serba kekurangan dan membuatnya ingin selalu
menolong mereka. Sebab, sekarang ini Yuli hidup di
lingkungan keluarga yang serba berkecukupan.
Ayahnya adalah seorang pengusaha yang membuka
bisnis besar-besaran di luar negeri, sedangkan ibunya
memiliki sebuah perusahaan kue dengan omset
yang cukup besar. Selama ini mereka berdua
memang sangat tekun dalam menjalankan usahanya
masing-masing, dan karena ketekunan yang luar
biasa itu, mereka berhasil mencapai taraf kehidupan
yang bisa dibilang sangat mapan—pengusaha sukses
yang kaya raya. Mereka dapat menyekolahkan Yuli
dan memenuhi segala kebutuhannya dengan
berlebihan. Selama ini mereka selalu memanjakan
Yuli dengan materi yang Yuli sendiri kurang suka,
sebab Yuli harus menukarnya dengan tidak mendapat
perhatian dan kasih sayang yang cukup dari kedua
orang tuanya.
Tiba-tiba Yuli tersadar, kemudian dia segera
memeluk kakeknya yang sangat disayangi. "Kek, kita
ngobrol-ngobrol di luar yuk!" ajaknya kemudian.
"Iya, Cu. Tapi... Kakek mau menyimpan uang ini
dahulu ."
"Iya, Kek. Kalau begitu Yuli tunggu di teras ya,"
kata Yuli sambil melangkah ke luar, sedangkan sang
Kakek terlihat melangkah ke kamarnya.
Di teras, Yuli terlihat duduk sendirian. Suasana
saat itu terasa sepi sekali. sekarang Yuli beranjak dari
duduknya, kemudian melangkah ke pekarangan untuk
melihat-lihat bunga-bunga yang tumbuh di tempat itu.
Tak lama kemudian Sang kakek sudah keluar, dia
tampak berdiri di teras sambil memperhatikan
cucunya.
"Cu! Kau sedang apa di situ? Ayo lekas kemari!"
serunya kemudian.
"Iya, Kek," sahut Yuli sambil menghampiri sang
Kakek.
sekarang Yuli dan kakeknya sudah duduk di kursi teras,
kemudian keduanya tampak berbincang-bincang
dengan akrabnya. Tak lama kemudian, sang Nenek
datang dan menghampiri mereka. "Kek, Cu!
Masakannya sudah siap. Ayo kita makan sama-
sama!" ajaknya kemudian.
Yuli dan kakeknya segera beranjak bangun dan
melangkah bersama ke meja makan. sesudah makan,
Yuli dan neneknya terlihat sibuk berbenah. sesudah
semuanya beres, Yuli segera menemui kakeknya
yang sedang asyik bersantai di ruang tamu.
"Kek, Yuli mau menanyakan sesuatu sama
Kakek," kata Yuli sambil duduk di samping kakeknya.
"Apa itu, Cu?" tanya sang Kakek penasaran.
"Begini, Kek. Waktu itu, Yuli menemukan uang
logam emas."
"Uang logam emas?" sang Kakek tampak
mengerutkan keningnya.
"Ini, Kek. Uangnya," kata Yuli sambil
menyerahkan uang itu kepada kakeknya.
"Di mana kau menemukannya?" tanya sang
Kakek sambil mulai mengamati uang itu.
"Di pelataran parkir, Kek," jawab Yuli.
Sang kakek masih mengamati uang logam itu
dengan seksama, kemudian membaca tulisan kuno
yang tertera di atasnya dengan begitu serius, "Lho ini
kan uang peninggalan zaman Kerajaan Majapahit,"
jelas kakeknya.
Tiba-tiba sang kakek merasakan getaran aneh
dari koin tersebut, dia merasakan energi yang begitu
besar mengalir melalui telapak tangannya.
"Kenapa, Kek?" tanya Yuli heran melihat kakeknya
tiba-tiba terlihat begitu tegang.
"Tidak, Cu. Tidak apa-apa," jawab sang Kakek
tidak berterus terang.
"Tapi, kenapa tadi Kakek begitu tegang?" tanya
Yuli lagi.
"Sudahlah…! Sebaiknya uang logam ini
kausimpan baik-baik, bawalah ke mana saja
kaupergi!" pesan sang Kakek sambil menyerahkan
koin itu kepada Yuli.
Yuli menuruti pesan kakeknya, dia segera
menyimpan koin itu baik-baik. sesudah itu dia tampak
bertanya-tanya dalam hati, "Hmm... apa ya
keistimewaan lain koin emas itu? Menurutku
keistimewaannya cuma pada kemilau dan bentuknya
saja. Selebihnya, tidak ada lagi yang istimewa. Tapi...
kenapa beliau berpesan demikian? Sepertinya koin itu
memang benar-benar istimewa. Tadi beliau tampak
begitu tegang saat memegangnya, sepertinya
memang ada sesuatu yang beliau rasakan, namun
sayangnya beliau tidak mau mengatakan hal itu."
"Ehem...!" Tiba-tiba sang Kakek membuyarkan
lamunannya. "O ya, Cu. Sekarang Kakek mau
istirahat. Kalau kau mau istirahat, kau bisa tidur di
kamar sebelah. Nenekmu pasti sudah
menyiapkannya."
"Iya, Kek. Selamat beristirahat!" kata Yuli sambil
tersenyum
Sang Kakek pun tersenyum, kemudian dia mulai
melangkah menuju ke kamarnya. Sementara itu, Yuli
masih duduk di ruangan itu, dia masih saja
memikirkan perihal uang logam emas yang diduganya
memiliki keistimewaan lebih. saat sedang serius
memikirkan uang itu, tiba-tiba nada HP yang
menandakan telepon dari latif berbunyi.
"Hallo, latif !" sapa Yuli.
"Hallo, Yul! Apa kabar?" tanya latif .
"Aku baik-baik saja, latif " jawab Yuli. "Kau lagi di
mana?" tanyanya kemudian.
"Aku lagi di kantor ayahku," jawab latif . "Nanti
malam kau ke rumahku ya!" lanjutnya kemudian.
"Memangnya ada apa, latif ?" tanya Yuli.
"Pokoknya ada deh…" jawab latif merahasiakan.
"Aduh, latif ... maaf ya! Sepertinya aku tidak bisa."
"Memangnya kau sudah tidak peduli dengan aku
lagi ya?"
"Bukan begitu, latif ! Malam ini aku mau menginap
di rumah kakek dan nenekku."
"Iya iya... kakekmu memang lebih penting.
Baiklah... kalau kau memang tidak bisa datang, aku
pun tidak akan memaksa," kata latif dengan nada
kecewa.
"latif .. kau marah ya?"
"Tidak, aku bisa mengerti kok."
"Baiklah, latif … Nanti malam aku akan ke
rumahmu," janji Yuli.
"Sungguh! Kalau begitu, aku tunggu ya. Sampai
jumpa nanti malam, bye…" kata latif dengan nada
yang terdengar begitu gembira.
"Bye…" balas Yuli sambil memutuskan
sambungan dan menyimpan HP-nya kembali. sekarang dia
sudah melangkah ke kamar yang memang sudah
dipersiapkan untuknya, kemudian dia segera
beristirahat di tempat itu
Sore harinya Yuli sudah terbangun. sesudah
mencuci muka, dia langsung menemui kakeknya yang
sedang asyik bersantai di ruang tamu. sekarang dia sudah
duduk di sebelah kakeknya dan langsung mengajak
beliau berbincang-bincang. Tak lama kemudian,
neneknya datang dengan membawa makanan kecil
untuk mereka.
sekarang ketiganya tampak asyik bersenda-gurau
sambil menikmati makanan kecil yang telah dibawa
oleh sang Nenek. Mereka terus bersenda-gurau
hingga akhirnya Yuli berpamitan untuk pulang ke
Jakarta.
"Kok tidak menginap saja, Cu?" tanya neneknya.
"Sebenarnya aku ingin menginap, Nek. Tapi
karena ada keperluan mendadak, aku harus segera
pulang," jelas Yuli menyesal.
"Ya sudah… hati-hati di jalan ya, Cu!" pesan
kakeknya.
"Iya, Cu… jangan ngebut!" timpal neneknya.
Dengan perasaan berat, akhirnya Yuli berangkat
meninggalkan keduanya. Dia tampak mengemudikan
mobilnya keluar dari pekarangan dengan sangat
perlahan. Sejenak dia melirik ke kaca spion untuk
melihat kakek dan neneknya yang masih saja
melambaikan tangan. Tak lama kemudian, dia sudah
berada di tengah jalan dan langsung memacu
mobilnya menuju ke Jakarta. Sementara itu di tempat
lain, seorang kakek terlihat sedang memanjatkan doa
di depan sebuah makam, di sisinya tampak sebuah
botol mawar yang sudah kosong.
Dialah sang Kakek yang waktu itu berpapasan
dengan soebandrio dan martini saat sedang berziarah ke
makam martini . sekarang kakek itu tampak menadahkan
tangannya untuk berdoa. Dia tampak berdoa dengan
begitu khusuk, kedua matanya tampak berkaca-kaca.
Selesai sang Kakek berdoa, tiba-tiba angin sepoi-
sepoi tampak bertiup di tempat itu. Pada saat yang
sama, sebuah bunga kamboja bermahkota lima tiba-
tiba jatuh dihadapannya. Sang kakek segera
memungut bunga itu dan menciumnya dengan penuh
perasaan, kemudian segera menyimpannya di saku
baju.
sekarang sang Kakek tampak melangkah menuju ke
makam orang tua martini yang letaknya tidak begitu
jauh. Di tempat itu sang Kakek juga berdoa, dia
mendoakan kedua orang tua martini agar senantiasa
diberikan kelapangan kubur. Selama ini dia memang
sering berdoa untuk mereka. Sebab semasa hidup,
martini selalu berbuat baik kepada kakek itu, bahkan
dia sudah menganggapnya seperti orang tuanya
sendiri. Setiap kali berkunjung ke makam orang
tuanya, martini selalu melihat makam itu dalam
keadaan bersih dan rapi. Itu semua karena sang
Kakek yang selalu merawat makam orang tua martini
dengan baik. Karenanyalah, setiap hendak pulang
martini selalu memberikan uang sekedarnya kepada
kakek itu sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, dan
hal itu terus berlanjut, sampai akhirnya mereka akrab
seperti anak dan ayah.
Malam harinya, seorang pria tampak sibuk
mempersiapkan sebuah pesta kecil di rumahnya.
Dialah latif yang akan memberikan pesta kejutan buat
Yuli, sebuah pesta kecil untuk merayakan
keberhasilan Yuli yang telah terpilih sebagai pemain
piano terbaik tingkat Nasional. latif berniat
merayakannya semata-mata hanya untuk menarik
simpati Yuli. Selama ini latif memang menyukai Yuli,
dan Yuli sendiri diam-diam sudah mencintai pemuda
itu. Perhatian latif selama ini telah membuatnya
begitu tersanjung, bahkan dia merasa latif lah orang
yang pantas menjadi kekasihnya.
latif tampak masih mengatur persiapan pesta, sekarang
dia sedang memberikan sentuhan terakhirnya.
Serangkai mawar yang begitu manis tampak
diletakkannya di atas meja, kemudian disusul dengan
sebotol sampanye yang juga diletakkan di atas meja.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba istri latif yang
bernama Maemi datang ke rumah itu. Dia sengaja
datang untuk mengabarkan sebuah kabar gembira
kepada suaminya, sekaligus ingin menghadiri resepsi
pernikahan temannya yang ada di Jakarta.
"Wah! Mau ada pesta rupanya," kata Maemi
kepada suaminya yang saat itu tidak menyadari
kedatangannya.
"Eh... kau, Sayang… Kok tidak bilang-bilang kalau
mau datang?" tanya latif yang sedikit terkejut akan
kehadiran istrinya yang begitu tiba-tiba.
"Aku mau memberi kejutan untukmu, Sayang…"
jawab Maemi.
"Kejutan... apa itu?" tanya latif penasaran.
"Ini…" kata Maemi sambil menyodorkan selembar
surat.
latif segera mengambil surat itu dan mulai
membacanya, "Apa! Kau hamil…" katanya terkejut.
"Benar, Sayang… Kau senang kan mendengar
kabar ini?" tanya Maemi sambil tersenyum dan
memegang tangan suaminya dengan lembut.
"Tidak!!! Aku belum siap untuk menjadi seorang
ayah. Kenapa kau tidak memberitahuku kalau ingin
memiliki bayi? Pantas akhir-akhir ini kau sering
pergi ke dokter, rupanya ini… Huh! Menyebalkan,"
kata latif dengan nada marah.
"Maaf, Sayang...! Selama ini aku memang sudah
mendambakan seorang bayi. Begitu ada dokter yang
sanggup menyuburkan kandunganku, aku pun tidak
mau menyia-nyikannya. Semula kupikir kau pun akan
senang, tapi ternyata aku keliru. Kenapa kau tidak
mau mengerti perasaanku, latif ...? Kenapa?" tanya
Maemi dengan nada memelas.
"Pokoknya aku tidak mau punya bayi, titik... dan
kau harus menggugurkan kandunganmu itu
secepatnya!"
"Tidak, latif ! Aku tetap akan memelihara bayi di
kandunganku ini," kata Maemi sambil menitikkan air
matanya.
"Maemi, Dengar!! Kalau kau tetap mau menjadi
istriku, kau harus mau menggugurkan kandunganmu
itu!"
"Kenapa kau berkata semudah itu, latif . Kenapa??"
tanya Maemi dengan nada yang meninggi. "Apakah
kau memang sudah memiliki yang lain?" tanyanya
lagi.
"Apa maksudmu?" tanya latif .
"Kau memiliki wanita simpanan kan? Lihat ini!"
kata Maemi sambil menunjukkan rangkaian buka
mawar dan mengambilnya. "Kenapa kau membuat
ruangan ini begitu romantis? Kau hendak
mengundang seorang wanita kan?" kata Maemi lagi
sambil mencampakkan rangkaian mawar yang ada di
genggamannya, kemudian melangkah meninggalkan
ruangan itu.
"Maemi tungguuu…" latif berusaha mencegah,
namun Maemi tidak peduli, dia terus melangkah
menjauhi suaminya.
latif yang tidak bisa mencegah kepergian istrinya
hanya bisa mematung sambil menatap kepergiannya,
kemudian dia terduduk di sofa dengan segala
kegundahan di hatinya. Sementara itu, Maemi yang
baru saja keluar dari pintu depan tiba-tiba
menghentikan langkahnya, sedangkan kedua
matanya tampak memperhatikan Yuli yang sedang
melangkah ke arahnya. "Hmm ini rupanya wanita
itu…" duga Maemi dalam hati.
"Selamat malam," sapa Yuli kepada Maemi.
"Malam," balas Maemi ketus. "Heh, dengar ya
wanita jalang! Kau tidak akan bisa hidup bahagia
bersama latif , suatu saat kau pun akan bernasib
sama seperti aku—dicampakkannya seperti sampah.
Kalau kau mau tahu, aku ini istrinya latif yang sengaja
datang dari Tokyo untuk memberitahukan tentang bayi
di kandunganku ini. Dan demi kau dia malah
menyuruhku untuk menggugurkannya."
"Maaf! Sebenarnya apa maksud semua
perkataanmu itu?" tanya Yuli bingung.
"Heh! Kau masih juga belum mengerti. Bukankah
kau wanita simpanan latif ? Sudahlah… kau tidak
perlu mungkir! Kau memang lebih cantik dari aku,
pantas kalau dia lebih menginginkanmu ketimbang
aku," jelas Maemi sambil berpaling dari pandangan
Yuli dan bergegas pergi.
"Hai… tunggu! Aku benar-benar tidak mengerti,
kenapa kau menuduhku sebagai wanita simpanan?"
tanya Yuli agak kesal.
Maemi tidak mempedulikannya, dia terus saja
melangkah pergi. Sementara itu, Yuli cuma terpaku
menatap kepergiannya, kemudian dia melangkah
menuju ke pintu depan. latif yang mengetahui
kedatangannya segera keluar dan mempersilakannya
masuk. sekarang keduanya sudah melangkah menuju ke
ruang tengah.
"latif , siapa wanita tadi?" tanya Yuli tiba-tiba.
"O… dia itu rekan bisnisku," jawab latif
berbohong.
227
"Benarkah?" tanya Yuli ragu.
"Benar, Yul. Sebenarnya tadi dia sengaja datang
untuk mengajakku makan, dan saat aku menolak
karena sudah ada janji denganmu, mendadak raut
wajahnya berubah. Aku pun tidak mengerti kenapa
tiba-tiba dia menjadi seperti itu, sepertinya dia tidak
senang dengan keputusanku."
"Apakah kau ada hubungan khusus dengannya?"
tanya Yuli menyelidik.
"Maksudmu?"
"Apakah kau dan dia menjalin hubungan selain
urusan bisnis."
"Tidak, selama ini aku dan dia murni hanya
sebagai rekan bisnis saja."
"Mungkinkah dia mencintaimu?"
"Entahlah... aku juga tidak tahu. Kalau memang
benar begitu, aku bisa mengerti jika dia tiba-tiba
menjadi seperti itu. Sudahlah Yul, kita lupakan saja
perihal dia! Nanti aku akan bicara padanya dan
menjernihkan semuanya."
Tak lama kemudian, keduanya sudah tiba di ruang
tengah. "Silakan duduk Yul!" pinta latif ramah.
"Ngomong-ngomong, sebenarnya ada apa sih?"
tanya Yuli semakin penasaran begitu melihat ruangan
itu tampak begitu romantis.
"Selamat ya, atas keberhasilanmu sebagai pemain
piano terbaik tingkat Nasional," kata latif sambil
mencium pipi kiri dan kanan Yuli.
sesudah itu, Yuli tampak menatap latif dengan
mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih, latif ... kau
sungguh perhatian dan begitu baik padaku. Orang
tuaku saja tidak peduli dengan semua itu," katanya
haru.
"Sudahlah...! Bukankah kau sahabatku," kata latif
sambil membuka sebotol sampanye dan
menuangkannya pada dua buah gelas yang sudah
dipersiapkan, kemudian mereka bersulang merayakan
kesuksesan itu. Raut wajah Yuli tampak begitu ceria,
dan dia sangat bersyukur karena memiliki sahabat
sebaik latif .
"Tunggu ya, Yul! Aku mau ke kamar sebentar,"
pamit latif tiba-tiba.
Yuli mengangguk, sejenak dia memperhatikan
kepergian latif yang sudah melangkah ke kamarnya.
Sambil menunggu, Yuli tampak merenungi kejadian
saat bersama Maemi tadi. Dia benar-benar masih
saja bingung dengan perihal itu, "Hmm... sebenarnya
siapa wanita tadi, kenapa dia mengaku sebagai istri
latif dan menuduhku sebagai wanita simpanan?
Mungkinkah dia memang mencintai latif ? Dan dia
berkata demikian lantaran cemburu karena latif lebih
mementingkan kehadiranku. Jika memang demikian,
aku bisa memakluminya. Tapi kalau latif berbohong,
berarti wanita itu memang benar-benar istrinya? Ah,
sudahlah... aku percaya kalau latif telah berkata jujur,
selama ini kan dia telah begitu baik padaku."
sekarang Yuli tampak mengeluarkan koin emas yang
selama ini masih menjadi misteri, kemudian
mengamatinya dengan begitu seksama. Saat itu dia
masih belum mengerti kenapa kakeknya berpesan
untuk menjaga koin emas itu, "Sebenarnya... apa
keistimewaan koin ini ya?" tanya Yuli membatin.
Sementara itu di dalam kamar, latif tampak
sedang membuka laci lemari. Rupanya dia sedang
mengambil hadiah yang akan diberikan kepada Yuli.
Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara wanita
memanggil, "latif … latif ii...!" panggil wanita itu
dengan suara yang terdengar parau.
"Siapa kau?" tanya latif sambil celingukan
mencari asal suara itu, "Di-di mana kau?" tanyanya
lagi.
"Aku di sini, latif ," jawab orang yang memanggil.
latif segera memalingkan wajahnya ke arah asal
suara itu, dan betapa terkejutnya dia saat melihat
sosok martini sedang berdiri di sudut ruangan sambil
tersenyum dingin.
"Ka-kau! Kenapa kau ma-ma-masih
menggangguku?" tanya latif ketakutan.
"Maafkan aku, latif ! Aku terpaksa datang
menemuimu lagi. Sebenarnya kedatanganku hanya
untuk menyampaikan sebuah permintaan, dan kau
tidak perlu takut karenanya," kata sosok wanita itu.
"Pe-pe-permintaan...? Permintaan apa itu?" tanya
latif masih saja ketakutan.
Kemudian sosok wanita itu segera mengatakan
permintaannya, dia menghendaki agar latif mau
menjelaskan perihal jati dirinya kepada martini , yaitu
bahwa dia telah memiliki istri dan selama ini cuma
mempermainkan martini saja.
"Ti-ti-tidak! Itu tidak mungkin," tolak latif .
"Kenapa, latif ???" tanya sosok wanita itu dengan
kening berkerut.
"Pokoknya a-a-aku tidak mau. Aku tidak mungkin
mengatakan hal itu."
"Kurang ajar!!! Dasar banci…!!!" teriak sosok
wanita itu sambil melayangkan sebuah vas keramik
dan menjatuhkannya tepat di depan kaki latif .
Sementara itu, Yuli yang sedang mengamati koin
emasnya sesaat terkejut—dia benar-benar sangat
kaget mendengar suara pecahan itu. Kemudian
sambil tetap memegang koinnya, Yuli segera naik ke
lantai atas untuk memeriksa, dan tak lama kemudian
dia sudah berada di kamar latif . "Ada apa, latif ?" tanya
Yuli sambil melihat pecahan vas yang berserakan.
latif tidak bicara, dia masih terus menatap sosok
martini dengan penuh ketakutan. Melihat latif seperti
itu, Yuli tampak semakin heran, kemudian dia segera
memandang ke arah pemuda itu melihat. Betapa
terkejutnya Yuli saat melihat sosok martini sedang
menyeringai di sudut ruangan. Tak ayal, Yuli langsung
tergeletak pingsan. Bersamaan dengan itu, koin emas
yang ada di genggamannya tampak menggelinding ke
arah sosok martini dan berhenti persis di bawah
kakinya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sosok martini
berteriak histeris, terkena sinar keemasan yang tiba-
tiba saja terpancar mengenai tubuhnya. Karena
merasakan hawa panas yang seakan membakar
tubuh, akhirnya sosok martini segera menjauhi koin
tersebut. Mengetahui itu, latif segera memungut koin
emas itu dan langsung mengarahkannya ke hadapan
sosok martini . Tak ayal, sosok martini kembali berteriak
histeris, tak kuasa menahan hawa panas yang
semakin membakar tubuhnya. "Aaah… panaaasss…!"
teriak sosok wanita itu sambil menghilang dari
pandangan.
Melihat itu, latif tampak senang sekali, kemudian
dia tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha! Dengan koin
ini aku akan aman dari arwah sialan itu, dan dia tidak
mungkin bemartini mendekatiku lagi. Ha ha ha...!" kata
latif sambil tertawa terbahak-bahak.
sesudah puas tertawa, latif segera membopong
Yuli dan merebahkannya di atas tempat tidur,
kemudian memandangnya dengan penuh gairah.
"Tidak, ini bukan saat yang tepat. Aku tidak mungkin
melakukannya di saat seperti ini," katanya dalam hati,
kemudian pandangannya segera beralih ke koin yang
berada di genggamannya.
latif masih terus mengamati koin yang
membuatnya begitu takjub. Pada saat itu, tiba-tiba Yuli
tersadar dari pingsannya. Dia tampak duduk di atas
tempat tidur sambil mengamati sekelilingnya, "Di-di-di
mana arwah tadi?" tanyanya dengan raut wajah yang
masih tampak ketakutan.
"Tenang Yul, arwah itu sudah pergi—dia tak kuasa
menghadapi koin ini," jelas latif sambil menyerahkan
koin itu kepadanya.
"Koin ini bisa mengusirnya?" tanya Yuli seakan
tidak percaya, kemudian dia mengamati koin yang sekarang
berada di telapak tangannya.
"Benar, Yul. Sepertinya arwah itu merasa
kepanasan bila berdekatan dengan koin itu."
"Ngomong-ngomong... kenapa arwah itu
mendatangimu, latif ?"
"Entahlah… aku juga tidak tahu, kenapa arwah itu
selalu mendatangiku. Padahal, aku tidak pernah
berbuat macam-macam," kata latif merahasiakan
kejadian sesungguhnya.
"Kalau begitu, sebaiknya koin ini kau pegang saja!
Dengan demikian arwah itu tidak akan
mengganggumu lagi," kata Yuli sungguh-sungguh.
Sosok martini yang mendengarkan percakapan
mereka dari kejauhan tampak begitu geram—dia
235
kesal sekali melihat latif yang sengaja membodohi
Yuli agar bisa memiliki koin tersebut.
besok siangnya cuaca tampak cerah. Di sebuah
jalan yang macet, kendaraan tampak merayap
dengan perlahan. Suaranya yang bising menambah
kejengkelan martini yang saat itu baru saja pulang
sekolah. Di tambah lagi dengan asap hitam yang
tampak mengepul dari knalpot sebuah bis kota tua
yang tak terawat.
sekarang martini sedang duduk di sebuah halte yang
cukup ramai, menunggu bis kota yang akan
mengantarnya pulang. Sejenak dia memperhatikan
orang-orang di sekitarnya, dilihatnya beberapa orang
penumpang tampak naik-turun bis, tak ketinggalan
para pedagang asongan dan pengamen yang
mencoba mencari peruntungan.
"Blok-M Blok-M. Ayo, kosong... kosong...!"
terdengar suara kondekturnya yang berteriak keras.
E
martini tertawa mendengar kataan kondektur itu,
walaupun dia sudah sering mendengarnya. Namun
kalau dipikir-pikir, lucu juga kalau bis yang sudah
penuh masih juga dibilang kosong.
martini masih duduk menunggu, dalam hati dia mulai
merasa resah. "Aduh, kok lama sekali sih," keluhnya
sambil bangkit berdiri, kemudian matanya kembali
memperhatikan setiap bis yang mendekat.
sesudah lama menunggu, akhirnya bis yang
dinantikannya tiba. Melihat itu, martini segera beranjak
bangun dan bergegas naik. Pada saat yang sama, si
Kondektur terlihat membantunya untuk menaiki bis
yang terlihat sudah penuh sesak. "Lumayan bisa
pegang-pegang cewek cantik," kata si Kondektur
dalam hati.
Bis kota kembali melaju, bersamaan dengan si
Kondektur yang mulai menagih ongkos penumpang.
"Cring… cring… cring..." terdengar bunyi uang
recehan si kondektur yang memberi tanda kepada
para penumpang yang belum membayar. martini segera
mengeluarkan uang pas dan memberikannya kepada
kondektur itu. Pada saat yang sama, seorang pemuda
tampak beranjak dari duduknya dan mempersilakan
martini duduk.
"Terima kasih! Saya bisa berdiri kok!" tolak martini
kepada pemuda itu.
"Duduk saja, Dik! Sebentar lagi saya akan turun,"
jelas pemuda itu.
"Terima kasih ya!" kata martini sambil duduk di
samping seorang ibu yang sedang menggendong
bayinya.
martini tampak memperhatikan bayi itu, dilihatnya
bayi itu sedang tertidur pulas, wajahnya yang lucu
tampak begitu polos. Bayi yang belum memiliki
dosa itu terjaga sesaat, kemudian matanya yang
jernih tampak menatap martini dengan penuh tanda
tanya. Tak lama kemudian, Bayi itu kembali terlelap.
martini terus memperhatikan bayi itu, sementara itu
ibu si Bayi tampak memandang martini sambil
tersenyum. "Pulang sekolah, Nak?" tanyanya
membuka pembicaraan.
"Iya, Bu," jawab martini sambil tersenyum. "Berapa
usianya, Bu?" tanyanya kemudian.
"Empat bulan," jawab si Ibu ramah.
martini tampak memperhatikan bayi itu lagi,
"Namanya siapa, Bu," tanya martini sambil mengusap-
usap kepala bayi itu dengan penuh kasih sayang.
"Rina Dewina," jawab si Ibu.
"Benarkah!" kata martini seakan tidak percaya.
"Namanya mirip sekali denganku, Bu. Cuma beda
sedikit saja" jelas martini kemudian.
"Memangnya namamu siapa, Nak?" tanya si Ibu.
"Namaku martini Dewina, Bu."
"Benarkah! Kalau begitu, namamu memang mirip
sekali dengan nama putriku," kata si Ibu sambil
tersenyum.
martini segera membalas senyuman itu dengan rona
merah di wajahnya. Dan tak lama kemudian,
keduanya sudah kembali berbincang-bincang.
Mereka terus berbincang-bincang selama
perjalanan, hingga akhirnya bis itu tiba di tempat
tujuan. Mengetahui itu, martini segera pamit kepada si
Ibu yang ternyata sangat baik kepadanya.
sesudah turun dari bis, martini langsung membeli
nasi bungkus di tempat biasa, kemudian pulang ke
rumah dengan menumpang angkot. Beberapa menit
kemudian, gadis itu sudah tiba di rumahnya. Seperti
biasa, suasana di rumah itu terasa begitu sepi.
Maklumlah, sang Ayah memang biasa pulang kantor
sesudah sore hari, dan martini selalu merasa kesepian
karenanya.
sesudah bersih-bersih, martini segera menyantap
nasi bungkus yang baru dibelinya. sesudah itu dia
bergegas untuk mengganti pakaian, kemudian
bergegas ke kamar ayahnya untuk merapikan tempat
itu. Betapa terkejutnya martini saat melihat kamar itu
lagi-lagi sudah ada yang merapikan.
"Ini benar-benar aneh," katanya dalam hati.
"Hmm... sebenarnya apa yang telah terjadi? Semenjak
kematian ibu, selalu saja ada kejadian aneh yang aku
alami. Hmm... apakah Ayah sudah kembali lagi
dengan kesesatannya, kembali bersekutu dengan
setan? Kalau memang demikian, aku takut sekali jika
harus tinggal di rumah ini. Nanti kalau ayah pulang,
akan kudesak beliau untuk mengatakan hal yang
sebenarnya. Kalau beliau tidak mau mengatakannya,
maka dengan berat hati aku akan meninggalkan
rumah ini." sesudah bertekad begitu, martini segera
beranjak ke ruang tamu dan membaca majalah di
tempat itu.
Hari telah menjelang petang. Pada saat itu martini
tampak sudah terlelap di atas sofa. Sementara itu di
area pemakaman, seorang pemuda tampak sedang
berdiri di hadapan nisan martini . sekarang pemuda itu
sedang meletakkan koin emas di atas pusara makam.
Pada saat yang sama, tiba-tiba saja dari dalam
makam terdengar jerit rintih kesakitan. Sementara itu,
pemuda yang bernama latif tampak tersenyum sinis
mendengar rintihan yang begitu memilukan. Rupanya
pemuda itu beniat membinasakan sosok martini yang
selama ini sudah mengganggunya.
"Hai!!! Apa yang sedang kaulakukan???" Teriak
seseorang menegurnya.
Sesaat latif terkejut sambil menoleh ke asal
suara, saat itu dia melihat seorang kakek yang
tampak tergesa-gesa menghampirinya. Mengetahui
itu, latif segera mengambil koinnya dan berlari
tunggang-langgang.
Sang Kakek yang ternyata juru kunci di
pemakaman itu tak kuasa untuk mengejar, dia cuma
terpaku sambil memperhatikan kepergian pemuda itu
dengan seribu tanda tanya. sekarang Kakek itu sudah
berlatif ngkok di sisi makam martini sambil membuka
penutup botol air mawar yang dibawanya. sesudah
melakukan itu, sang kakek tampak berdoa dengan
khusuknya.
Sementara itu di tempat lain, soebandrio terlihat baru
saja pulang dari kantor. sekarang dia sedang berada di
teras depan dan mulai memasuki rumahnya. saat
baru saja melewati ambang pintu, dilihatnya martini
sedang tertidur pulas di atas sofa. soebandrio cuma
geleng-geleng kepala melihat putrinya tertidur di
tempat itu, lalu dia segera duduk di sisinya.
sekarang soebandrio sedang memandangi wajah putrinya
yang tampak begitu damai, kemudian membelai
kepalanya dengan penuh kasih sayang. Mendadak
martini terjaga, "Ayah…" katanya sambil menatap
ayahnya yang tampak tersenyum tipis, kemudian dia
segera duduk di sisi beliau.
"martini , apakah kau masih mengantuk, Sayang...?"
tanya soebandrio . "Kalau kau masih mengantuk,
sebaiknya pindah saja ke tempat tidur!" sambungnya
kemudian.
"Tidak, Ayah. martini sudah tidak mengantuk," jawab
martini sambil merenggangkan persendiannya.
"Ya sudah… kalau begitu sekarang kau mandi!
Ayah mau beristirahat di sini. O ya, tolong ambilkan
Ayah minum, Sayang…!" pinta soebandrio kepada
putrinya.
martini segera menurut. sesudah memberikan
segelas air bening kepada ayahnya, martini langsung
bergegas mandi. Sementara itu, soebandrio tampak
duduk bersantai untuk melepaskan lelahnya. Saat itu
hembusan angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela
yang terbuka.
Beberapa menit kemudian, martini yang sudah
selesai mandi tampak duduk di sisi Ayahnya,
kemudian mulai membuka pembicaraan. "Yah, martini
mau meminta penjelasan Ayah!" pintanya dengan
wajah yang serius.
"Penjelasan apa, Sayang...?" tanya ayahnya.
"Penjelasan tentang perihal keanehan yang
selama ini terjadi di rumah kita. martini merasa, selama
ini Ayah selalu menutup-nutupinya. Sekarang martini
ingin mendengarkan penjelasan dari Ayah, apa yang
sebenarnya telah terjadi di rumah ini?"
"Aduh, martini ... sebaiknya kau lupakan saja semua
itu! Mulai saat ini sebaiknya kau memikirkan masalah
sekolahmu saja, biarlah semua keanehan yang
kaubilang itu Ayah sendiri yang menyelesaikan!"
"Baiklah, Ayah. martini tidak akan bertanya lagi soal
itu, sekarang martini mau belajar dahulu . Bukankah tadi
Ayah bilang, martini harus memikirkan tentang urusan
sekolah."
"Nah... itu baru anak Ayah. Ayah senang sekali
jika kau mau menuruti apa yang Ayah katakan."
"Sudah ya, Ayah! Sekarang martini mau belajar
dahulu ," kata martini sambil melangkah pergi.
Malam harinya, di sebuah rumah yang tampak
megah, sesosok tubuh bergaun putih tampak
melayang mendekati jendela kamar yang tertutup.
Itulah jendela kamar Yuli yang terletak di lantai atas.
Pada saat itu, Yuli terlihat sedang asyik bersandar di
atas tempat tidurnya. Membaca majalah sambil
mendengarkan tembang manis yang mengalun
merdu.
saat sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba
dia dikejutkan oleh suara ketukan di jendela kamar.
Sesaat Yuli menatap ke arah jendela, kemudian
segera beranjak untuk memeriksanya. Gadis itu
tampak membuka kaca jendela dan memperhatikan
sekitarnya dengan penuh seksama. Bersamaan
dengan itu, hembusan angin dingin terasa menerpa
wajahnya. Yuli menggigil, merasakan hawa dingin
yang begitu menusuk kulit.
Yuli terus memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Sementara itu di benaknya timbul segala pertanyaan
yang membuatnya sedikit bingung, "Apa benar yang
kudengar tadi? Masa iya ada orang usil yang mau
mengetuk jendela kamarku. Kamar ini kan terletak di
lantai atas. Tapi, sepertinya tadi aku memang benar-
benar mendengar suara ketukan. Jangan-jangan..."
Sesaat itu juga Yuli merinding, lalu dengan
segera menutup jendela kamarnya rapat-rapat. sekarang
gadis itu sudah kembali bersandar di tempat tidur
sambil membuka majalahnya kembali. Baru saja dia
membaca sebentar, tiba-tiba suara ketukan kembali
terdengar. Kali ini suara itu berasal dari balik pintu
kamarnya. Yuli segera memusatkan pendengarannya
ke arah pintu. Tiba-tiba suara itu kembali terdengar,
tapi kali ini terdengar agak pelan dari yang tadi.
Karena pendengarannya terganggu, Yuli segera
mematikan stereo set-nya dan kembali memusatkan
pendengaran, namun suara itu tak terdengar lagi.
Karena penasaran, akhirnya Yuli beranjak ke pintu
dan membukanya dengan perlahan, kemudian
mengintip ke luar dengan hati-hati sekali. "Aneh...
tidak ada siapa-siapa," katanya dalam hati.
Akhirnya Yuli tidak mempedulikannya. Dia kembali
menutup pintu dan melangkah ke tempat tidur,
kemudian menyalakan stereo set-nya lagi. sekarang suara
musik kembali mengalun merdu. Bersamaan dengan
itu, Yuli tampak bersiap-siap untuk bersandar kembali
di tempat tidurnya. Namun belum sempat dia
bersandar, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar.
"Siapa sih!" serunya sambil menatap ke arah pintu
dengan wajah yang begitu kesal.
Tok Tok Tok! suara itu kembali terdengar.
"Maaang! Kau ya? Sudah deh jangan suka usil!
Nanti kalau aku sudah marah betulan, kau akan tahu
akibatnya!" teriak Yuli kepada orang yang dikira
pembantunya.
Selama ini Yuli memang sudah cukup bersabar
menghadapi pembantunya yang selama ini memang
suka diberi hati, tapi selalu minta kepala itu. Selama
ini dia memang sering dibuat kesal dengan segala
tingkah-lakunya yang kadang-kadang menjengkelkan.
Tapi karena pembantunya itu baik dan jujur, Yuli tetap
mempertahankannya.
Tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Kali ini
Yuli sudah benar-benar marah, lantas dengan segera
dia beranjak bangun dan membuka pintu kamar
dengan tiba-tiba.
"A-apa!" seru Yuli terkejut saat mengetahui di
depan pintu tidak ada siapa-siapa. "Aneh... tidak
mungkin Mang Udin bisa lari secepat itu. Dia kan
bukan orang sakti. Lalu, siapa ya?" tanya Yuli
keheranan.
Lantas dengan diselimuti perasaan takut, Yuli
terus memperhatikan ke sekelilingnya. Kedua
matanya tampak waspada memandang ke setiap
sudut ruangan, melirik kesana-kemari—mencari orang
yang telah mengetuk pintu kamarnya. Keheningan
malam membuat Yuli semakin takut, namun
keingintahuannya yang besar memaksa dia untuk
membemartini kan diri. Sambil terus waspada dia mulai
melangkah, kemudian menuruni anak tangga dengan
hati-hati sekali. Setibanya di lantai bawah, Yuli
langsung melangkah ke dapur dengan perlahan. Dia
menduga orang tadi pasti bersembunyi di tempat itu.
Yuli terus melangkah. Tiba-tiba dia mendengar
ada langkah kaki yang membuntutinya, lalu dengan
segera dia menoleh ke belakang. Ternyata di
belakangnya tidak ada siapa-siapa. Mengetahui itu,
sesaat Yuli bergidik sambil mempercepat langkah
kakinya.
sekarang gadis itu sudah berada di ruangan dapur dan
langsung mengamati ruangan itu dengan penuh
seksama. Bersamaan dengan itu, di belakangnya
melintas sesosok tubuh dengan gaun putih yang
berkibar-kibar. Namun Yuli tidak mengetahui hal itu,
dia terus memeriksa ruang dapur dengan penuh rasa
was-was. sesudah dirasa cukup, Yuli berniat untuk
memeriksa ruang tamu. Namun belum sempat dia
melangkah, tiba-tiba sesosok tubuh putih meluncur
turun dari atas lemari dan berdiri tepat di hadapannya.
Sesaat Yuli terkejut, jantungnya pun langsung
berdebar kencang. "Aduh Kitty, kau mengagetkanku
saja. Sini pus…!" Panggil Yuli kepada sosok putih
yang ternyata kucing kesayangannya.
Yuli segera menggendong kucing itu dan
membawanya ke ruang tamu. sekarang dia sudah berada di
ruangan itu dan sedang menatap ke arah jam dinding
yang dilihatnya sudah menunjukkan pukul 24.00. Pada
saat yang sama, tiba-tiba kucing yang ada di
gendongannya tampak menggeram, rupanya dia
mengetahui kehadiran sosok martini yang sekarang berada di
ruangan itu.
Yuli yang mengetahui kucingnya menggeram
seperti itu menjadi sangat heran, "Ada apa pus?"
tanyanya sambil membelai kepala kucing itu dengan
lembut. Betapa terkejutnya Yuli saat kucing itu tiba-
tiba meronta dan akhirnya melarikan diri ke arah
dapur.
sekarang Yuli tampak mengawasi sekelilingnya dengan
penuh rasa was-was, kedua bola matanya terus
bergerak memperhatikan keadaan ruangan yang
tampak begitu hening. Tiba-tiba bulu kuduk Yuli
berdiri, dia teringat cerita temannya yang mengatakan
kalau hewan sangat sensitif dengan yang namanya
makhluk halus, apalagi pada malam Jumat seperti
sekarang—dimana menurut kepercayaan sebagian
orang, kalau malam Jumat adalah saatnya makhluk-
makhluk itu bergentayangan.
Lantas dengan perasaan takut yang semakin
berkembang, akhirnya Yuli berlari ke kamar dan
mengunci pintunya rapat-rapat. saat dia akan
merebahkan diri di tempat tidur, tiba-tiba dia melihat
sepucuk surat tampak tergeletak di atas seperainya
yang berwarna biru. “Hmm… siapa yang meletakkan
surat ini?” tanya Yuli sambil mulai membacanya.
Betapa terkejutnya Yuli saat mengetahui isi surat
itu, sesaat bulu kuduknya langsung merinding. Di
dalam surat itu, sosok martini menjelaskan semua jati
dirinya, dia juga menjelaskan mengenai jati diri latif
dan mengungkapkan semua kebusukan pemuda itu.
Selain itu, dia juga meminta kepada Yuli agar bersedia
mengungkapkan jati diri latif kepada martini .
"Ra-martini … ja-jadi yang mengetuk-ngetuk pintu
tadi arwah ibunya martini ." Yuli kembali bergidik.
"Hmm... jadi selama ini latif telah membohongiku.
Ternyata martini itu bukan sepupunya, tapi kekasihnya.
Tapi... kenapa aku yang diminta oleh ibunya untuk
mengungkapkan jati diri latif ?" tanya Yuli sambil
berpikir keras. "Hmm... apakah latif memang sebusuk
itu? Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia
sudah memiliki istri di Tokyo. Tapi... apakah
semua yang dikatakan arwah martini dalam surat itu
benar adanya? Mungkinkah Arwah itu mencoba
memperalatku dengan cerita bohong yang
membuatku terpaksa mengambil koin emas itu?"
Tiba-tiba Yuli teringat dengan peristiwa di depan
rumah latif , kemudian dia segera menghubungkan
peristiwa itu dengan perkataan sosok martini di
suratnya. "Ya… rasanya memang latif telah
membohongiku, aku rasa wanita itu memang istrinya,"
kata Yuli menyimpulkan. "Kalau begitu, besok aku
akan meminta kembali koin milikku itu. Terus terang,
aku tidak rela jika koin itu digunakan untuk melindungi
pria busuk seperti dia."
saat Yuli hendak merebahkan diri, tiba-tiba dia
melihat sebuah bayangan putih yang sekejap melintas
di balik jendela. Saat itu Yuli benar-benar terkejut
saat melihatnya, namun begitu dia mencoba
membemartini kan diri dengan tetap menatap ke luar
jendela. Lama juga dia menatap, namun hal aneh
yang diperkirakannya akan muncul sama sekali tidak
terjadi.
sekarang Yuli sudah merebahkan diri. Sejenak matanya
melirik ke arah pintu, dan sesekali menatap ke arah
jendela. Karena khawatir sosok martini melintas lagi,
akhirnya dia segera menutup gorden jendelanya
rapat-rapat. sesudah itu dia kembali merebahkan diri
sambil bersembunyi di balik selimutnya.
Yuli mencoba untuk tidur, namun dia tidak bisa
tertidur sama sekali. Pikirannya terus menerawang
entah ke mana. Sampai akhirnya dia bisa tertidur
saat hari sudah menjelang Subuh. Pada saat itu dia
sudah benar-benar mengantuk, dan saat mendengar
suara orang mengaji di kejauhan dia pun langsung
terlelap. Yuli tertidur dengan selimut tetap menutupi
sekujur tubuhnya.
saat matahari mulai bersinar, soebandrio
dikejutkan oleh sepucuk surat yang dia
temukan di atas meja kecil di samping tempat
tidurnya. Isi surat itu memberitahukan kalau martini telah
pergi meninggal rumah. Mengetahui itu, soebandrio
segera memeriksa kamar martini . sesudah mengetahui
martini tidak berada ditempat tidurnya, yakinlah soebandrio
kalau martini memang telah minggat.
Hari ini soebandrio terpaksa tidak masuk kantor, dia
pergi ke sana-kemari untuk mencari putri tunggalnya
itu. Namun sangat disayangkan, hingga tengah hari
martini belum juga ditemukan. Sementara itu di tempat
lain, Yuli terlihat sedang berada di pelataran parkir.
sesudah memarkir mobilnya dia tidak lekas keluar, tapi dia berbicara dahulu dengan seseorang lewat HP-nya. "latif , nanti malam kau jangan kemana-mana ya! Aku ada perlu denganmu," katanya kepada pemuda yang ada di seberang sana.
"Apa itu, Yul?" tanya latif penasaran.
"Nanti malam saja, latif . Soalnya sekarang aku
tidak bisa lama-lama."
"Baiklah… nanti malam aku akan menunggumu."
"Sudah ya, Bye…" kata Yuli mengakhiri
pembicaraan sambil menyimpan HP-nya.
sesudah itu dia bergegas ke luar dan langsung
menuju ke Salon Kecantikan. Kebetulan hari ini dia
memang mau creambath rutin di tempat itu.
Sementara itu di dalam Salon suasana tampak sedikit
ramai, beberapa orang tampak sedang duduk
menunggu giliran. Di salah satu kursi hias tampak
seorang wanita asing yang sedang ditata rambutnya.
Wanita itu adalah Maemi, dia sedang berhias karena
akan pulang ke Tokyo. Usai berhias, wanita itu duduk
di kursi tunggu sambil mengeluarkan kartu kredit.
Pada saat yang sama, Yuli tiba di tempat itu, dia
duduk di sebelah Maemi sambil membuka majalah
yang dibawanya.
Betapa terkejutnya Maemi saat mengetahui
siapa yang duduk di sebelahnya, "Heh, bukankah kau
wanita simpanan latif ?" tegurnya dengan kening yang
berkerut.
Yuli terkejut mendengar teguran itu, kemudian dia
menoleh ke arah Maemi dengan alis yang sedikit
merapat. "O… kau rupanya, Eh! Dengar ya! Aku ini
bukan wanita simpanan latif . Aku sendiri baru
mengetahui kebusukannya, dia itu memang lelaki
yang perlu diberi pelajaran," jelas Yuli kepada Maemi
sambil meletakkan majalah yang sedang
dipegangnya.
"O… rupanya kau juga baru dicampakkan
olehnya," kata Maemi lagi.
"Tidak, bukan demikian. Aku adalah teman
sekelas latif saat di SMU dahulu , kebetulan selama ini
kami memang berteman baik. Terus terang, semula
aku memang tidak tahu kalau dia sudah memiliki
istri. Yang aku tahu, dia masih sendiri dan belum
memiliki pacar. Tapi, sekarang aku sudah tahu
siapa dia sebenarnya—dia pria beristri yang juga
memiliki pacar bernama martini Dewina. Aku pun
baru mengetahui semua itu dari surat yang diberikan
oleh ibunya martini . Rupanya selama ini dia telah
membohongiku dengan mengatakan bahwa martini itu
sepupunya. Walaupun selama ini dia begitu baik dan
perhatian padaku. Namun bila dia sebusuk itu, aku
tidak sudi berteman dengannya," jelas Yuli panjang
lebar.
"O… benarkah?" kata Maemi seakan tidak
percaya. Lantas dengan wajah yang tampak menyesal
wanita itu kembali berkata, "Kalau begitu... maafkan
aku ya! Terus terang, aku merasa bersalah karena
telah menuduhmu yang tidak-tidak."
"Sudahlah! Aku bisa memakluminya kok—aku
mengerti akan perasaanmu yang diperlakukan oleh
latif secara tidak layak."
"Terima kasih atas pengertianmu. O ya,
kenalkan... namaku Maemi."
"Emm... namaku Yuli, senang berkenalan
denganmu."
"Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... siapa
tadi yang kau bilang sebagai pacar latif ?"
"martini maksudmu?”
"Ya, dia. Kasihan gadis itu, dia pasti tidak
menyadari kalau dirinya sedang dipermainkan oleh
suamiku."
"Kau benar Maemi, dan karenanyalah ibunya
memintaku untuk mengungkapkan jati diri latif yang
sebenarnya. Terus terang, saat ini aku sedang
bingung—aku sama sekali tidak tahu bagaimana
caranya meyakinkan martini ."
"Loh, ibunya kan tahu kalau latif memang
sebusuk itu. Lalu, kenapa tidak dia sendiri yang
menceritakannya?" tanya Maemi bingung.
"Ibunya sudah meninggal, kira-kira sebulan yang
lalu," jawab Yuli polos.
"A-apa??? Ja-jadi…"
"Ya… Arwah ibunya yang memberikan surat itu,"
potong Yuli.
Maemi bergidik sesaat , kemudian dia segera
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Kalau
begitu, berikan saja ini," kata Maemi sambil
memberikan selembar foto kepada Yuli.
Yuli tampak mengamati foto itu sejenak, dilihatnya
sepasang pengantin tampak sedang bergandengan
mesra di depan pelaminan. Mereka adalah Maemi dan
latif yang sedang berbahagia di sebuah pesta
perkawinan. sesudah menyimpan foto itu di dalam
tasnya, Yuli kembali berbincang-bincang dengan
Maemi.
sekarang keduanya tampak sudah semakin akrab,
mereka terus berbincang-bincang hingga pada
akhirnya, "O ya, Yul. Sekarang aku mesti pergi, lain
kali kita bisa berbincang-bincang lagi," pamit Maemi
sambil sun pipi kiri-kanan. "Sampai jumpa lagi ya,
Yul!" katanya kemudian.
Yuli memandangi kepergian Maemi, dia merasa
kasihan melihat wanita yang sedang hamil muda itu.
Baginya latif itu benar-benar biadab, teganya dia
menyuruh istrinya untuk menggugurkan anak
kandungnya sendiri. Namun saat Maemi
mengatakan akan bercerai dengan suaminya, dia
tampak merasa lega. Sebagai seorang wanita, dia pun
akan melakukan hal serupa jika memiliki suami
seperti latif . Tak lama kemudian, tibalah giliran Yuli untuk menikmati jasa pelayan Salon.
Malam harinya, hujan turun rintik-rintik, hembusan angin dingin terasa begitu menusuk kulit. Pada saat yang sama, sebuah sedan mewah tampak berhenti di depan gerbang sebuah rumah megah. sekarang sedan itu mulai melaju melewati gerbang yang pintunya telah
terbuka secara otomatis. Bersamaan dengan itu,
seorang satpam tampak berlari mengikutinya. Dia
terus berlari sambil menggenggam payung di
tangannya. sekarang satpam itu sedang berdiri di samping
mobil sambil menunggu seseorang yang akan
dipinjamkannya payung. Selang beberapa saat,
seorang gadis tampak keluar dari mobil dan langsung
mengambil alih payung yang sedang dipegang oleh
Pak Satpam tadi. Gadis itu ternyata Yuli, sekarang dia
sedang melangkah ke pintu utama yang terletak agak
jauh dari tempatnya memarkir mobil.
sekarang Yuli sudah berada di ruang tengah dan
sedang berbincang-bincang dengan latif . sesudah
berbasa-basi sebentar, akhirnya Yuli mulai
mengatakan maksud kedatangannya. "latif , boleh aku
meminta kembali koinku!" pintanya berharap.
"Kenapa? Bukankah aku memerlukannya untuk
melindungi diri dari arwah sialan itu," tanya latif tidak
senang.
"Sebenarnya aku memerlukannya koin itu, latif .
Kakekku berpesan agar aku selalu membawanya ke
mana pun aku pergi," kata Yuli memberikan alasan.
"Tidak!!! Pokoknya koin ini harus tetap di
tanganku, titik."
Mendengar itu, Yuli langsung mengerutkan
keningnya, lalu keduanya matanya tampak menatap
latif dengan tajam. "Huh! Sekarang aku baru
merasakan sendiri kebusukanmu. Sekarang aku
benar-benar yakin siapa kau sesungguhnya, kau
memang bukan manusia, kau hanyalah seekor
binatang yang tak bermoral. Rupanya waktu itu kau
telah membohongiku agar aku bersimpati dan mau
menyerahkan koin emas itu padamu."
"Ha ha ha…! Kau memang wanita bodoh, Yul.
Selama ini kau mengira aku ini pria baik-baik, kan?
Sebenarnya perhatianku selama ini hanya untuk
membuatmu simpati, dan aku melakukan semua itu
semata-mata ingin mendapatkan dirimu. Selama ini
aku memang sangat menyukaimu, dan aku ingin
sekali menikmati tubuh indahmu itu," kata latif sambil
tersenyum dengan mata penuh birahi.
"Kurang ajar kau, latif !!! Bemartini nya kau berkata
begitu," ujar Yuli sambil berdiri dari duduknya, kedua
matanya tampak melotot tajam.
"Tenang Manis… jangan galak begitu dong!" pinta
latif sambil ikut berdiri. "Ayolah… bukankah lebih baik
kita nikmati malam ini bersama-sama!" ajaknya
kemudian sambil menarik lengan Yuli dan
mendekapnya erat, kemudian dia berusaha untuk
menciumnya.
Mendapat perlakuan itu, Yuli segera meronta dan
menampar pipi pemuda itu dengan begitu keras,
kemudian berdiri menjauh dan menatapnya dengan
sangat marah. Sementara itu latif tampak mengusap-
usap pipinya yang terasa panas, sedangkan kedua
matanya tampak membalas tatapan Yuli dengan mata
yang berapi-api.
"Dasar perempuan sialan!" maki latif sambil
menghampiri gadis itu dan menamparnya dengan
keras sekali. Tak ayal, Yuli langsung terpelanting dan
jatuh di lantai, dari celah bibirnya tampak mengalir
darah segar yang membasahi sebelah pipinya.
Yuli tampak meringis kesakitan, tubuhnya terasa
begitu lemas dan tak berdaya. Melihat itu, latif segera
membopongnya ke kamar atas dan langsung
menjatuhkannya di atas tempat tidur. sekarang pemuda itu sedang berdiri sambil menatap tubuh Yuli dengan begitu bernafsu. Tak lama kemudian dia sudah berlutut di atas tubuh sintal itu, kedua tangannya tampak memegang kedua tangan Yuli dengan begitu erat. Menyadari apa yang akan dilakukan latif , Yuli segera meronta sekuat tenaga, namun perbuatannya itu sia-sia belaka—baginya pegangan latif terasa
begitu kuat. Sebagai wanita yang lemah, hal itu justru akan menghabiskan energinya saja. Akhirnya Yuli menyadari itu, sekarang dia sudah tidak meronta lagi, dia menunggu kesempatan untuk menggunakan sisa tenaganya. Sementara itu latif mulai menciumi leher Yuli, dan Yuli cuma bisa pasrah menerima perlakuan
itu, namun dalam hati dia terus mengumpat atas
kebiadaban pemuda itu.
Karena Yuli sudah tak meronta lagi, akhirnya latif
melepaskan pegangan tangannya, namun kakinya
masih tetap mengapit tubuh Yuli dengan erat. sekarang dia
tampak mengeluarkan koin emas milik Yuli dari dalam
dompetnya. "Sayang… Bukankah kau begitu
menginginkan koin ini," katanya sambil menunjukkan
koin itu kepada Yuli. "Aku janji… sesudah kita
menikmati sorga dunia ini, dan sesudah aku
melenyapkan arwah keparat itu, aku pasti akan
mengembalikan koin ini padamu."
"Tidak!!! Aku tidak akan rela menyerahkan
kegadisanku padamu," teriak Yuli sambil meludahi
wajah pemuda itu.
Mendapat perlakuan itu, latif langsung
menamparnya dengan keras sekali, kemudian
menjambak rambutnya yang panjang sebahu. "Jangan
sekali-kali lagi kau meludahiku Yul! Terus terang aku
bisa membunuhmu karenanya," kata latif sambil
memandangnya dengan begitu murka.
Saat itu Yuli cuma bisa merintih kesakitan, isak
tangisnya pun terdengar cukup memilukan. Yuli cuma
bisa menangis dan menangis, sungguh dia tidak bisa
berbuat apa-apa saat latif mulai membuka kancing
bajunya satu per satu.
latif terus membuka kancing baju Yuli dengan
tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tampak
memainkan koin emas di seputar wajah Yuli. saat
latif hendak melepas kancing baju Yuli yang terakhir,
tiba-tiba sebuah vas bunga melayang dan
menghantam kepala latif dengan kerasnya. Tak ayal,
tubuh latif langsung tersungkur di sisi Yuli.
Bersamaan dengan itu, koin emas yang ada di
genggamannya terlepas sesaat .
Menyadari kesempatan itu, Yuli segera bangun
dan mengambil koin emas miliknya, kemudian segera
berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu,
latif yang baru saja bangkit langsung mengejarnya,
dia melihat gadis itu sedang berlari ke arah tangga
yang menuju ke lantai bawah.
Sungguh sangat disayangkan, Yuli yang masih
dalam keadaan lemah tiba-tiba saja terjatuh. saat
dia baru saja berdiri, tiba-tiba latif sudah memegang
tangannya. "Kau mau ke mana, Sayang...? Bukankah
urusan kita belum selesai," kata pemuda itu sambil
berusaha keras mengambil koin emas dari tangan
Yuli. Saat itu Yuli tampak mempertahankannya
dengan sekuat tenaga, dia tampak
menyembunyikannya di balik punggung.
latif yang sudah kian gelap mata segera mencekik
leher Yuli dengan sekuat tenaga, sepertinya dia sudah
tidak ragu-ragu lagi untuk membunuhnya. Yuli yang
dicekik begitu rupa merasakan nafasnya kian
bertambah sesak, darahnya pun seakan mulai
berhenti mengalir. Dalam keadaan kritis itu, tiba-tiba
sebuah guci melayang dan langsung menghantam
tubuh latif dengan kerasnya. Tak ayal, tubuh pemuda
itu langsung tersungkur bersamaan dengan suara
pecahan guci yang hancur berkeping-keping. Pada
saat yang sama, Yuli tampak terbatuk-batuk,
kemudian dengan segera dia berlari meninggalkan
pemuda itu.
Yuli masih terus berlari—dia berlari sambil
menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Pada
saat yang sama latif sudah berdiri kembali, wajahnya
yang tampan tampak masih meringis kesakitan.
Namun saat dia hendak mengejar buruannya, tiba-
tiba saja sosok martini muncul di hadapannya.
"latif ii…!!!" serunya dengan suara yang begitu parau.
Saat itu latif sangat ketakutan melihat wajah martini
tampak begitu mengerikan. Wajah yang berlumuran
darah itu tampak begitu pucat, kedua bola matanya
tampak mencuat ke luar, sementara itu giginya yang
runcing tampak menyeringai buas.
latif yang masih tampak ketakutan segera mundur
menjauh. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja benda-
benda keramik yang ada di ruangan itu tampak
melayang-layang, kemudian jatuh di sekitar pemuda
itu dengan suara pecahan yang terdengar hingga ke
luar rumah.
latif yang mengalami peristiwa itu tampak
gemetar hebat, wajahnya yang tampan tampak begitu
pucat. "Tolong jangan kauganggu aku, martini ...! Ma-
ma-maafkanlah aku…!" mohon pemuda itu dengan
terbata-bata, sedangkan kakinya terus melangkah
mundur ke langkan.
martini yang sudah begitu murka tidak
mempedulikan kata-katanya, dia terus mendekati
pemuda itu hingga akhirnya tertahan di tepi langkan.
Sementara itu di luar rumah, Yuli tampak sedang
mengendarai mobilnya melewati pintu gerbang.
Wajahnya yang cantik tampak masih terlihat tegang,
namun dalam hati dia bersyukur karena berhasil
melarikan diri dari kebiadaban pemuda yang mau
memperkosanya.
Yuli terus melaju—memacu mobilnya menjauhi
rumah latif . Pada saat yang sama, satpam yang
bertugas di rumah itu tampak berlari memasuki
rumah, dia berniat memeriksa suara pecahan yang
didengarnya saat sedang membukakan pintu untuk
Yuli.
Setibanya di ruang tengah, satpam itu tampak
terkejut. Dilihatnya sang Majikan sedang terjatuh dari
lantai atas. Tubuhnya meluncur cepat dan jatuh
menimpa meja kaca di bawahnya. saat itu latif tewas
sesaat dengan tubuh yang sangat mengenaskan.
Kepalanya pecah dengan kedua mata yang tampak
melotot, sedangkan wajahnya yang terkena serpihan
kaca tampak hancur mengerikan. Dari mulut, hidung,
dan telinganya tampak keluar darah yang terus
mengalir.
Sementara itu di tempat lain, soebandrio tampak
sedang duduk termenung di ruang tamu, dia tampak
begitu sedih karena putri tunggalnya belum juga
ditemukan. "martini , Ayah benar-benar menyesal karena
tidak mau berterus terang kepadamu. Andai saja
waktu itu Ayah mau berterus terang, mungkin saat ini
kau masih bersama Ayah, Nak." soebandrio membatin.
Kemudian dengan perasaan yang teramat bersalah
soebandrio tampak menjambak rambutnya sendiri.
Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba soebandrio mendengar
suara ketukan pintu, kemudian disusul dengan suara
orang yang memberi salam. Mendengar itu, soebandrio
segera membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia
saat melihat siapa yang datang, ternyata yang
datang itu martini beserta seorang ibu yang sedang
menggendong bayi.
Pada saat itu soebandrio langsung memeluk putrinya
dengan penuh rasa haru, "Kau ke mana saja, Nak?
Ayah sudah sangat mengkhawatirkanmu, Sayang..."
tanya soebandrio sambil terus memeluk putrinya.
Sementara itu martini cuma terdiam, dia tidak merespon
pelukan ayahnya sebagaimanamestinya.
"Kau kenapa, Sayang..." tanya soebandrio sambil melepaskan pelukannya, kemudian dia menatap
wajah putrinya yang tampak begitu dingin.
martini tidak menjawab, dia masih diam membisu.
Melihat itu, soebandrio kembali bicara, "O... sekarang
Ayah mengerti. Kau pasti sudah salah paham tentang
Ayah, dan semua itu karena Ayah tidak mau berterus
terang padamu," kata soebandrio sambil membelai
rambut putrinya. "martini ... maafkan Ayah, Nak! Ayah
memang sudah bersalah karena tidak mau berterus
terang, dan Ayah berjanji akan menjelaskan
semuanya itu kepadamu," lanjutnya kemudian.
Mendengar itu, martini merasa sedikit tenang,
namun raut wajahnya masih tetap terlihat begitu
dingin. soebandrio menyadari kalau putrinya masih
belum bisa mempercayainya, kemudian dia berusaha
untuk meyakinkannya sekali lagi. Karena soebandrio
berkata dengan penuh kesungguhan, akhirnya martini
mau mempercayainya. Mengetahui hal itu, soebandrio
terlihat senang, kemudian dia segera mengajak
keduanya untuk masuk, dan tak lama kemudian
mereka sudah duduk di ruang tamu.
sekarang soebandrio tampak sedang berbincang-bincang
dengan si Ibu yang sudah membawa putrinya pulang. Sementara itu, martini terlihat sedang membuatkan
minum. sesudah menyuguhkan minuman yang
dibuatnya, martini tampak melangkah ke teras depan
dan duduk termenung di tempat itu. sekarang dia sedang
memikirkan perihal ayahnya yang sudah berjanji akan
menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pada saat
yang sama, soebandrio masih berbincang-bincang
dengan si Ibu yang ternyata seorang penjual sayur, "O... jadi begitu, Bu," kata soebandrio saat mengetahui
kalau si Ibu mengenal putrinya saat di bis kota, dan
beliau menemukan martini sekitar pukul empat pagi.
"Benar, Pak. Waktu itu kebetulan saya hendak
berangkat untuk belanja sayuran di pasar, dan betapa
terkejutnya saya saat melihat seorang gadis sedang
menangis di pinggir jalan. Pada mulanya saya tidak
mengenali dia, tapi saat saya perhatikan dengan
seksama akhirnya saya mengenalinya. Waktu itu
wajahnya tampak begitu murung. Saat itu saya bisa
merasakan beban berat yang sedang dihadapinya.
Karena saya sudah mengenal siapa martini , saya pun
segera mengajaknya pulang ke rumah. Dan
sesampainya di rumah, saya meminta martini untuk
menceritakan kesusahannya. sesudah martini bercerita,
akhirnya saya bisa mengetahui duduk perkaranya.
Karenanyalah saya merasa berkewajiban untuk
membantunya. Namun saat saya mengajaknya
pulang ke rumah Bapak, martini menolak, dan sesudah
saya bujuk, akhirnya martini mau pulang, namun dengan
syarat saya mau berbicara dengan Bapak agar mau
menceritakan perihal semua kejadian aneh yang telah
martini ceritakan itu. Karena tadi saya dengar Bapak
sudah mau menceritakannya, saya rasa sudah tidak
perlu lagi untuk memintanya. O ya, Pak. Sekarang
sebaik saya pamit pulang! Saya tidak bisa lama-lama
karena suami saya pasti sedang menunggu. Lagi
pula, Bukankah Bapak harus segera menceritakan hal
yang sebenarnya kepada martini ."
"Baiklah, Bu. Sekali lagi saya katakan banyak
terima kasih."
"Sama-sama, Pak. Permisi!" kata si Ibu sambil
beranjak dari duduknya, kemudian melangkah
menghampiri martini yang saat itu masih duduk di teras depan. "martini , kau jangan lari lagi ya, Nak! Kasihan ayahmu, dari tadi pagi beliau sudah mencarimu
sampai ke mana-mana, dan beliau sangat
mengkhawatirkanmu."
martini tampak mengangguk, kemudian memeluk si
ibu sambil mengkatakan banyak terima kasih.
Beberapa saat kemudian, si Ibu tampak sudah
meninggalkan tempat itu. Pada saat yang sama, martini
dan ayahnya tampak duduk berdua di teras depan.
Sesuai dengan janjinya, soebandrio segera
menceritakan peristiwa yang selama ini dipendamnya.
"martini …" katanya dengan lembut. Belum sempat
soebandrio melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar
suara burung di samping rumahnya.
soebandrio dan putrinya langsung memusatkan
pendengaran ke asal suara itu. Pada saat itu martini
tampak terpaku mendengarnya, sedangkan soebandrio
tampak beranjak bangun untuk memeriksa. sekarang lelaki
itu sedang melangkah menuju ke samping rumah
yang tampak begitu gelap. Betapa terkejutnya dia
saat melihat sosok istrinya tampak sedang berdiri di
tempat itu.
"martini …!" seru soebandrio menyapa mendiang
istrinya.
Mendengar ayahnya menyebut nama sang Ibu,
martini sektika terkejut, kemudian dengan segera dia
berlari menghampiri soebandrio dan melihat apa yang
dilihat ayahnya. Saat itu sosok martini sudah tak terlihat
lagi. Saat itu martini tampak heran sambil mengamati ke
sekelilingnya. "Ada apa, Ayah? Kenapa barusan Ayah
menyebut nama Ibu?" tanya martini bingung.
soebandrio memandang martini dengan sorot mata
yang penuh kebimbangan. Namun karena dia sudah
berjanji untuk tidak menutup-nutupinya, maka dia pun
segera berterus-terang, "Nak… Tadi Ayah sedang
menyapa ibumu," jawabnya pelan.
martini tampak terkejut, dia sama sekali tidak
menyangka akan hal itu. sekarang dia menatap mata
ayahnya dengan dahi agak berkerut, "Ja-jadi Ibu…"
"Iya, Nak. Ibumulah yang telah membuat
kejanggalan-kejanggalan selama ini. Dia memang
sering datang untuk menjenguk kita," jelas soebandrio
memotong perkataan putrinya.
Saat itu martini bukannya senang akan kejujuran
soebandrio , tapi justru membuatnya begitu kecewa.
"Tidak mungkin, Ayah… Tidak mungkin!!!" kata martini
sambil memandang ayahnya dengan sorot mata yang
begitu tajam. "Dengar Ayah…! Ibu telah pergi
meninggalkan kita, dan beliau sudah tenang di alam
sana. Beliau tidak mungkin bangkit dari kuburnya dan
menjadi hantu gentayangan. Kenapa Ayah memfitnah
Ibu demi untuk menutup-nutupi perbuatan Ayah?"
lanjutnya tidak mau mempercayai kenyataan itu.
soebandrio kebingungan, dia tidak tahu bagaimana
cara membuktikan hal itu dan membuat putrinya
percaya. sekarang dia melangkah dan mendekap tubuh
martini dengan penuh kasih sayang. "Ayah mengerti
kata-katamu, Nak. Tapi percayalah... selama ini arwah
ibumu memang selalu datang ke rumah kita," jelas
soebandrio sambil membelai-belai rambut putrinya.
Tiba-tiba martini melepaskan diri dari dekapan sang
Ayah dan langsung mundur selangkah, "Ayah bohong!
Ayah tidak mengatakan hal yang sebenarnya," kata
martini lirih.
"Percayalah, Sayang...! Karenanyalah selama ini
Ayah selalu menutup-nutupinya. Dari semula Ayah
sudah bisa menduga kalau kau tidak akan bisa
mempercayainya. Terbukti saat ini kau tidak mau
menerima kenyataan yang sebenarnya, dan semua itu
karena Ayah tidak memiliki bukti yang bisa
membuatmu yakin."
"Apa benar semua yang Ayah katakan itu?" tanya
martini ragu.
soebandrio mengangguk, kemudian melangkah
menghampiri putrinya, "martini ... surat yang kau
tanyakan tempo hari adalah surat dari ibumu,"
katanya kemudian.
"Ja-jadi… surat itu dari Ibu?" tanya martini seakan
tidak percaya.
"Iya, Sayang..." jawab soebandrio singkat.
"Tapi... kenapa Ibu melakukan semua itu?" tanya
martini masih belum mengerti.
"Kalau begitu, mari kita duduk kembali! Ayah akan
menjelaskan semuanya padamu," pinta soebandrio
lembut.
Akhirnya mereka kembali duduk di kursi teras.
Tak lama kemudian, soebandrio mulai menceritakan
perihal kehadiran sosok martini selama ini. Baru saja
dia selesai bercerita, tiba-tiba angin kencang datang
menderu-deru. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh
dengan gaun putih yang berkibar-kibar tampak
melayang turun di muka rumah. sekarang sosok itu tampak
tersenyum kepada mereka berdua. Melihat itu, martini
segera bangkit dan menatapnya dengan mata tak
berkedip.
"I-Ibu…!" Seru gadis itu tiba-tiba.
“Anakku…" sapa martini sambil menatap wajah
putrinya dengan lembut.
"Ibu... martini sayang sama Ibu," kata martini sambil
menitikkan air matanya.
"Ibu juga, Nak... Ibu sangat menyayangimu, dan
Ibu berharap kau juga selalu menyayangi ayahmu," kata sosok ibunya lembut, kemudian dengan serta-
merta dia melayang naik dan hilang sesaat .
"Ibuuu….!!!" panggil martini lirih, kemudian dia
menangis tersedu-sedu.
martini masih saja menangis, saat itu dia tampak
berlari kesana-kemari mencari soosk ibunya itu—
matanya yang basah terus memandang ke segala
arah, sedangkan mulutnya tak berhenti memanggil. Selama ini martini sudah sangat merindukan ibunya, dan
dia merasa begitu kehilangan saat sosok ibunya
pergi dengan begitu tiba-tiba.
soebandrio yang melihat putrinya seperti itu
berusaha untuk menenangkannya, kemudian
memeluknya dengan segenap perasaan sayang. martini
segera membalas pelukan ayahnya dengan sangat
erat—dia berusaha keras untuk melepaskan semua
kesedihannya.
martini terus menangis di pelukan ayahnya, air
matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi
kedua pipinya, "Maafkan martini , Ayah! martini sudah tidak
percaya sama Ayah," katanya lirih.
"Sudahlah Sayang…! Kau tidak perlu meminta
maaf. Ayah maklum kalau kau memang cuma salah
paham," kata soebandrio sambil membelai rambut
putrinya dengan penuh kasih sayang,
"Terima kasih, Ayah…!" kata martini sambil
melepaskan pelukan dan memandang ayahnya
dengan mata yang berbinar-binar.
soebandrio membalasnya dengan sebuah senyum
yang membuat martini merasa begitu damai. Tiba-tiba
saja, di wajah martini tersungging senyum keceriaan.
"Terima kasih, martini … kau telah mengembalikan
Keceriaan putri kita," kata soebandrio dalam hati, kemudian dia segera mengajak putrinya untuk masuk
ke rumah.
sekarang mereka sudah berada di kamar masing-
masing. Saat itu soebandrio tampak sudah terlelap di
tempat tidurnya, sedangkan martini baru saja akan
merebahkan diri. Tak lama kemudian, dia pun terlelap bersama mimpi-mimpinya.
Esok paginya cuaca tampak cerah, burung-burung
terdengar berkicau dengan merdunya. Yuli yang baru
saja bangun tidur tampak sedang merenggangkan
persendiannya, kemudian beranjak bangun dan
membuka jendela. Pada saat yang sama, cahaya
matahari yang hangat menebus masuk menyinari
sebagian ruang kamar. "Oh, segarnya udara pagi ini,"
kata Yuli sambil menghirup udara pagi dalam-dalam.
Tidak biasanya Yuli bangun sepagi ini, biasanya
dia baru bangun sekitar pukul 9.00 WIB. sekarang gadis itu
sudah siap untuk pergi mandi, namun saat sedang
melangkah ke kamar mandi, dia berpapasan dengan
pembantunya yang tampak memperhatikannya
dengan sedikit heran.
"Tumben, Non. Pagi-pagi sudah bangun,"
komentarnya sambil garuk-garuk kepala.
Mendengar itu, Yuli langsung angkat bicara,
"Sudah deh, Mang. Jangan banyak komentar, lebih
baik sekarang kaupersiapkan sarapan untukku!"
pintanya dengan nada kesal.
"Ba-baik, Non," kata pembantunya agak terbata.
Yuli melanjutkan langkahnya. Setibanya di kamar
mandi, matanya langsung tertuju ke arah tulisan di
cermin—tulisan tangan yang ditulis pada cermin yang
berembun. "Yuli, maafkan kalau malam itu aku telah
membuatmu takut! Aku harap kau tidak lupa untuk
pergi menemui martini !" Begitulah bunyi tulisan itu.
Yuli merinding sesaat , dia sadar kalau martini
telah mengingatkannya untuk segera menemui martini .
Lantas dengan perasaan yang masih merinding, Yuli
bergegas mandi. Sesekali matanya tampak was-was
mengawasi sekitarnya, khawatir kalau-kalau sosok
martini masih berada di tempat itu.
Selesai mandi, Yuli langsung berpakaian dan
bergegas menuju ke meja makan. Pada saat yang
sama, pembantunya datang dengan membawakan
sarapan pagi. sekarang si pembantu tampak berdiri si
samping Yuli dengan wajah penuh keingintahuan.
"Memangnya, mau ke mana, Non?" tanyanya sambil
cengengesan.
"Kau ini mau tahu saja," kata Yuli tidak mau
memberitahu.
"Bukan apa-apa, Non! Kalau tuan dan nyonya
bertanya, saya harus jawab apa?" jelas pembantunya.
"Baiklah... bila mereka tanya, bilang saja aku
sedang pergi ke rumah teman!"
"Kalau begitu, baik Non."
Kemudian si pembantu tidak berkata-kata lagi, dia
langsung pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang
lain. Pada saat yang sama, Yuli mulai menikmati
sarapan paginya—sepotong roti bakar dan segelas
susu. Sementara itu di tempat lain, martini dan
soebandrio juga sedang sarapan. Mereka sedang
menikmati singkong rebus yang pagi-pagi sekali
sudah di cabut oleh soebandrio dari kebun belakang.
Selesai sarapan, keduanya tampak bersantai di
teras depan, kemudian mereka mulai berbincang-
bincang. "Yah, sekarang kan hari libur. Bagaimana
kalau kita pergi ke makam ibu?" tanya martini tiba-tiba.
"Hmm... kau merindukannya?" soebandrio balik
bertanya.
"Betul, Ayah. Entah kenapa tiba-tiba martini ingin
mengunjungi Ibu?"
"Kalau begitu, Ayah sih setuju saja. Nah,
bagaimana kalau sekarang kau memetik bunga untuk
keperluan nyekar!" Saran soebandrio sambil mengambil
surat kabar pagi dan mulai membacanya.
Sementara itu, martini tampak bergegas mengambil
keranjang kecil dan langsung melangkah ke
pekarangan samping untuk memetik bunga-bungaan
yang biasa digunakan untuk pergi berziarah.
Beberapa menit kemudian, keduanya tampak sudah
berangkat menuju ke makam martini .
Setibanya di makam, mereka melihat sang Kakek
juru kunci sedang berada di makam tersebut. "Sedang
apa beliau?" tanya soebandrio kepada putrinya.
"Mungkin beliau habis membersihkan makam Ibu,
Yah."
"Kalau begitu, lekas kita ke sana!" ajak soebandrio sambil mempercepat langkah kakinya.
Tak lama kemudian, keduanya sudah berdiri di
belakang sang Kakek. "Selamat pagi, Kek!" kata martini
kepada sang Kakek yang masih saja sibuk
membersihkan makam.
Sang kakek terkejut, kemudian lekas-lekas
menoleh. "Oh kalian," katanya sambil tersenyum.
Kemudian beliau memperkenalkan diri dan
bercerita sedikit tentang jati dirinya. soebandrio dan martini
tampak senang mendengarkan penuturan sang
Kakek. Tak lama kemudian, mereka sudah terlihat
akrab. sekarang mereka sedang menaburkan bunga di atas
makam dan berdoa bersama-sama. sesudah itu,
mereka segera menuju ke makam orang tua martini
dan berdoa di tempat itu.
Selesai berdoa, mereka tampak melangkah
menuju ke pohon kamboja yang cukup rindang. Di
bawah keteduhan pohon itulah, sang Kakek segera
menceritakan perihal sosok martini kepada keduanya.
Pada saat itu soebandrio dan martini tampak
mendengarkan penuturan sang Kakek dengan begitu
antusias.
Dalam ceritanya, sang Kakek menjelaskan kalau
yang melakukan semua kejadian yang mereka alami,
seperti angin besar dan lain-lain bukanlah pekerjaan
martini . Semua itu adalah pekerjaan Qarin martini , jin , pendampingnya yang ingin menyesatkan soebandrio dan martini , dia juga dibantu oleh jin fasik yang memiliki kekuatan besar. Maklumlah, qarin orang beriman sangat lemah, karena ia jarang menyerap energi dari yang didampinginya. Berbeda dengan qarin orang
yang sesat, mereka bisa sangat kuat lantaran sering
menyerap energi dari orang yang didampinginya.
Biasanya qarin hanya diberi izin selama 40 hari
untuk menuntaskan kehendaknya, sebab energi yang
diperlukan untuk berinteraksi manusia sangatlah
besar. Sebenarnya tujuan Jin fasik yang membantu
Qarin martini juga ingin menyesatkan manusia, agar
manusia percaya dengan adanya arwah yang
gentayangan, apa lagi jika manusia sampai
menyediakannya kopi manis dan kopi pahit. Maka jin
fasik akan semakin bertambah kuat. Begitulah lihainya
mereka dalam usaha menyesatkan manusia agar bisa
diserap energinya. Seolah mereka itu berbuat baik
dan menolong, padahal pada hakekatnya justru
menyesatkan.
Selama ini arwah martini sudah berada di alam
barzakh, menunggu hari kebangkitan. Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada arwah yang
gentayangan. Sebab, saat seseorang di kubur dia
akan diminta untuk menjawab pertanyaan malaikat.
sesudah itu, bagi orang yang beriman akan mengalami
tidur panjang, sedangkan mereka yang tidak beriman
akan mengalami siksa kubur.
Bukhari Muslim 1667 Diriwayatkan daripada Anas
bin Malik r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: bila
seseorang hamba dikebumikan di dalam kuburnya
kemudian ditinggalkan oleh kawan-kawannya nescaya
dia akan mendengar bunyi hentakan tapak kasut
mereka. Seterusnya dia akan didatangi oleh dua
malaikat lalu mendudukkannya dan bertanya: Apa
pendapatmu tentang lelaki ini iaitu Nabi Muhammad
s.a.w?. Baginda bersabda lagi: Sekiranya dia seorang
mukmin, nescaya dia akan menjawab: Aku bersaksi
bahawa dia hamba Allah dan pesuruhNya. Lalu
diberitahu kepadanya: Lihatlah tempatmu di Neraka,
sesungguhnya Allah telah menggantikannya dengan
Syurga. Nabi s.a.w bersabda: Dia dapat melihat
kedua-duanya iaitu Syurga dan Neraka
Bukhari Muslim 325 Diriwayatkan daripada Aisyah
r.a katanya: Dua orang perempuan tua dari kaum
Yahudi Madinah telah datang menemuiku. Kedua
perempuan itu berkata: Sesungguhnya ahli kubur
akan di azab dalam kubur mereka. Lalu Aisyah
berkata: Kamu berdua ini penipu dan aku tidak mahu
membenarkan kata-kata mereka itu, maka kedua-dua
perempuan itu meninggalkan aku. sesudah itu
Rasulullah s.a.w datang lalu aku berkata kepada
baginda: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dua orang
perempuan tua dari kaum Yahudi Madinah telah
datang menemuiku dan mereka mengatakan bahawa
ahli kubur akan di azab di dalam kubur mereka. Lalu
Rasulullah bersabda: Memang benar kedua-dua orang
perempuan Yahudi itu akan di azab, hanya binatang
sahaja yang dapat mendengar azab itu. Aisyah
berkata lagi: Aku selalu mendengar Rasulullah s.a.w memohon perlindungan dari azab kubur saat
baginda sembahyang Ketahuilah, bahwa orang yang sudah meninggal akan terputus amalnya, jadi tidak mungkin kembali untuk menolong. Jangankan arwah manusia, Jin fasik
saja, pada hakekatnya tidak akan mampu menolong
manusia, sebab mereka sangat lemah, tentunya jika
tidak ada energi dari manusia yang berhasil
diserapnya. Dan sistem penyerapan energi manusia
ini sudah dirancang sedemikian rupa, yaitu jika ada
manusia yang meminta tolong kepada mereka, maka
manusia akan terserap energinya. Karena itulah tidak
diperbolehkannya manusia meminta tolong kepada
bangsa Jin, sekalipun Jin itu mengaku muslim. Sebab
pada hakekatnya tidak ada Jin muslim yang akan
bersedia membantu manusia, kecuali ia sudah
menjadi fasik. Rasulullah pun pernah ditawarkan
bantuan oleh Jin, namun beliau menolak lantaran
sudah memahami hakikat sejatinya. Sebaik-baiknya
Jin fasik, adalah sejahat-jahatnya manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
menjelaskan: “Banyak di antara mereka yang bisa
terbang di udara, dan setan telah membawanya (ke
berbagai tempat, -pent.), terkadang ke Makkah dan
selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq,
menolak shalat dan menentang perkara-perkara lain
yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
serta menghalalkan segala yang telah diharamkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Begitulah lihainya setan dari bangsa Jin, yang
bersedia membantu manusia karena kekafiran,
kefasikan, dan maksiat yang dilakukannya. Kecuali
bila dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten dalam
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya. (Jika dia demikian,) niscaya setan akan
meninggalkannya dan segala ‘pengaruh’ pada dirinya
akan hilang baik berupa penyampaian berita atau
amalan-amalan lain.
Karena itu janganlah berbangga hati jika bisa
melihat dan berkomunikasi dengan setan dari bangsa
Jin, bahkan bisa mendapat kabar ini-itu, dan juga
memiliki kesaktian yang bisa ini-itu. Ketahuilah,
sesungguhnya semua itu hanyalah tipu daya mereka
guna menyesatkan manusia.
Al Jin 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang
laki-laki di antara manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Ada di antara orang-orang Arab bila mereka melintasi
tempat yang sunyi, maka mereka minta perlindungan kepada jin
yang mereka anggap kuasa di tempat itu.
Al Jin 21. Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak
kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun
kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan."
Surat Al Jin ayat 21 inilah yang seharusnya kita
amalkan, sebab dengan mengamalkan ayat ini pada hakekatnya kita telah menutup pintu dimensi alam jin, yaitu dengan cara tidak sekali-kali berinteraksi dengan mereka. Sebab pada hakekatnya jin tidak kuasa
mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepada
manusia dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.
Begitupun manusia tidak kuasa mendatangkan
sesuatu kemudharatanpun kepada jin dan tidak (pula)
suatu kemanfaatan.
Karenanyalah, jin muslim yang sudah memahami
ayat tersebut tentu tidak mungkin bisa menolong
manusia dengan bentuk apapun, sebab mereka
memang tidak memiliki energi untuk itu. Dan
mereka juga tidak mungkin bisa diperintah, apa lagi
diperbudak oleh manusia.
Pengalaman Surat Al Jin ayat 21 inilah cara
terbaik menghormati kehidupan mereka, yaitu tidak
memberikan kesempatan kepada mereka untuk
semakin menyesatkan manusia. Sudah cukup mereka
merusak kehidupan dunia pada masa yang silam, dan
sekarang adalah kesempatan manusia untuk menjadi
khalifah dengan tanpa melibatkan mereka. Jika umat
manusia sudah banyak yang mengamalkan surat ini,
maka para jin fasik tidak akan memiliki kekuatan
apa-apa untuk mengganggu manusia. Maka dengan
demikian, secara otomatis kehidupan manusia akan
menjadi lebih baik.
Selain itu, untuk menjaga keharmonisan antara
alam manusia dan alam jin (Dalam rangka
mengamalkan Surat Al Jin ayat 21), manusia
diwajibkan untuk senantisa berdoa dan memohon
perlindungan hanya kepada Allah. Dengan memohon
perlindungan kepada Allah, secara tidak langsung
manusia telah membentengi diri untuk tidak
berinteraksi dengan alam jin. Maklumlah, jika ada
manusia yang melempar batu, membuang air panas,
dan lain sebagainya ternyata bisa juga mengenai
bangsa jin. Karenanyalah untuk membentengi
manusia agar tidak lalai menggangu para jin, maka
setiap melakukan berbagai tindakan yang bisa
membahayakan bangsa jin, diharuskan mengkatakan
bacaan basmalah lebih dahulu , dengan maksud agar
perbuatan manusia itu tidak mengenai bangsa jin.
Semua inilah sejatinya cara yang terbaik guna
menghormati bangsa jin agar tidak merasa terganggu
lantaran kecerobohan manusia yang tidak memahami
keberadaan mereka. Bukannya dengan cara
menyediakan ini-itu yang justru membuat mereka
semakin kuat, dan ujung-ujungnya justru semakin
mengganggu kehidupan manusia.
Karena itulah, sudah saatnya kita meninggalkan
budaya yang bisa membuat jin fasik justru bertambah
kuat, yaitu dengan cara mengamalkan kitab suci al-Quran dengan sebenar-benarnya, salah satunya adalah dengan mengamalkan Surat Al Jin ayat 21.
sesudah mendengarkan penjelasan itu, martini dan
soebandrio tampak lega. Segala pertanyaan yang
membingungkan telah terjawab sudah. sesudah
berbincang-bincang sejenak, akhirnya Ayah dan anak
itu kembali pulang ke rumah.
Sepulang dari makam, soebandrio tampak sibuk
mengurus kebunnya yang berada di belakang rumah,
sedangkan martini asyik melamun seorang diri di
kamarnya, dia masih saja memikirkan latif yang
diketahuinya sudah memiliki istri. Sepertinya dia
masih sulit untuk menerima kenyataan itu. Sementara
itu di muka rumah, sebuah sedan tampak memasuki
pekarangan. Tak lama kemudian, pengemudinya yang
ternyata seorang wanita tampak keluar dan
melangkah ke pintu depan. sekarang dia sedang mengetuk
pintu dan mengkatakan salam.
Mendengar itu, martini segera keluar untuk
menemuinya. Saat itu dia tampak terpaku
memperhatikan wajah yang baru pertama kali
dilihatnya. "Maaf! Anda siapa ya? Apa ada perlu
dengan ayah saya?" tanyanya kepada wanita itu.
"Kau martini kan? O ya, kenalkan... namaku Yuli.
Maksud kedatanganku kemari sebenarnya ada perlu
denganmu," jawab wanita itu.
"O... kalau begitu. Ayo... silakan masuk!" tawar
martini ramah.
Yuli segera masuk, tak lama kemudian mereka
sudah berbincang-bincang mengenai latif .
"Benarkah apa yang kau katakan itu?" tanya martini
ragu. "Sebenarnya ayahku pun sudah
menceritakannya, namun di hatiku masih ada sedikit
keraguan," sambungnya kemudian.
"Sekarang kau tidak perlu ragu lagi martini , coba
kaulihat foto ini," kata Yuli sambil memberikan foto
yang waktu itu diberikan oleh Maemi.
sekarang martini tampak memperhatikan foto itu, hatinya
terasa hancur berkeping-keping. Di sisi lain, dia
merasa yakin kalau latif memang pria busuk yang
tidak pantas untuk dicintai. sesudah mereka
berbincang-bincang sejenak, akhirnya Yuli berpamitan
untuk pulang. sekarang martini tengah mengantarkannya
hingga ke muka rumah. "Hati-hati di jalan ya!" kata
martini sambil melambaikan tangan kepada Yuli.
sesudah sedan yang ditumpangi Yuli menjauh,
martini pun bergegas ke teras dan duduk di tempat itu.
Tak lama kemudian soebandrio terlihat datang
menghampirinya. "martini , siang nanti Ayah akan pergi
ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Kau
mau menitip apa, Nak?" tanya soebandrio
"Tidak, Ayah. martini tidak mau menitip apa-apa,"
jawab martini terus terang.
"Ya sudah... kalau begitu ayo kita masuk," ajak
soebandrio kepada putrinya.
"Tidak, Ayah. martini masih mau di sini dahulu ."
"Baiklah... sekarang Ayah masuk dahulu ya," pamit
soebandrio sambil melangkah masuk.
sekarang martini tampak sedang melamun, rupanya dia
sedang memikirkan pria yang waktu itu telah
menggagalkan usaha bunuh dirinya. Siapa lagi kalau bukan aidit , pria yang tiba-tiba saja hadir di dalam benaknya.
Siang harinya soebandrio berangkat ke pasar untuk
membeli beberapa keperluan. Selang beberapa saat,
sebuah sepeda motor terlihat memasuki pekarangan.
sesudah memarkir motornya, pemuda itu langsung
melangkah ke teras, kemudian mengetuk pintu dan
mengkatakan salam.
martini yang mengetahui ada tamu segera
membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia saat
mengetahui siapa yang datang, pemuda tampan yang
sekarang menarik hatinya. Siapa lagi kalau bukan aidit ,
pemuda tampan yang pernah menolongnya. sekarang Yuli
tampak terpaku melihat aidit yang tersenyum
kepadanya.
"Kak aidit !" kata martini seakan tidak percaya.
"Ayo Kak, silakan masuk!" ajaknya kemudian.
sesudah mempersilakan aidit duduk, martini pun
berpamitan untuk membuatkan minum. Sementara itu
aidit tampak sedang melihat-lihat keadaan ruang
tamu, dia melihat sebuah foto keluarga soebandrio . "Hmm… keluarga yang berbahagia," duganya.
Tak lama kemudian martini datang membawakan
minum, dia tampak memperhatikan aidit yang
sedang melihat foto keluarganya. "Itu ayah dan ibuku," jelasnya tiba-tiba. aidit agak terkejut dan segera berpaling. "O… kau, martini . Ngomong-ngomong, di mana mereka?" tanyanya kepada gadis itu. "Ayahku sedang pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan dan akan kembali menjelang malam nanti. Sedangkan ibu…." martini tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak terpaku melihat sosok ibunya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang aidit . Saat itu sosok ibunya tampak tersenyum, seolah-olah memberi isyarat bahwa aidit lah orang yang pantas menjadi kekasihnya. "Ibu…!" seru martini menyapa sosok ibunya. "Iya martini . Ayolah katakan, di mana ibumu! " pinta aidit yang merasa gadis itu terlalu lama menggantung kalimatnya.
martini yang tersadar akan permintaan aidit
segera menjawab, "Oh ya… I-Ibu… sudah sebulan
lebih meninggal dunia," jawabnya sedikit gugup.
"Oh… maafkan aku!" kata aidit menyesal.
martini terdiam sesaat, dalam hati gadis itu terus
bertanya-tanya mengenai arti senyuman sosok ibunya, sebab dia menyadari kalau yang barusan dilihatnya adalah Qarin martini bukan arwah ibunya. Sesungguhnya bisa saja apa yang diisyaratkannya itu adalah kebenaran, namun kebenaran itu akan ditambah dengan seratus kedustaan. Apalagi jika sampai meyasekarang kalau dia adalah arwah jelas akan semakin menyesatkan. sekarang mata gadis itu tampak menatap aidit dengan hangat, kemudian mengajak pemuda itu untuk duduk kembali. Tak lama kemudian mereka, sudah berbincang-bincang dengan begitu akrab. sesudah bosan ngobrol di ruang tamu, mereka segera pindah ke teras depan, kemudian kembali berbincang-bincang di tempat itu. saat sedang asyik-asyiknya ngobrol, mendadak HP aidit berbunyi. Saat itu aidit langsung menerimanya,
"Hallo!" sapanya kepada orang di seberang sana.
"aidit , nanti malam jadi kan kita jalan-jalan?" tanya gadis yang meneleponnya.
"Tentu saja, bukankah kita sudah sepakat," jawab
aidit . "Kalau begitu, sampai nanti ya," kata si Gadis sambil memberikan ciuman jauh.
"Yuli! Tunggu...!" tahan aidit tiba-tiba. Tapi
sayang... telepon sudah ditutup. martini tampak terpaku, keningnya pun tampak berkerut saat mendengar nama gadis yang disebut tadi.
ditulis tahun 2005
artikel ini gratis, siapa saja dipersilakan untuk
menyebarluaskannya, cerita lain silakan kunjungi :
www.bangbois.blogspot.com
www.bangbois.co.cc